Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di pulau dewata. Sebutan untuk pulau yang amat dipuja. Indah, tertata, ramah itulah kesan pertama begitu aku tiba di sebuah desa yang hijau membentang dengan angin semilir yang menerpa. Dia yang berjalan di sampingku menahan dirinya untuk tidak banyak bicara layaknya tour guide di tempat-tempat wisata. Dia memberi ruang dan waktu untuk aku menikmati semua keindahan alam yang sangat jarang kudapati di tempat asalku.
Aku menggandeng tangannya, dan ia tak keberatan, kutarik dia menuju sebuah pematang yang dari ujungnya kudengar suara air mengalir. Benar saja, sungai kecil mengalirkan air yang sangat jernih hingga beberapa pasir, bebatuan, dan lumut-lumut di dasar terlihat. Indah.
Mataku menatap dia yang ada di sampingku bertanya padanya, meminta izin untuk barang sebentar menikmati air itu. Arusnya tak cukup deras, dalamnya juga tak seberapa, dan tidak ada peraturan atau mitos yang ia dengar dari sekitar. Ia mengiyakan dengan anggukan. Aku masih memegang jemarinya saat kaki yang sudah telanjang merasakan dingin dan segarnya air. Aku melepaskan tangannya untuk bisa meraup aroma dari kejernihan yang membentang di depanku.
Dilepaskannya tanganku dengan sukarela. Entah sejak kapan tak sengaja kulihat dia sedang mengarahkan kamera mengambil gambarku yang sedang ceria bermain air. Mungkin aku terlalu asyik dan itu kesempatan dia untuk mengabadikannya. Sudah lama aku tak seriang ini saat bersamanya.
Matahari semakin meninggi ketika kami mampir di sebuah warung sederhana dekat area persawahan yang dikenal oleh masyarakat menggunakan sistem pengairan subak. Dipadukan dengan pemandangan sawah subur dan hijau yang indah makanan sederhana yang tersaji di warung ini terkesan sangat mewah. Kami menghabiskan dua bungkus nasi jinggo lengkap dengan teh hangat. Aku pernah melihat jenis makanan ini di acara program kuliner salah satu stasiun televisi. Tak jauh berbeda dengan nasi kucing yang pernah kumakan di Jogja. Nasi dan beberapa lauk sederhana yang dibungkus dengan daun pisang. Porsinya kecil, tapi cukup mengenyangkan. Si ibu pemilik warung bahwa itu salah satu kuliner khas Bali yang biasanya juga ditemukan dalam acara adat seperti ngaben, pernikahan, maupun ulang tahun. Si ibu yang masih terlihat muda itu juga sempat menawarkan lalap, entah dedaunan apa, dan aku menolaknya sementara yang duduk di sebelahku seperti sudah terbiasa dengan lalap itu. Saat kutanya bagaimana rasanya dia bilang enak seperti daun min, tetap saja aku tak tertarik untuk mencoba meski kulihat ia terlihat sangat menikmatinya.
Rumah ini mengingatkanku pada peristiwa dua tahun lalu. Si pemilik rumah sepertinya sengaja membuat dekorasi ruangan yang senada. Begitu aku memasukinya, aku langsung mengingatnya. Sebegitu dalam ingatannya tentang aku, atau ini bagian dari cara dia untuk tetap bisa mengingatku. Ada bagian aku bangga sisanya masih kecewa.
Dia memintaku untuk beristirahat di salah satu kamar yang ketika aku masuk tercium aroma yang cukup wangi. Saat kubertanya hanya senyuman yang kudapat sebagai jawaban. Seperti inilah Bali yang kupertahankan, aromanya, sesaat sebelum ia keluar dari kamar setelah meletakkan koperku di depan lemari di sudut kamar. Aku tak banyak kata langsung kubuka tirai yang menutupi jendela tepat di samping tempat tidur berbalut linen putih yang rapi dan bersih. Cahaya dan udara kini berlomba memenuhi ruangan menampilkan bayang-bayang dari setiap benda di dalamnya.
Kubuka kelopak mataku kucium aroma malam yang membayang dari cahaya lampu yang menerobos ruang menggantikan surya yang tak sempat berpamitan. Di meja makan, setelah aku beranjak dari ranjang empuk, kulihat beberapa makanan tersaji. Nasi, aneka sayur, dan lauk pauk terlihat lengkap dan menggiurkan. Dia di ujung di depan wastafel masih menggunakan apron. Juru masak rumahan, koki kebanggaan. Masakannya tak pernah berubah, aku masih bisa menghidu kelezatannya bahkan sebelum aku melihat wujud dan mencicipinya. Lidahku tak akan asing dengan kenikmatannya.
Aku kembali, menyiapkan diri, sebelum dia menyadari keberadaanku. Biarkan dia sibuk dengan persiapannya.
Makan malam yang tak pernah terpikirkan. Kubayangkan sebelumnya aku tak akan bertemu lagi dengan momen seperti ini. Sudah kukatakan bahwa aku akan berubah. Aku tak seperti tahun-tahun yang silam. Bagiku kamu tetap sama, katanya sambil menyendok ikan pepes untuk piringku. Aku melahapnya selagi ia menyiapkan minuman. "Duduklah, kita makan bersama," pintaku padanya. Aku enggan meneruskan pembicaraan itu. Ada perasaan di dalam diriku yang masih memberontak. Aku memang belum dewasa kala itu dan itu masih membekas rapi sampai saat ini.
Burung berkicau membangunkanku dari tidur nyenyak, tidur yang tanpa mimpi. Hari ini aku kembali menjelajah Bali, itu yang direncanakan semalam. Dia sudah mengatur jadwal dan perbekalannya. Kesempatan untuk dia mengeksplorasi kemampuannya di dapur karena ada teman makan yang membuatnya juga bersemangat. Aku bersiap dan kami berangkat menggunakan mobil karavan sederhana. Tidak lama, sekitar dua jam perjalanan kami sampai di sebuah pantai yang tenang. Tenang untuk Bali yang selalu ramai pengunjung.
Dia memintaku untuk tak lagi menghindar dan memang aku sudah tak bisa lagi menghindarinya. Dia kembali mengingatkanku peristiwa dua tahun lalu, terakhir kali kami bertemu. Perpisahan yang kurenungkan sekian lama, mungkin dia juga.
Di samping karavan kami menggelar tikar untuk menyantap persiapan yang dia buat. Dia menceritakan pergulatannya, alasan yang tak sempat ia sampaikan kala itu. Bukan pilihan yang mudah. Usahanya sudah berkembang dan aku sangat mendukung. Kami sudah merencanakan masa depan bersama di kota itu. Namun, betapa aku merasa bodoh dan dibodohi. Dia diterima bekerja di Bali, sebuah mimpi yang sudah diidamkannya sejak kecil, yang aku bahkan tak tahu. Aku mungkin terlalu egois, aku tidak bisa menerima keputusan yang tiba-tiba dan sepihak itu, menurutku.
Cincin bermata satu yang sudah mengikat jariku, kubuang jauh. Aku marah, sangat marah. Aku bukan orang yang mudah beradaptasi, kukatakan padanya, aku nyaman berada di kota itu dengan segala kondisinya. Begitu banyak hal dia sampaikan untuk meyakinkanku, tapi bukan alasan. Dia tak pernah ingin menyampaikan suatu alasan saat kemarahan sedang menguasaiku. Baru aku tahu setelah mengangkat koper dan terbang jauh ke benua lain. Menghidupi diri dalam kesendirian dan permenungan, mungkin sebagian adalah penyesalan. Beberapa kali aku menolak menerima panggilannya, surelnya sama sekali tak kubaca hingga semuanya terasa hilang. Namun, dia tak pernah sungguh-sungguh pergi sampai satu bulan lalu dia memintaku untuk kembali, bukan ke kota lama kami yang tergores luka, tapi di sini. Di pulau dewata tempatku sekarang duduk di depannya menyimak segala hal yang dulu mungkin tak akan pernah bisa kuterima.
Will you marry me. Dia berlutut di depanku dengan sebuah kemboja di tangan, bukan cincin. Kalimat yang sudah tak asing lagi namun masih mampu merobohkan pertahanan hati. Kalimat yang sama dengan yang pernah ia sampaikan dulu kala. Aku tak langsung menjawab dan dia masih bertahan dengan berlututnya.
Mengapa bunga kemboja, mengapa tak ada cincin. Aku bertanya. Aku tidak tahu apakah kamu masih menginginkan cincin itu atau aku harus membeli yang baru. Jawabnya membuat aku tersenyum.
Kemboja itu bunga kesetiaan dan ia menyelipkannya ke belakang telingaku. Dia selalu menemani orang yang dikasihinya. Apa kau belum pernah mendengar cerita tentang itu. Jelasnya. Tangannya merogoh saku hingga membuatku terbelalak melihat kotak kecil yang telah ia buka dan ulurkan padaku. Cincin itu masih sama dan jawabanku pun juga sama. I will. Kemudian ia memasang cincin itu ke jari manisku dan baru kusadari ia sudah memakai cincin yang sama. Sejak kapan, aku tak pernah benar-benar memperhatikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemboja yang Setia
Short StoryAku tak bisa menganggap diriku ini setia saat aku pernah sesaat melupakannya. Aku pun tak pernah benar-benar setia saat aku mengabaikannya. Siapa yang percaya dengan kesetiaan sepenuhnya?