Dengarkanlah, Bisikannya

195 67 16
                                    

(Cerpen telah diikutsertakan penulis dalam Lomba Menulis Cerpen Nasional 3 yang diselenggarakan oleh Ikut Lomba Kreasi Media periode Juni-September 2020 dan masuk dalam peringkat 100 besar)

Seandainya waktu dapat diputar kembali, akankah manusia menjadi lebih bersahabat dengan bumi? Jauh sebelum penderitaan yang manusia rasakan saat ini, bumi telah lebih dulu mengalami rasa sakit. Keserakahan manusia dan tangan-tangan jahat manusia yang secara sadar atau tidak terus melukai dirinya. Entah sudah berapa lama bumi menanggung beban dan bertahan demi keberlangsungan hidup manusia. Aku menatap nanar langit malam ini dengan perasaan bersalah. Mungkinkah saat ini kau sungguh merasa lelah, Bumi? Maaf. Tidak banyak yang bisa aku lakukan, selain mendoakan kepulihanmu. Seperti malam-malam lainnya, aku selalu meyakinkan diri sendiri, bahwa esok masih ada harapan.

Tahun ini bumi seolah-olah ingin menyadarkan semuanya. Bagai pukulan bertubi-tubi, manusia dikejutkan dengan berbagai pemberitaan. Banjir yang terjadi di awal tahun seperti pertanda bahwa bumi tidak sedang baik-baik saja. Manusia sungguh terlihat kewalahan dengan banjir yang datang tiba-tiba, bahkan tak sedikit yang mengutuk dan menyalahkan bumi. Padahal jutaan sampah yang seenaknya manusia buang tidak pada tempatnya telah menjadi andil dari bencana yang datang. Namun, lagi-lagi manusia mengabaikannya. Belum usai kesedihan yang dirasakan karena bencana alam, manusia dihadapkan kembali dengan datangnya virus mengerikan yang disebut Covid-19. Banyak yang merasakan kehilangan akan orangtua, kekasih, sanak saudara dan orang-orang disekitarnya. Beberapa negara bahkan menerapkan sistem lockdown, demi memutuskan rantai penyebaran virus ini. Tangisan manusia memecah cakrawala. Ketahuilah, bumi pun sedang menangis.

Masih dari kejauhan, aku melihatnya lagi malam ini. Bumi. Sahabatku. Usiamu kini semakin tua. Tapi mengapa semakin sedikit sekali orang yang mempedulikanmu? Warna langitmu kini tak lagi cerah seperti sedia kala. Oh, bahkan sungguh sedikit sekali aku melihat warna kehijauan pada dirimu. Tiba-tiba bumi melirik ke arahku. Dia tersenyum, pucat pasi. Aku mendekat dan memeluknya. Semua yang ada di langit mendekat untuk menguatkan bumi. Keadaan bumi saat ini benar-benar membuat hati kami pilu. Meski takut semakin membuatnya terluka, aku memberanikan diri bicara padanya, "Wahai, Bumi. Lihatlah apa yang sudah dilakukan manusia terhadapmu. Kekacauan yang disebabkan ulah mereka sendiri telah membuatmu semakin rapuh." Tak kuasa air mata kami mengalir. Hujan turun cukup deras malam ini.

Pagi menjelang, kulihat bukan hanya bumi yang tidak dipedulikan manusia, bahkan terhadap sesamanya. Di saat para tenaga kesehatan berjuang untuk kesembuhan para pasien yang terjangkit virus corona, masih ada saja manusia yang mengabaikan protokol kesehatan, seolah puluhan dokter dan perawat yang gugur saat bertugas bukanlah hal yang perlu mereka perhatikan. Banyak dari mereka tidak melakukan social distance, tidak memakai masker dan sebagainya sebagai bagian dari upaya kesehatan mereka. Sampai akhirnya untuk menekan laju pertambahan jumlah pasien virus corona, mereka dihimbau untuk melakukan segala aktivitas dari rumah. Para pekerja kantoran bekerja di rumah dan para pelajar melakukan kegiatan belajar di rumah, tempat wisata dan pusat keramaian lainnya juga banyak ditutup. Akibatnya tidak banyak kendaraan yang lalu-lalang di jalanan. Menurutku seharusnya ini bisa membuat bumi kami sedikit lebih bernafas lega. Sebab polusi yang selama ini selalu mencekiknya tengah berkurang. Namun, nampaknya bumi tidak sepenuhnya bahagia dengan situasi ini. Sebaliknya, bumi bersedih dengan apa yang sedang menimpa manusia sekarang.

Pandanganku teralihkan ke belahan bumi lainnya. Aku tertegun lama menyaksikan apa yang sedang terjadi di sana saat ini. Bukankah perbedaan adalah suatu hal yang semestinya indah? Tapi ternyata masih banyak orang yang memandang sinis untuk sebuah perbedaan. Manusia saling menjatuhkan terhadap apa yang dirasanya berlainan. Rasisme, bullying, intimidasi, tindak kekerasan kerap ditemui di berbagai kalangan. Di satu sisi, mereka sang superior merasa dirinya paling berkuasa, mengintimidasi kelompok minoritas. Dan sisi lainnya, kelompok minoritas pun bereaksi atas segala bentuk ketidakadilan yang diterima. Kurasa mereka lupa alasan mengapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda. Perbedaan ada untuk kita saling melengkapi.

Aku benar-benar tak habis pikir, bagaimana bumi bisa bertahan sekuat ini dengan segala macam rupa manusia yang bernaung di dalamnya. Aku berjalan pulang dengan hati yang diselimuti risau. Pikiranku kalut, penuh cacian yang ingin sekali kulontarkan. Tiba-tiba langkahku terhenti mendengar suara. Dalam riuhnya jutaan manusia, suara ini terdengar begitu tulus. Aku mencari asal suara ini, hingga kuketahui bahwa ternyata tidak hanya berasal dari satu titik. Mereka sedang terus-menerus memohon pada Tuhan, agar segala kekacauan di muka bumi dapat selesai. Ada satu hal yang membuatku kehilangan kata-kata. Ada doa yang dipanjatkan sampai ke langit, memohon keselamatan untuk saudara penghuni bumi yang bahkan mereka tidak mengenalnya secara pribadi satu per satu. Aku mendengar pula rintihan manusia yang mendoakan para pahlawan yang telah gugur di masa pandemi ini. Seketika kehangatan mengisi setiap relung diri. Sesaat sebelum aku beranjak pergi, aku menyempatkan untuk mengaminkan setiap doa-doa yang memenuhi langit sore ini.

Heningnya malam kembali menyapa. Lamunan mengingatkanku kembali akan percakapan terakhir kami. Bumi berkata, "Aku tidak akan pernah membenci manusia. Mereka hanya sedang lupa untuk mencintaiku sekarang." Sesaat ia menghela napas panjang dan melanjutkan kalimatnya, "Sejak dulu aku selalu memerhatikan mereka dari generasi ke generasi. Diantaranya ada yang menebarkan benih-benih hingga tumbuhlah begitu banyak pohon untukku bernapas, diantaranya ada yang menikmati hasil dari tanaman-tanaman itu. Tawa riang mereka selalu memenuhi seluruh langitku. Aku selalu merindukannya." Bumi terdiam sejenak, memikirkan sesuatu dan kembali melanjutkan pembicaraannya, "Meski kini betapa hancurnya perasaanku, menyaksikan pertengkaran yang semakin sering terjadi diantara manusia."

"Maka perhatikanlah, bukan hanya itu, mereka juga memilih untuk menghabiskan pohon-pohon yang menjadi pusat jantungmu kini. Mereka sedang membunuhmu perlahan," bantahku yang langsung dibalas dengan tatapan bumi dengan pandangan yang tak bisa kumengerti. "Mereka tidak sedang membunuhku, mereka membutuhkannya untuk hidup. Cepat atau lambat, aku percaya mereka akan kembali menanamnya. Aku hanya perlu bersabar lebih lama lagi. Aku percaya, mereka akan kembali mencintaiku." Tak ada lagi yang bisa kukatakan setelah melihat bumi menyunggingkan senyum yang paling tulus yang pernah kulihat.

New normal, new life. Setelah beberapa bulan di rumah saja, kini manusia kembali melakukan aktivitas di luar rumah seperti biasa. Kehidupan yang diharapkan dengan cara yang lebih peduli pada kesehatan mereka. Kali ini sudah lebih banyak manusia yang menggunakan masker dan membawa pembersih tangan, berusaha menjalankan jaga jarak diantara mereka. Bahkan aku juga lihat banyak dari mereka yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasinya. Pembatasan penumpang di kendaraan umum dan protokol kesehatan sudah dilakukan di berbagai tempat. Menurutku ini semua adalah hal yang bagus sebab sudah seharusnya manusia bisa menjaga diri dan lingkungannya dengan baik. Walau masih ada juga yang belum menjalankan semua protokol kesehatan, tetapi ini hanya masalah sosialisasi saja yang harus ditingkatkan terus. Aku yakin pada akhirnya semua akan terbiasa dengan semua ini.

Jauh didalam hatiku, aku percaya dengan ucapan bumi. Mungkin sebagian dari manusia jahat, namun manusia dengan hati yang baik masih jauh lebih banyak lagi. Pada akhirnya aku mengerti arti dari sebuah pengorbanan yang dilakukan bumi. Mencintai bukan tentang apa yang kita dapatkan dari orang lain, melainkan apa yang dapat kita terus berikan dengan keikhlasan. Bumi telah menunjukan kebesaran hatinya dengan terus membiarkan keberlangsungan hidup manusia. Bumi tidak mempedulikan jika ada manusia yang ingin menyakitinya, ia memilih untuk percaya akan datang lebih banyak lagi manusia yang akan menjaganya. "Sebelum mereka dapat benar-benar mencintaiku, mereka harus bisa merangkul terhadap sesamanya lebih dulu. Dan aku akan selalu menantikan hari itu datang," bisik bumi kepadaku dan seluruh penghuni langit. 


Kami AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang