05. Trik Sulap

16 2 0
                                    

"Magic can be found in stolen moments"
-Francesca Lia Block-

    Diluar dugaan, Rolland, Clarra, dan aku membentuk tim yang kompak. Kami sering bertemu sepulang sekolah; terkadang mereka menjemputku ditempat kerja, atau kami bertemu diperpustakaan untuk meriset sekaligus brainstorming ide. Setelahnya, kami akan merekam dan mengedit hasilnya sambil berbagi kerang rebus dan udang goreng tepung di Bendesa Cafe Jimbaran Bali, sebuah dinner dekat pantai, mengobrol sampai matahari terbenam dengan tangan penuh minyak dan saus tomat.

    Clarra terpilih menjadi narator film. Rolland cenderung berbicara terlalu cepat dan aku sering kali melupakan kata-kata dalam naskah, tapi Clarra sangat alami di depan kamera. Dia tahu kata-kata yang tepat untuk diucapkan, juga memberikan kehangatan tersendiri dalam setiap adegannya.

    Rolland dan aku menyukai Clarra. Ada sesuatu mengenainya yang membuatnya seperti magnet, dia punya kemampuan untuk dekat dengan siapa saja. Dia mampu berbaur dengan mudah, tapi pada saat yang sama juga terlihat menonjol di banding orang-orang lain. Dalam beberapa hal, dia mengingatkanku akan Rolland; mereka sama-sama keras kepala dan pantang menyerah. Keduanya sering berargumen, mengenai apa saja dan dimana saja, dari topik berat seperti politik dan ilmu alam, hingga hal-hal trivial seperti mau membeli snack apa. Rolland menyukai makanan asin semacam chips dan minum soda dingin, sedangkan Clarra lebih memilih makanan manis seperti cokelat dan es krim. Mereka adu pendapat seperti dua anak kecil yang memperebutkan remote televisi; yang satu bersikukuh mempertahankan pendapatnya, yang satu lagi menggunakan teknik pasif-agresif untuk melawan. It's like life is never dull with them, dan aku menikmati saat-saat kami bersama.

   Lucunya, aku tidak pernah menganggap persahabatanku dan Rolland telah berubah. Clarra masuk begitu saja kedalam formula Ro+Ger, dan kurasa baik aku maupun Rolland sama sekali tidak keberatan.

    Satu hal mengenai Clarra: dia menyukai sulap.

    Ya, sulap seperti yang sering kau tonton di televisi, dengan jas hitam dan berkepala botak, buga-bunga plastik yang menghilang dan beberapa kartu yang mendadak muncul di antara tangan pesulap. Sulap yang membuatmu tak berani berkedip, tak rela melepaskan pandangan dari tangan sang pesulap agar tak ketinggalan satu detik pun, tapi tetap saja tak sanggup menevak rahasianya.

    Awalnya, kami tak terlalu menyadari kalau Clarra menyukai sulap. Dia memang sering membawa benda-benda aneh seperti cincin yang lebih dari satu atau setumpuk kartu remi dalam saku, yang sering dimainkannya saat iseng. Namun, suatu hari, secara tak sengaja aku melihatnya sedang asyik memutar-mutar bola karet hitam di permukaan tangannya, lalu menggumpalkannya dalam kepalan tangan. Saat membuka tangannya  bola hitam tersebut menghilang, di gantikan oleh bola warna merah menyala yang sedikit lebih besar. Wajahnya sarat konsentrasi, tapi gerakannya fasih seperti sudah melakukannya ratusan kali.

   "Rolland, lihat itu." Aku menyenggol lengannya, yang sedang sibuk memutar ulang rekaman video kami tadi siang. Rolland menggumam sebentar dan menurunkan camcorder ditangannya, ikut mengamati. Matanya membulat, tertarik dengan aksi Clarra yang sepertinya tak sadar dia sudah memiliki penonton.

   "Hei Clar!" Sebelum sempat kuhentikan, Rolland berseru memanggil Clarra, membuat cewek itu kehilangan konsentrasi dan menjatuhkan bola di tangannya. "Bagaimana kau melakukannya?"

    Clarra cengengesan sambil memungut kembali bola yang bergulir di atas pasir, lalu memasukkannya kedalam saku. "Itu rahasia. Kau nggak pernah lihat oesulap membeberkan rahasia terbesarnyakan?"

     Rolland melengos. "Rahasia apa? Itu pasti bola mainan yang memang bisa berubah warna."

     "Coba saka sendiri kalau bisa."

     Namun seberapa keraspun kami menggumpalkannya dan memutarnya, bola itu masih tetapbtidak berubah warna "masa sih aku nggak visa melakukan hal segampang ini?" Rolland meremas-remas bola ditangannya tanpa hasil, keningnya berkerut frustasi.

     Clarra tertawa, lalu melakukan trik yang sama tanpa kesulitan sama sekali, seperti seorang ahli sulap.

     "Hebat!" Pujiku.

     Rolland masih tampak skeptis. "Kau hisa trik apa lagi?"

     Clarra menemukan satu pack kartu dalam tasnya, lalu meminta kami untuk duduk di hadapannya, "Pilih salah satu kartu." Dia berbicara dengan nada misterius, tapi sangat sulit menanggapinya dengan serius karena kami berdua cekikikan seperti anak sekolah dasar.

     Rolland memilih satu kartu As sekop, kartu kemenangannya.

    "Nah sekarang, perhatikan ini." Clarra mengocok tumpukan kartu ditangannya dengan sangat terlatih dia memperlihatkan tumpukan kartu yang sudah terkocok acak di depan kami, dan perlahan-lahan kartu As sekop yang di pilih Rolland bergerak naik hingga posisinya lebih tinggi dibanding kartu-kartu lain. Tangan Clarra tidak bergerak, tetapi seperti sihir, kartu itu terus bergerak naik hingga akhirnya berhenti diatas tumpukan.

    Aku dan Rolland menatapnya tanpa kedip, tidak mampu berkata-kata.
   
    "Wow," bisikku, kagum.
    
     Rolland mengelus-elus sekujur lengannya yang merinding, menggeleng tak percaya. "Yang barusan itu sangat keren Clar, but seriously creepy."

     Clarra menyeringai bangga. "Aku masih bisa trik lain yany lebih keren lagi. Nanti akan kutunjukan, kalau aku membawa peralatannya."

      Saat berbicara begitu, dia terlihat seperti anak kecil yang baru saja mendaparkan permen favoritnya. Kami memutuskan untuk merekam momen itu sekali lagi, untuk film dokumenter kami. Rolland bahkan membuat Clarra melakukannya berulang-ulang, berusaha menebak rahasianya, sampai baterai camcorder kami habis dan sudah waktunya pulang.

......

     Sore itu, matahari hampir terbenam di ufuk barat, mereflesikan kilau keemasan dalam genangan merah oranye yang sepertinya tenggelam ke permukaan laut. Pantai sudah mulai sepi-hanya ada sekelompok remaja college yang saling melenpar kaleng bir kosong di tepi seonggok api unggun. Beberapa surfers yang puas menikmari gulungan ombak radikal tadi siang mulai beberes dsn mengumpulkan barang-barang mereka.

     Aku dan Rolland berjalan menyusuri pesisir pantai, bertelanjang kaki sambil menjinjing sandal jepit. Angin sore membuat rambut kami berantakan. Rolland membentangkan kedua tangannya lebar-lebar di udara, menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya. "Kuharap setiap hari bisa terus seperti ini terus-hangat dan menyenangkan."

      "Aku juga," jawabku, berjalan mundur di hadapannya untuk merekam momen ini menggunakan camcorder.

      Rolland membuat ekspresi aneh di depan kamera, lalu bertanya, "Jujur atau tantangan, ger?"

      "Kau kan tahu aku selalu memilih jujur, ahahaha" jawabku, masih terus merekam.

      "Apa pendapatmu tentang Clarra?"
     
      Aku berjalan melambat, mengambil sedikit jeds untuk menganalisis pertanyaan itu. "Bagaimana apanya?" Aku balik bertanya, masih belum yakin apa maksud pertanyaan barusan dan bagaimana aku harus menjawab.

     "Dia sepertinya... apa ya? Berbeda. Makanya aku bertanya."

     "Dia orang yang ramah." Akhirnya, aku menjawab. "Orang yang baik." Dia tidak seperti Sisil, tidak seperti teman-teman sekolah kami yang lain, tidak seperti siapapun. Dia hanyalah... well, dia adalah Clarra. Sulit menemukan kata-kata untuk mendeskripsikannya.

      "Yeah." Untuk sesaat ekspresi wajah Rolland berubah lembut, tapi dalam sekejap ekspresi tersebut pudar dan ia melempar sendalnya ke ke atas pasir, bergegas menggunakannya dan berlari. "Balapan sampai kerumah yuk. Yang kalah harus mentraktrir Taro rasa Bbq!"

      "Hei! Curang!" Aku buru-buru mematikan camcorder mengejar Rolland yang tentu saja pelari yang lebih tangkas. Kami berkejaran di tepi pantai, percakapan barusan terlupakan begitu saja dan tak satupun dari kami yang mengungkitnya lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Twenty One.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang