Putih, semuanya putih hingga pada tahap bisa membutakan mata. Angin dingin berembus menusuk tulang. Tidak ada suara kehidupan, bahkan binatang buas pun mendengkur di sarangnya. Namun, ada dua pemuda gila yang menantang maut. Di cuaca yang sangat dingin, mereka berdua berdiri di depan sebuah gua. Meski sudah mengenakan jaket tebal, tetap saja angin dingin masih keras kepala mengisi celah-celah benang untuk membekukan daging.
"Uhuk ... Uhuk ... Hachi!" Pemuda yang berlapis jaket putih tebal mengusap-usap tubuhnya, menghalau hawa dingin yang semakin menusuk tulang. Meski kepalanya sudah mulai pening, matanya mulai berkunang-kunang, telinganya berdengung, dan hidungnya berair, ia sudah bertekad untuk tidak pergi dari tempatnya walau selangkahpun.
"Wu Xie, kau sakit. Masuk ke tenda." Si Gendut, Pang Zi yang berdiri dua meter di sebelahnya, masih mengunyah sisa-sisa crackers akhirnya tidak tahan lagi dengan sikap Tuan Naif di sampingnya.
"Aku tidak. Aku akan menunggu di sini." Wu Xie masih tetap keras kepala. Ia bahkan mencoba tersenyum meskipun senyumnya terlihat aneh. Tentu saja, bibirnya sudah membiru dan hampir membeku, senyumnya kaku.
"Kenapa bersikeras? Lihat, wajahmu pucat, hidungmu merah. Ayo, kembali saja ke tenda. Jika ada sesuatu, aku akan selalu memberitahumu pertama kali." Pang Zi masih membujuk sahabatnya yang keras kepala ini. Ia tahu, Wu Xie sudah menunggu Zhang Qiling selama sepuluh tahun. Dan selama itu, ia tak pernah berhenti mencari Xiao Ge-nya. Sampai akhirnya, seminggu yang lalu, mereka mendapat surat bahwa Zhang Qiling akan kembali. Mereka harus menunggunya di Gunung Changbai, di depan gua paling besar, di puncak tertinggi.
"Tidak, aku akan menunggunya. Kau tahu aku sudah menunggu ini sepuluh tahun. Sepuluh tahun!" Wu Xie masih tidak mau menyerah.
"Kemarilah." Pang Zi melambaikan tangannya, memberi kode agar Wu Xie mendekat.
"Tidak."
"Ck, kau benar-benar keras kepala. Apakah kau sudah bersumpah untuk tidak melangkah dari tempatmu berdiri sampai Xiao Ge datang?"
Wu Xie diam, dan diamnya itu membenarkan apa yang barusan dikatakan Pang Zi. Akhirnya, Pang Zi mengalah. Ia berjalan mendekat, menarik Wu Xie ke dalam pelukannya. Pang Zi menenggelamkan wajah Wu Xie ke dadanya. Ia mengelus punggung Wu Xie dan mengeratkan pelukannya. Tubuhnya yang besar, setidaknya mampu mengurangi rasa dingin yang melindungi Wu Xie dari angin.
"Apakah lebih baik?"
"Lebih baik," jawab Wu Xie yang seperti gumaman. Suaranya teredam, karena ia semakin erat membenamkan wajahnya pada dada Pang Zi.
Pang Zi benar-benar seperti pemanas berjalan, pikirnya.
"Kau tidak dingin?"
"Hah, lemakku ini masih bisa menghangatkanmu, kau pikir aku kedinginan?"
Mereka berdiri sambal berpelukan selama hampir satu jam. Tiba-tiba tanah bergetar hebat, keduanya oleng dan terjatuh.
"Apa yang terjadi?" Pang Zi bangun lalu mengangkat Wu Xie yang masih terjerembab di sampingnya.
"Apakah Xiao Ge akan keluar?" Wu Xie bertanya penuh harap. Ia menatap gua di depannya yang masih tertutup dengan pintu besi misterius.
Getaran bumi semakin keras. Salju dari puncak gunung mulai berjatuhan.
"Pang Zi, apakah pintu gua ini akan terbuka?" Pang Zi menatap pintu gua dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Ia mendongakkan kepalanya. Wajahnya tiba-tiba memucat. Ia bisa melihat asap tebal di puncak gunung, tepat di atas mereka. Bukan, itu bukan hanya sekadar asap, tetapi cipratan dari gulungan salju yang mulai longsor.
"Ini buruk, salju akan longsor! Wu Xie, menjauh!" Pang Zi berteriak sambil menarik Wu Xie menjauh.
"Tidak, lepaskan aku! Itu Xiao Ge, ia akan keluar!" Wu Xie memberontak dari cengkeraman Pang Zi. Ia berhasil lolos dan kembali lari menuju gua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Heart
FanficFanfiction of The Lost Tomb by Kennedy Xu. Couple utama Zhang Qiling dan Wu Xie. Couple lain, suka-suka penulis, hahaha! (Bisa request, sih) WARN! LGBT, BxB, Bromance, Yaoi, BL, Homoseksual, Gay, or However yous say.