Potongan 2

11 1 0
                                    

Nala. Namaku Nala. Pemilik kedai kopi di pinggiran kota Yogyakarta. Di sini aku membuka kedai kopi bersama mantan pacarku yang sekarang menjadi tunanganku. Ia asli Malang dan aku asli daerah Jogja. Kami bertemu di salah satu kampus ternama di Yogyakarta. Ia hobi masak dan aku hobi keliling kafe untuk mencicipi aneka kopi dari tangan-tangan lincah barista.

Aku yang paling antusias dengan pembukaan kedai kopi ini. Konsep minimalis, terbuka, dan tentunya bisa mewadahi selera anak muda dengan masih toleran dengan kaum dewasa lainnya. "Jangan takut memulai" itu kata-kata semangat dan dukungan yang diberikan Fadi, tunanganku, kala itu. Aku semakin antusias.

Meja kursi sudah disiapkan. Teman-teman di kampus yang kuminta membantu bekerja di sana, temanku juga teman Fadi. Aku mengajak Fadi untuk berkeliling mencari biji-biji kopi berkualitas. Penggemar kopi tentu tahu jenis kopi dengan berbagai levelnya. Suasana romantis memenuhi hatiku saat aku berada di samping kemudi dengan iringan instrumen musik klasik. Kubahas masa depan kedai bersama dia yang sedang pegang kemudi. Dia lembut seperti biasanya. Dia selalu bisa mengendalikan diri, pertahanannya sangat kuat. Ia bisa mengolah emosinya, dan terlebih mengolah hatiku yang kadang meluap-luap. Satu hal yang kusuka darinya.

Hidup terkadang memang harus diselingi dengan kepahitan di samping manis yang membuat hati berbunga-bunga. Jangan dikira kelembutannya selalu ada, saatnya juga pernah kami bertengkar yang terkadang dimulai dari hal yang sepele. Beban kerja dan beban tugas sebagai mahasiswa, yang semakin dicap tua, tentu perlu menjadi pertimbangan saat hubungan semakin serius. Masa depan memang harus diperjuangkan, tapi masa yang sekarang juga harus menjadi fokus yang tidak boleh diabaikan. Saling menyendiri dan introspeksi diri menjadi pilihan kami saat perang mulut melanda berganti perang dingin yang kadang hanya hati yang memutuskan untuk kami menyudahinya.

Hari-demi hari berjalan, kedai kami semakin ramai dikunjungi pemuja minuman hitam beraroma khas itu. Tak bisa dipungkiri bahwa aku semakin mendekati kesuksesanku. Materi, ketenaran, juga tak lupa kepuasan yang terpancar di wajah mereka yang membantuku setiap hari. Dukungannya, persahabatannya, semua menjadi transparan di antara kami. Begitu erat, begitu dekat. Kadang kami secara khusus menyediakan waktu untuk merayakan kesuksesan kami. Menutup kedai barang sesekali tentu bukan hal yang fatal karena kami juga butuh apresiasi diri.

Mereka memang temanku, orang-orang terdekatku juga tunanganku. Ternyata mereka tidak menganggap hal yang sama padaku. Awalnya aku merasa janggal, merasa risi, merasa aneh, namun ternyata itu bagian dari komitmen mereka untuk turut mengembangkan usaha kedai ini. Begitu loyalnya mereka. Aku percaya pada mereka dan beberapa bulan sesudahnya, setelah kedai kami benar-benar sudah menunjukkan hasilnya aku tak ragu untuk menawarkan beberapa persen kepemilikan kedai kepada mereka. Mereka tentu menyambut baik. Aku suka, mereka ternyata lebih bisa berinovasi dan kreatif dalam mengembangkan kedai. Mereka tahu kapan harus menjadi kawan, kapan harus menjadi saudara, dan kapan harus menjadi rekan kerja.

Dari semua kebersamaan itu, kepercayaan itu, ada satu hal yang membuatku berbalik dari sebuah mimpi besar yang selama ini aku agung-agungkan. Sumber dari hal itu tak lain dan tak bukan justru datang dari orang yang paling dekat denganku. Pernah menyangka? Jika aku sendiri boleh menjawabnya, aku akan dengan tegas menjawab. Tidak! Aku bukan orang yang selalu waspada, setidaknya masa itu. Aku orang yang mengalir. Aku orang yang menikmati.

Aku kira akulah yang paling memahami dia, setidaknya mengerti tentang dia. Tentang hobinya, tentang hal yang dia sukai dan tidak dia sukai, tentang kebiasaannya sehari-hari, tentang keluarganya, tentang harapannya, tentang mimpinya, tentang usahanya, juga kedalaman cintanya padaku. Namun palsu. Aku merasa mendapatkan nilai nol besar begitu aku mendapati diri seperti sedang berhalusinasi, sedang membohongi diri sendiri, sedang menghibur diri sendiri. Semua itu, tidak semua itu, tidak sebanyak itu yang aku tahu tentang dia.

Mengapa ia tak pernah memberitahuku. Ada beberapa hal yang terlintas di pikiranku. Mungkin dia menganggap itu hal yang sepele yang tidak perlu aku tahu, tidak perlu diberitahukan padaku. Jika itu untukku, bukankah aku yang lebih pantas menentukan apakah itu sepele ataukah itu penting, pembelaanku. Mungkin dia menganggap bahwa waktunya belum tepat. Ah, itu hanya alasan klise dari orang-orang yang suka menunda, orang-orang yang sesungguhnya tidak yakin atau parahnya memang tidak mampu. Dan kalau dipikir-pikir, kapan akan ada waktu yang tepat jika semua sudah dengan tidak sengaja terungkap. Bisa juga kemungkinan lain, dia memang merahasiakannya dariku, tidak ingin aku tahu, lebih lagi karena dia tidak mencintaiku. Ah, sudahlah aku tak sanggup menjelaskan untuk kemungkinan terakhir ini. Akan menjadi sangat menyakitkan untukku.

Semakin hari semakin berkembang usahaku itu. Aku semakin lincah dengan keterampilanku mengembangkan usaha. Kopi yang kudatangkan juga tak kalah bersaing di pasaran. Aku berselancar Indonesia dari ujung ke ujung untuk mengumpulkan biji kopi terbaik. Salah satu temanku, yang bekerja di kedai, kuberi tugas khusus untuk mencicipi setiap seduhan biji kopi yang baru didatangkan. Kemudian menakar aneka campuran yang sesuai dengan karakter kedai kami. Singkatnya, ia kuminta mengkreasikan resep baru. Setiap bulan harus ada variasi menu baru.

Ada detik saat dia mengamatiku mulai mengesampingkan pendidikanku. Tegurannya, yang halus dan lembut, mampu mengembalikan jalurku kembali. Bukan hanya aku, tapi juga teman-teman yang lain. Ok, mungkin akan sedikit berimbas, dan memang benar, tapi tetap kujalankan. Kuupayakan semua berjalan seimbang.

Dia tak pernah lelah menemaniku. Tak pernah lelah menyemangati dan mendukungku. Tidak sesemangat diriku, dia selalu berada di belakangku. Bukan untuk sembunyi, tapi untuk siap menopangku. Dia lebih kuat dari aku. harusnya dengan ini aku tahu bahwa aku lemah jika dibandingkan dia. Ternyata ego dan kesombonganku benar-benar menutupi segala kekurangan itu.

Aku akhirnya berbangga. Bisa menyelesaikan satu dari mimpi yang pernah kumulai. Dia lebih berbangga lagi, tentu karena ketelatenannya untuk terus berada di sampingku kini sudah memperlihatkan hasilnya. Aku berhasil mengenakan topi berwarna hitam dengan seutas tali berujung rumbai berwarna kuning itu. Lengkap kukenakan dengan jubah berwarna hitam pekat. Dia menggamit tanganku kala itu. Kami berhasil dalam waktu yang sama.

Aku dituntunnya mendekati kerumunan yang terlihat sedang bahagia dengan canda tawa dan senyum mereka. Calon keluarga baruku. Mereka menyambutku dan kubalas dengan seutas senyum tak kalah seperti yang mereka tunjukkan padaku. Peluk ibu menghangatkanku. Kedatangannya dari jauh tak menunjukkan letih sekali pun usianya sudah berkeriput seperti beberapa yang tampak di kulit tangannya yang mulai kurus.

Kabar itu kudengar dari tutur lembut yang sedari tadi tak mau jauh dari tempat dudukku. Yang selalu menggenggam tanganku kala berdiri dengan kurus keriputnya yang masih kuat. Tentu aku sangat senang, suaraku sedikit tertahan menanggapi tatapan matanya yang langsung menusuk hatiku. Ucapku singkat dan penuh kebohongan tapi senyumku tetap bertahan. Hatiku bergetar menahan kekecewaan dan pikiranku kacau. Mungkin gelagatku bisa dibaca olehnya, dia yang duduk di sisi lain sebelahku, saat ia menawarkan diri untuk mengajakku kembali lebih dulu. Meninggalkan dua keluarga yang sedang mengitari meja penuh hidangan tanda kebahagiaan.


Kemboja yang SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang