Sialnya hari ini. Hujan mengguyur hampir seluruh kota. Bukan hujan air seperti yang selama ini kualami. Bukan pula hujan kelopak bunga yang pernah aku puja di salah satu negara Asia, Jepang. Bukan pula hujan air mata seperti yang sudah pernah membasahi pipi remajaku. Ini hujan yang pada umumnya turun di kota ini, hujan salju, hujan yang tidak berani kuterobos dengan sembarangan. Dinginnya benar-benar membekukan kulitku yang terbiasa menerima kehangatan. Itulah mengapa orang-orang di sini selalu melihat prakiraan cuaca. Itulah mengapa mereka selalu menyempatkan diri mengisi kebutuhan dapur selagi bisa melangkahkan kaki di udara luar.
Mereka selalu memperhatikan. Tak sembarang menerka, tak sekadar mengapal saja. Kini aku yang menyesal kurang memperhatikan itu semua. Tak bisa meniru kebiasaan mereka. Mungkin aku terlalu tidak peduli, terlalu sombong, sok tahu. Ah, sudahlah. Semua sudah di depan mata. Seperti kenyataan yang menyadarkanku, pantriku begitu kosong. Seperti juga perutku yang pagi ini begitu hampa, yang meronta-ronta dengan lemahnya. Hanya tersisa setengah bungkus roti tawar di meja tengah apartemenku. Juga sekotak susu dingin yang masih harus dipanaskan. Ternyata mereka bisa menggiurkan.
Kubawa mereka, setelah cukup hangat, ke belakang jendela kaca di sisi timur kamarku. Dalam dekapan kedua tanganku. Sambil kupandangi butiran putih lembut yang terjun bebas menyerang pepohonan dan jalanan. Mobil-mobil yang terparkir tak luput juga dari incaran mereka. Putih, bersih, pucat, damai. Ah, mungkin bukan damai, tapi sunyi.
Itulah pemandangan yang dapat kutangkap di bawah sana. Hamparannya merata. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan matahari pun, sinarnya pun, masih enggan. Hanya sisa-sisa malam yang masih bergelayut. Gemericik air yang mungkin dari tetangga sebelah samar-samar menggerakkan daun telingaku hingga terekam di bagian terdalam dari telingaku, saking sunyinya.
Habis. Tanpa dirasa. Tanpa tersisa.
Aku harus bijak menghemat tenaga sampai udara di luar bersahabat lagi. Aku meraih majalah di meja ruang tengah dan lagi kuayunkan kaki melangkah ke balik jendela. Kuposisikan kursi di sana. Senyaman mungkin untuk menopang badanku yang mulai ramping. Agenda hari ini tentu saja hanya berdiam di apartemen menghangatkan badan. Menonton acara di televisi mungkin sebentar lagi akan menjadi pilihan.
Ingin rasanya kembali mengantuk dan bisa lelap di cuaca seperti ini. Ingin juga aku tetap terjaga. Lalu dia kembali memenuhi pikiranku. jika dia mendapati aku seperti ini, dia akan langsung pergi ke supermarket terdekat. membeli beraneka bahan pangan, membawanya pulang, dan langsung mengolahnya. Memanjakan mulut dan perutku hingga mataku berbinar dan senyumku tak berhenti menyuarakan pujian. Setelah itu, duduk di sofa untuk berbincang. Sambil menyalakan televisi tanpa harus menontonnya karena matanya akan terus menatapku dan sedang tertidur di pangkuannya. Sambil mengelus dahiku, pipiku, wajahku, terkadang menciumku dengan hangat. Ia tak akan rela pemandangannya terganggu bahkan oleh rambut-rambut kecilku. Dan aku sibuk berceloteh menceritakan keseharianku yang kadang lucu kadang hanya sekadar merajuk, seperti merengek, seperti anak yang sedang minta pembelaan. Aku tersenyum menyadari lamunku terbang ke sana. Tersenyum miris, tersenyum rindu yang sakit. Dan aku meneteskan air mata hangat di pipi. Oh, Tuhan. Apa luka ini tak bisa disembuhkan? Mengapa aku belum bisa menerimanya meski sudah jauh dan lama?
Kuseka air mataku bersamaan dengan dering ponsel yang mengudara dari kamarku. Sekali, dua kali, tiga kali, sungguh teramat pentingkah hingga harus diulang seperti undian yang tak dihadiri pemenang. Bukan orang yang lain. Ari. Bukan panggilan telepon. Ini panggilan video. Dari mana dia mendapatkan nomorku? Sebentar aku mengingat dan sepertinya memang Ali tak pernah meminta izin untuk memberikan nomorku pada orang lain. Etika mereka sangat dijaga, nomor adalah hal pribadi sehingga mereka tidak akan sembarangan memberikannya pada orang lain. Dering keempat. Sungguh mengagetkan.
Aku sapa dengan nada seformal mungkin sementara di ujung sana terlihat senyum yang antusias dan penasaran. Wajahku terlihat biasa saja, tapi dia sedetik kemudian menyuarakan kekhawatirannya. Aku cukup lama menanggapi panggilannya, katanya.
Tak ada yang istimewa bagiku. Kami berbincang ala kadarnya. Hampir semua topiknya berasal dari dia dan aku menjawab sekenanya. Lagi. Sekadar sopan santun. Dia bercerita tentang tempatnya yang juga sedang turun salju. Dia lupa menutup kursi kesayangannya di balkon juga sebuah pot kecil tanaman hias yang berada di bangku balkon itu. Dia menceritakan bagaimana ia membawa jenis tanaman hias itu dari petualangannya. Puluhan kilometer dia memegang tanaman itu dengan tangan terbuka, mengajaknya naik turun kereta bawah tanah dan berjalan ribuan langkah. Hingga ia harus menyiram dengan takaran yang benar dan memberikan tempat bercahaya yang cukup. Setelah mampu beradaptasi dengan baik, kini tanaman itu tertutup salju. Dia begitu menyesalinya dan aku pun turut prihatin.
Cerita lain yang kudapat darinya, tentang Ali. Dia menceritakan pertemuannya dengan Ali di tahun lalu, tepat ketika salju turun seperti yang kulihat di luar. Dirinya sedang bermurung kala itu. Meski pertama, dia tak semudah aku berteman dengan orang lain. Dia bercerita betapa Ali terlihat begitu mengejarnya, menurutnya, hingga membuat ia takut kalau-kalau Ali menyukainya. ternyata tidak. Ali bisa menjadi teman yang hangat untuknya. Dia memang seorang psikolog yang bisa diandalkan. Aku sepakat dengan hal itu.
Dia terdiam pada poin itu, dia ingin mendengar kisahku. Tentu tak langsung kusetujui sebelum aku mencerna maksud permintaannya. Oke. Akhirnya aku bercerita hanya tentang pertemuanku dan Ali. Tidak ada yang aku lebihkan dan tidak ada yang aku kurangi. takaran pas seperti bongkahan gula yang sering kumasukkan dalam teh panas saat akan menyelesaikan tugas di tengah hujan pada malam hari.
Seperti menunggu giliran. Dia mengambil topik, bercerita dan memintaku untuk menceritakan hal yang sama. Kutolak tentu saja. hanya tentang Ali saja yang kuceritakan. Dia tak marah, dia masih bersahabat. Hingga tak terasa hampir satu setengah jam aku menatap telepon selularku yang memperlihatkan wajahnya. Ternyata manjur juga untuk mengusir lapar, kini aku merasa lelah dan hanya ingin tidur. Kusampaikan, tentu saja, padanya. Dan kami mengakhiri jumpa virtual itu setelah saling mengucapkan salam dan melambaikan tangan.
Tidak buruk. Mungkin aku ini lebih buruk dari roti tawar. Aku ini hambar, tidak mampu menunjukkan ekspresi apa pun. Kepala dan perasaanku benar-benar berkabut. Semua yang kutunjukkan hanya ekspresi kepalsuan. Sesungguhnya aku belum bisa menjelaskan tentang yang aku rasakan. Kosong, Tapi berkabut. Kosong. Tapi penuh sesak.
Aku menghangatkan air untuk mandi sebelum tidur.Bukan waktu yang tepat untuk kembali tidur. Tapi tak ada pilihan lain. Sebelumaku kembali jemu dan berulang melamunkan hal yang tak ingin kulamunkan. Sebelumaku kembali mengorek keterpurukkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemboja yang Setia
Short StoryAku tak bisa menganggap diriku ini setia saat aku pernah sesaat melupakannya. Aku pun tak pernah benar-benar setia saat aku mengabaikannya. Siapa yang percaya dengan kesetiaan sepenuhnya?