Bunga Terakhir

39 1 0
                                    

Kami tertunduk di tepi jalan pusat kota, tidak ada yang dapat kami lakukan selain mendengar langkah kaki mereka. Jalanan masih saja diramaikan oleh ambisi para manusia, meski sudah dipenghujung malam. Beberapa kali kami memperhatikan, mereka berlalu lalang dengan sebuah tas genggam di tangannya. Sesekali melihat jam, entah apa yang sedang mereka kejar. Atau sebaliknya, apa yang sedang mengejar mereka? Sampai-sampai suara sepatu pantofel bahkan berhak tinggi itu terdengar saling memburu. Jemari-jemari kecil masih saja menari dengan tempo cepat di atas papan ketik dengan layar bercahaya. Pijar kota seolah enggan menidurkan mereka, tidak henti-henti menyibukkan dengan gemerlap dunia. Kami tersenyum tipis menyaksikannya, lagi-lagi karena tidak ada yang dapat kami lakukan, selain menunggu kematian tiba.

Lonceng tua berbunyi begitu seseorang membuka pintu kedai kopi di dekat kami. Gadis itu setengah berlari meninggalkan seorang laki-laki di belakangnya. Tanpa satu pun kata yang terucap. Satu hal yang aku benci, mereka berdua pura-pura menjadi tegar dengan tidak saling mengejar. Perpisahan tidak pernah menyenangkan untuk disaksikan, apalagi dirasakan.

"Kau kembali mengingatnya?" Pandanganku kini teralihkan pada dirinya. Mungkin pagi nanti atau esok ia sudah lebih dulu tidak bernyawa. Dengan tubuh yang terkulai ia menjawab,

"Aku tidak mungkin melupakannya. Ia begitu menyayangiku."

"Bukankah dia sudah membiarkanmu mereput sendiri di sini? Dan berkata bahwa perasaannya tak lagi sama?"

"Kurasa mungkin kamu lupa, bahwa kita ditakdirkan tidak akan pernah membenci siapapun, termasuk tangan yang telah merusak kita."

"Kau benar," balasku, "lantas pejamkanlah matamu dan kenang semua hal baik tentang dirinya."

Aku enggan membantah ucapannya. Tak ada gunanya menambah kesedihan di saat-saat terakhirnya. Angin malam menghentikan semua kenestapaan, tubuhnya yang kering tersapu hanya dalam satu tiupan. Tidak ada lagi hari esok untuknya. Takkan lagi ada yang dapat menyakitinya.

"Selamat beristirahat, Bunga Putih. Ketulusan hatimu mungkin tidak akan membuatnya kembali, namun itu akan selalu menjadi mata air kekuatanmu."

__Dari kami, Bunga di pinggir jalan yang kau campakkan setelah kau memetiknya sambil berkata, "Aku akan terus mencintaimu."



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kami AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang