Potongan 5

1 0 0
                                    


Aku tak keberatan jika dia marah, jika dia kesal. Itu hal yang wajar. Aku akui aku memang bersalah karena telah menahan diri untuk tidak terbuka padanya. Aku paham kekesalannya mengurangi kadar kepercayaannya padaku, terlebih pada hubunganku dengannya. Aku hanya tak sampai hati untuk menyampaikannya kala itu. Tapi, percayalah, perasaanku padanya tidak pernah berkurang sedikit pun. Hatiku padanya dan hanya padanya.

Aku tak tahu alasannya. Semua mengalir seperti air sungai yang bermuara di laur lepas. Aku mencintainya tanpa berpikir tentang pesonanya. Hati kecilku yang telah menetapkan dia untuk menjadi penghuninya. Aura apa pun yang ia tunjukkan selalu mampu membuat hatiku ingin dekat dengannya, ingin lebih mengenalnya. Dan memang benar aku tak pernah puas mengenalnya karena aku tak pernah-benar-benar bisa seutuhnya mengenalnya. Bukan karena tak mau mengenal, bukan juga karena dia tak mau dikenal, tapi karena ada ketakutan yang aku sendiri tak pernah sanggup menggali alasannya.

Aku merindukannya.

Setelah kejadian itu, aku sudah memberinya banyak waktu. Aku percaya, dia tak benar-benar membuangku dari hatinya. Dia hanya ingin mencerna peristiwa. Tapi aku sudah tak sanggup lebih lama. Aku beranikan diri untuk langsung mengirim email padanya. Harusnya dia sudah membaca meski aku tahu dia akan enggan membalasnya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Aku telah mengirim berkali-kali hingga aku lelah mengirimkannya lagi. Tak satu pun yang ditanggapi. Buka dalam satu hari, tapi dalam jangka waktu yang tak bisa dihitung dan disebut lagi. Aku tak boleh hanya berpasrah, saat itu kumantapkan hati. Aku kencangkan sepatu bertali mencoba mencari informasi. Keluarganya tak benar-benar tegar hati, mereka tak mau menepi dari janji. Aku nekat mencari ke negeri yang asing dan dingin itu. Tak kujumpai. Berbekal angan yang pernah ia utarakan. Sekelebat aku melihat bayangnya. Hanya khayalku semata.

Aku tak salah, karena meski raga terpisah aku dan dia tetap satu risalah.

Penampilanku yang asing membuat seseorang menghampiriku. Aku tak menaruh curiga karena aku tak memiliki apa pun yang mengundang orang untuk berbuat celaka. Ooooh, atau mungkin tak hanya penampilanku yang asing, tetapi juga karena gelagatku yang membuat banyak tanya dan curiga pada orang itu.

Namanya Ali.

Aku menggendong ranselku. Lucu memang. Sejauh itu aku menempuhnya, tapi hanya dua helai baju yang kubawa. Aku mengikuti orang itu. Dia fasih mengambil hatiku. Pembawaannya lugu, supel, dan sangat cair.

Dia menawarkan bantuan karena tahu bahwa aku sedang dalam kebingungan. Ditunjukkannya secarik kertas dengan note di dari bolpoin yang dia pegang. Tintanya masih terasa basah. Di sana tertulis sebuah alamat penginapan. Sewanya murah. Kata yang ia ucapkan sambil menyodorkan kertas itu tepat ke depan mukaku. Dia juga mengambil beberapa roti dari dalam tas jinjing berukuran besar yang ia letakkan di kursi sebelah kananya. Ada dua roti. Satu roti gandum polos yang aku yakin rasanya tawar. Dan setelah kumakan beberapa menit sesudahnya, memang terbukti tawar. Tak hanya tawar, tetapi juga terasa sangat keras. Jenis roti yang harus dimakan dengan minuman hangat dan manis. Mungkin semacam teh manis kalau itu di tanah air, tapi di tempat asing, aku tidak tahu. Satu lagi roti berukuran kecil dengan bentuk agak pipih dan di dalamnya berisikan selai kacang.

Aku tak menolak tak berkesempatan menolak, dan menang tak ingin menolak. Aku terima secarik kertas itu berikut dengan dua roti yang ada di meja. Aku mengucapkan terima kasih dengan bahasa yang aku bisa. Saat dia hendak memberikan beberapa lembar mata uang. Saat itulah aku merasa harus menolaknya. Aku masih punya beberapa uang hasil penukaranku ketika masih berada di tanah air. Aku rasa itu masih sangat cukup untuk keperluanku beberapa hari.

Aku menemukan alamat itu. Letaknya agak masuk ke dalam, beberapa kali belokan untuk bisa sampai di tujuan. Memang benar, harganya murah. Pemilik penginapan juga ramah. Meskipun tanpa pintu dan teras yang luas untuk bernafas, penginapan ini cukup sejuk. Terletak di belakang sebuah apartemen dan di ujung jalan terdapat beberapa apartemen yang kurasa di sana ia berada.

Ali, memberitahu aku tentang orang yang aku cari setelah melihat foto yang aku selipkan di dompet kecilku yang kurus. Beberapa kali mereka berjalan bersama. Hatiku lega. Aku tak menyangka pencarianku akan semudah ini. Aku hanya ingin melihat raut wajahnya. Melihat bagaimana dia menjalani kesehariannya. Aku hanya akan tenang jika aku sudah memastikan. Melihat secara langsung dengan mata telanjangku ini.

Sambil kusiapkan diri setelah istirahat lelap semalam, aku mulai berpikir. Akankah dia mau menyapa. Langsung diriku menjawab, tidak, aku tak ingin mendahului. Aku ingin dia melihatku karena dia yang mau. Karena dia ingin bertemu denganku.

Seperti yang disampaikan Ali tempo hari. Aku setia bersama jalanan mulai dari sepi hingga banyak orang berlalu-lalang. Hingga sosok itu muncul berjalan perlahan. Sungguh aku ingin memeluknya, membelai rambutnya, dan membisikkan betapa aku rindu dan sangat mencintainya. Tak sangka aku meneteskan air mata, hangat mengalir di pipiku. Sedikit tapi cukup membuatku tersadar betapa dia memang sangat aku butuhkan.

Aku mulai mengikuti arah jalannya dari seberang jalan. Ritmenya tenang. Dia bukan lagi gadis ceria yang penuh semangat dan akulah sesosok egois yang sudah merenggut keceriaannya. Kembali air mataku menetes. Dia berjalan menuju kampus. Tak satu pun orang yang bertegur sapa dengannya sepanjang perjalanan tadi. Dia tak menyapa tak juga disapa. Dia duduk di sebuah kafe. Mungkin untuk sarapan. Di luar kafe dengan udara yang lumayan dingin. Asap makanan mengepul di depannya. Menutupi parasnya yang aku yakin tidak menunjukkan lengkung bibirnya sejak keluar dari gedung bertingkat tempatnya tinggal selama ini.

Mungkinkan seperti itu pemandangan yang ia tampilkan setiap hari? Hatiku mencelos, semakin sedih dan merasa bersalah.

Dia makan perlahan, seperti tidak ada nafsu untuk makan. Setelah kucermati, di balik mantelnya yang telah menjuntai, dia terlihat kurus, lengkung pipinya terlihat tajam. Meski samar tertutup riasan, aku masih tetap bisa melihatnya. Jari-jarinya yang memegang cangkir terlihat kurus memanjang. Tak puas dengan memandangnya dari kejauhan. Aku mengambil ponsel yang ada di saku celanaku. Kunyalakan kamera dengan zoom maksimal. Beruntung kualitas ponselku lumayan bagus sehingga bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kuabadikan potretnya.

Satu hari berkelana, dua hari memperhatikan dia. Cukup. Aku tak sanggup lagi terus merasa luka. Mungkin dia baik-baik saja, tapi aku tahu pasti yang dirasakannya karena aku yang telah membuat lukanya.

Kuputuskan untuk kembali mengudara. Kembali melanjutkan cita. Akankah aku bisa seperti semula setlah melihat dia yang berbeda.

Aku mengirim beberapa email padanya. meski tak satu pun berbalas, berharap ia membacanya.

Berharap sedikit kata permintaan maaf bisa sedikit meringankan lukanya meski aku yakin itu tak sebanding dengan keceriaannya yang sirna. Beberapa makna penjelasan yang sudah terlambat dan terkesan sia-sia tetap kutorehkan meski tak menebus hutang lara dan kecewa yang terlanjur tertanam dan mengakar.

Kemboja yang SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang