1

8.4K 634 17
                                    

Carissa's POV

Aku sedang menata barang-barang di meja kerja saat tiba-tiba indra penciumanku menangkap sebuah aroma yang sudah kuhafal siapa pemiliknya.

"Selamat pagi, Bu. Kopinya udah siap di dalam," sambutku ramah. Yang kusapa hanya mengangguk singkat, masuk ke dalam ruangannya. Tanpa sapa, apalagi senyum.

Tapi setidaknya ekspresinya sudah tak sedingin saat awal-awal aku di sini. Maksudku, kadang masih, jika jadwal pekerjaan dan pertemuannya padat. Atau kebetulan sedang ribut dengan suaminya. Ah, untuk yang terakhir bukan spekulasiku. Itu hanyalah spekulasi Joana yang sering kali ia lontarkan saat aku mengeluh padanya mengenai sikap dingin Bosku itu.

Ah, kadang aku merindukan hiruk pikuk kesibukan pagi hari di ruanganku dulu. Sekarang yang menemani hanyalah ponsel, komputer yang stand by setiap saat menerima ajuan permohonan pertemuan dengan Kinal, yang kadang jika ada waktu senggang, kugunakan untuk berselancar di internet untuk melihat koleksi terbaru dari situs brand fashion favoritku.

Sedang mempersiapkan jadwal Kinal untuk hari ini, sebuah panggilan telpon tiba-tiba masuk. Ternyata dari sekertaris salah satu klien yang hari ini ada janji temu dengan Kinal. Meminta agar jadwal diundur setengah jam.

Aku hendak mengetuk pintu ruangan Kinal saat ucapan Hilda (resepsionis) terngiang di kepalaku. Tentang ruangan Kinal yang tak boleh dimasuki oleh siapa pun, dengan alasan apa pun, sebelum pukul sembilan tiga puluh menit. Kinal tak boleh diganggu saat menikmati kopi paginya, katanya. Gila, ni orang ngopi atau bertapa, pake nggak boleh diganggu segala. Maka aku kembali duduk manis di belakang meja kerja, masih ada lima belas menit sebelum waktu melapor tiba. Kulanjutkan saja pekerjaan yang sempat tertunda.

Sembilan tiga puluh menit tepat, aku mengetuk pintu ruangan Kinal seraya membawa print out jadwalnya hari ini, yang sebelumnya juga sudah kukirimkan ke email-nya.

"Maaf Bu Kinal, tadi sekertaris Pak Maxim telpon, minta jadwal meeting diundur setengah jam."

"Meeting di?"

"Mulia, Bu."

"Minta Pak Rahmat datang sesuai jadwal."

"Baik. Ada lagi, Bu?"

Ia terdiam sejenak, melempar pandangan pada cangkir di coffee table.

"Kopinya terlalu manis."

Sial, aku lupa memberitau office boy takaran gula untuk kopi Kinal. Cepi, office boy yang biasa membuat kopi untuk Kinal sedang tak masuk hari ini.

"Lain kali kalau si Cepi nggak masuk, kamu aja yang bikin kopinya."

Perintah itu lumrah, tapi terdengar sangat berdaya paksa tinggi. Apalagi ekpresi datarnya yang begitu mendukung.

"Maaf Bu, sa-"

"Kamu boleh keluar."

Dih, belom juga kelar udah dipotong aja!

Aku segera keluar dari ruangannya, menghubungi supirnya agar menjemput sesuai jadwal.

***

Di salah satu restoran dalam mall dekat kantor, aku dan Joana menikmati makan siang dengan santai. Tadinya, sebelum panggilan telpon dari Kinal masuk di ponselku. Meminta agar aku menyusulnya ikut rapat sore nanti.

"Duh PR banget deh si Bos, kenapa nggak minta gue ikut rapat dari tadi coba. Mana tempatnya jauh lagi dari sini."

"Hahaha susah ye punya majikan orang sibuk," komentar Joana.

"Banget! Bukan apa-apa nih ya, gue baru seminggu kerja sama dia aja jadi ikutan kaku anjir. Dingin banget orangnya, perfectionist lagi. Masalah kopi aja cerewet banget."

"Kalo yang masalah kopi gue pernah denger sih. Katanya takaran gulanya nggak boleh salah. Lo masih mending sih nyet, beruntung majikan lo mood-nya lagi bagus. Dulu nih ya, mantan sekertarisnya pernah dimarahin abis-abisan gara-gara kopinya kemanisan. Waktu itu lagi sial aja dia."

"Duh lo jangan nakutin gue dong Jo."

"Yee gue cuma ingetin lo aja. Tapi dibanding gue, sekarang kerjaan lo jadi lebih santai kan. Enak banget."

"Iya sih enak, atau gue belum ketemu ribetnya kali. Tapi dapet Bos kayak si Kinal juga bikin gue under pressure. Elo bikin salah paling disemprot Pak Bayu doang, lah gue. Guee.... jo, kerja sama anak yang punya perusahaan! Salah dikit melayang kerjaan gue."

"Yah sabar aja deh Ca, ya kali Tuhan ngasi lo idup enak terus. Elonya cakep, pacar lo juga cakep. Idup lo enak. Nah sekarang Tuhan ngasih lo cobaan punya Bos dingin hahaha."

"Sialan lo!"

"Tapi serius Ca. Lo sih masih untung dapet Bosnya Bu Kinal. Daripada lo dapet Bos cowok. Konon persentase lo ngerjain kerjaan sekertaris cuma dua puluh persen. Sisanya, ngerjain urusan pribadi Bos."

"Maksudnya?"

"Ya sisanya lo bakal ngurusin hal-hal 'aneh' kayak ngeladenin telpon dari selingkuhan Bos, buat reservasi di kamar hotel, atau restoran buat si Bos kencan bareng selingkuhannya. Atau ngeladenin bini si Bos yang marah karena lakinya nggak pulang-pulang dengan alasan pekerjaan. Gue nggak menyamaratakan semuanya ya, tapi kebanyakan emang kayak gitu."

"Kok lo tau?" Heranku.

"Yaelah udah rahasia umum kali. Lo pikir kenapa si Bella sekertarisnya Pak Beno nggak pernah senyum coba. Ya gara-gara stress ngurusin majikannya. Diteror mulu sama bini Pak Beno, belom lagi dari gebetan Pak Beno gang konon katanya seabrek itu. Gimana nggak pusing dia."

"Huh tau ah bingung gue. Semoga aja gue nggak ngalamin hal yang sama kayak Bella."

***

Di sinilah aku. Duduk memperhatikan Kinal yang tengah berdiskusi dengan beberapa klien. Sempat aku terpaku saat Kinal presentasi di depan sana. Sudah ratusan rapat kuikuti selama hidupku, namun kali ini terasa berbeda. Entah, aku susah menjelaskannya. Mungkin karena orang-orang yang berada di sini adalah kalangan atas. Beda kasta, kalau kata Joana. aku jadi merasa kerdil.

Tapi melihat tadi Kinal membawakan materi presentasinya dengan begitu santai membuatku heran, mengapa ia tak sesantai itu ketika berhadapan dengan orang lain. Terlebih di kantor.

Teringat betapa gugupnya aku kala itu, satu bulan lalu, tepat di hari pertama aku bekerja sebagai sekertarisnya. Ketukan heels-nya yang kala itu terdengar seperti genderang perang, dagu yang terangkat, pandangan lurus ke depan. Tatapan dingin yang terasa lebih dingin dari tumpukan ice tube di dalam es kopi. Aroma parfum mahal yang membuat indra penciuman terasa nyaman saat menghirupnya, juga hand bag yang tentu saja berharga ratusan juta. Tipikal kaum jetset.

Rapat selesai setelah dua jam. Semua hal yang penting sudah kucatat, Kinal sudah tak ada jadwal lagi. Untungnya rapat usai bersamaan dengan berakhirnya jam kerja, aku jadi tak perlu kembali ke kantor.

"Saya pamit pulang, Bu." Aku pamit tepat saat kami menginjakkan kaki di lobi.

"Saya anter."

"Saya bawa mobil, Bu."

Tak berapa lama mobilnya sudah terparkir di depan kami. Satpam membukakan pintu mobil untuknya. Seperti biasa, tanpa pamit, tanpa sepatah kata pun, ia berlalu masuk ke dalam mobil.

Orang kaya gini ada temennya nggak sih?!

Renjana [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang