part 3

8 1 1
                                    

Kulihat cinta pada matanya



Malam itu seperti biasa Randi membantu ayahnya berdagang sate di atas trotoar Jl. pintu gerbang, yang tidak jauh dari sekolahnya. Tepat di depan salah satu pasar besar di Pamekasan, yaitu pasar 17 Agustus. Pada jam 19:21 dia berpamitan pada sang ayah untuk pergi membeli sepatu baru, karena sepatu lamanya sudah sangat tua dan sobek.

Dia berniat membeli sepatu itu dari hasil penjualan kripik tette (merupakan kripik khas Madura yang terbuat dari ketela) yang disetiap selesai sholat subuh dia menggoreng sendiri kripik tersebut kemudian dijajakan ke warung pak ahmad ketika dia berangkat sekolah.

"pak, saya pamit dulu ya mau beli sepatu, Assalamu'alaikum." mencium punggung tangan ayahnya.

"iya nak, hati-hati. Waalaikum salam." menatap punggung anaknya yang semakin menjauh.

Raut wajah Randi begitu sumbringah di malam itu, karena tidak lama lagi dia akan membeli sepatu baru dari hasil jerih payahnya. Dia menabung selama kurang lebih dua bulan, uang yang terkumpul 250 ribu, cukup untuk membeli sepatu merk speed warna hitam yang dia idam-idamkan selama ini. Sepatu tersebut sudah dia incar beberapa bulan ini, yang letaknya lumayan jauh dari tempat ia berdagang.

Selang beberapa menit, dia menghentikan laju sepeda ontel tua miliknya. Dilihatnya sosok gadis yang berdiri cukup lama di depan kasir, itu merupakan toko yang menjual segala macam perlengkapan perempuan dari mulai baju, sandal, kerudung dan lain-lain. Dan merupakan toko ternama di kota Pamekasan, nama toko tersebut adalah Elizabet yang berlokasi di timur jalan alun-alun kota Pamekasan. Tempat dimana barang-barang brended berjejer rapi di etalase berkaca bening dan ruang megah ber-AC. Nampaknya terjadi perdebatan yang cukup alot antara gadis dengan kasir toko.

Randipun memberanikan diri untuk mendekat karena dia merasa tidak asing dengan sosok gadis yang memakai gamis warna putih susu dengan jilbab pasmina yang senada dan menjuntai panjang menutup dada. Hingga terdengar perbincangan di anatara mereka.

"ini jadi ngak si mbk..?" sedikit menaikkan alis kanannya ke atas.

"iya, jadi mbk. Tunggu sebentar." dengan raut gelisah si gadis tersebut terus mencari-cari dipenjuru tasnya, namun tak menemukan apa yang dia cari.

"mbk.. Ini jadi ngak sih." ditanyakannya lagi dengan nada yang sedikit ditinggikan dari pertanyaan yang sebelumnya.

"iya mbk, maaf tunggu dulu ya." semakin panik sembari duduk lunglai tak berdaya, lanjutnya. "ya Allah bantu Nafa..." gumamnya dalam hati dengan menahan kumpulan air mata yang bergenang di penjuru matanya dan siap tumpah kapan saja.

Dengan nada kesal si kasirpun bergumam kecil namun tetap jelas terdengar, "heleh.. Kalau gak punya uang ya gak usah sok mau beli mbk, buang-buang waktu saja". Sembari menaruk gamis warna biru langit disamping tempat duduknya.

Perasaan malu sudah tak terbantahkan, air mata yang sedari tadi di tahan sekuat tenaga sudah tak mampu ia bendung. Mengalir deras jatuh di kedua pipinya, memang tidak bersuara namun Randi tahu bahwa gadis itu sedang menangis. Terlihat jelas dari getaran kedua pundaknya.

Nafa terus menundukkan kepalanya sembari mengusap air mata yang tak kunjung mereda, gumamnya dalam hati "kenapa si Naf, kamu kok seceroboh ini lupa gak bawa dompet." jika tidak karena dompet yang tertinggal, dia bisa saja membeli semua barang yang di pajang di toko tersebut karena dia berasal dari keluarga yang kaya raya.

Dari samping kiri terdengar suara yang tak asing ditelinga Nafa, "mbk, isi saja notanya. Saya yang bayar."

"Randi  !!" menoleh kaget.

benar saja dugaannya, dia adalah Randi teman sekaligus sosok yang dia kagumi. Dengan mata yang sedari tadi menangis dia sesegera mungkin menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan matanya yang sembab karena menangis.

Serasa dan Menua BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang