Potongan 6

1 0 0
                                    


Aku merasa ada yang berbeda dengan dua hari yang lalu. Tapi aku baru merasakan keanehannya hari ini. Entah firasatku atau menang benar adanya. Dia selintas membayang di pandanganku. Hanya postur tubuhnya. Tampak punggungnya saja yang kurasa tak asing. Tapi itu sudah dua hari lalu saat aku berada di sebuah toko buku dan sosok itu ada di luar di bawah sebuah tiang dekat kursi di taman. Aku juga merasa dia tinggal di dekatku. Tapi itu dua hari lalu. Hari ini aku tak menangkap sosoknya lagi.

Aku mencoba meluruskan kakiku setelah berlari kecil mengitari area joging di taman yang terletak tak jauh dari tempat tinggalku. Banyak orang-orang yang melakukan hal seperti diriku. Banyak juga yang memanjakan anak mereka di area bermain anak dengan berbagai sarana permainan yang ada. Hari yang cerah tidak akan mungkin dilewatkan. Hangatnya matahari –yang menurutku selalu seperti fajar pagi— merupakan moment yang disukai di tempat ini. Tak terkecuali aku.

Aku melepas earphone yang sedari tadi melantunkan lagu Sheila on Seven. Canggihnya dunia digital memang sudah mendunia, banyak yang mengatakan bisa mendengar musik apa pun di mana saja. Tapi, aku lebih memilih mengunduhnya dan menyimpannya di perangkat untuk kuputar sewaktu-waktu.

Kini aku mendengar celoteh tawa anak-anak yang tadinya hanya kulihat mereka tersenyum. Teriak penjaganya yang mewanti-wanti mereka untuk berhati-hati. Juga gerakan dan desah napas dari mereka yang berlari melintas di depanku. Kehidupan memang harus selalu ceria. Harus selalu berwarna dan hari ini akan kuwarnai dengan pergi berbelanja bersama Ali.

Setiba di kamar seusai olahraga pagi itu aku langsung membersihkan diri. Waktu masih menunjukkan u]pukul sepuluh pagi masih terlalu jauh dengan waktu janjiku pada Ali. Aku mengambil gitar yang sejak dulu tak pernah kumainkan. Petikan sumbang yang kuhasilkan kini tak lagi menghentikanku. Asal kupetik saja karena memang sesungguhnya aku tak bisa bermain gitar, juga alat musik lainnya. Tapi aku suka mendengar suara musik.

Pusat perbelanjaan tak seramai di kota kelahiran. Di sini orang hanya akan mengunjunginya jika memang harus mengisi keperluan rumah. Tidak ada yang seperti aku dan Ali, menghabiskan waktu hanya untuk berkeliling. Budaya berjalan kaki sepertinya sudah tumbuh di dalam diriku. Aku bertahan hampir dua jam tanpa henti. Keluar dan masuk toko tanpa membeli. Tidak ada etika yang mengharuskan membeli. Di sini pramuniaga tidak akan mengganggu pengunjung sampai pengunjung itu memanggil. Pengunjung boleh dengan leluasa melihat-lihat dan mungkin mencoba produk yang ditawarkan. Ada produk contoh ada juga produk yang dikemas untuk dibeli.

Alunan musik berbahasa latin beritme cepat diputar memberi semangat untuk terus melangkah. Terkadang juga musik beralun lembut seolah mengimbangi. Mereka saling berganti, seolah berbagi beban tanpa persetujuan namun tetap berjalan.

Kami makan siang tidak di tempat itu, tapi di luar. Seperti biasa, di sebuah kafe tempat yang nyaman dengan makanan ringan dan secangkir kopi pahit yang hangat. namun kali ini tidak hangat tidak juga kopi. Aku lebih memilih minuman bersoda ringan.

Selesai dengan makan yang sunyi. Ali memberitahuku bahwa aku mengalami perkembangan. Ia ingin aku datang ke tempatnya untuk sedikit relaksasi dengan terapinya. Aku belum pernah mencoba tapi Ali mengatakan bahwa aku sering melakukannya selagi aku bersama dengan Ali. Tanpa aku sadari dia menjalankan tugasnya mengamati.

Aku mendapati tempat tinggal Ali yang tenang. Lebih luas dibandingkan tempat tinggalku. Di bagi menjadi dua ruang utama yang masih terhubung dengan leluasa.

Satu ruangan bernuansa putih di situlah Ali memintaku untuk duduk menunggu selagi dia mengambil segelas air mineral. Aku tak menuruti pesan Ali. Aku lebih suka melihat pemandangan di luar tempat tinggal Ali dari balik dinding kaca yang tertutup dua korden berwarna kontras. Aku menyibak dan menggeser korden itu dan benar kutemukan pemandangan indah yang memanjakan mata. Di balik rumah yang terlihat sederhana dari depan itu, di belakangnya menyajikan sebuah taman dengan bunga yang beraneka warna dilengkapi dengan sepasang ayunan dan sepaket kursi meja taman.

Ali berjalan menghampiriku dan menyerahkan segelas air mineral untukku. Dia menawarkan padaku apakah aku ingin keluar dan menikmati taman itu. Aku sampaikan aku ingin itu sebagai hadiah. Aku akan menjalankan terapi yang dianjurkan Ali untuk memastikan apakah emosiku sudah tertata atau masih sama saja.

Aku bukan orang gila. Aku hanya orang yang kelewat emosional, tapi tidak bisa melampiaskan emosi itu. Manifestasi yang ujungnya merugikan diri sendiri. Terkungkung dalam ranah yang tidak ingin dicampuri pun juga tak bisa mengatasi. Ali paham betul tentang hal itu. Dan aku meletakkan gelas yang tadi diberikan Ali di meja kecil dekat tempat duduk. di tempat duduk yang sedikit lebih panjang hingga bisa menopang kaki itu aku merebahkan diri. Pelan-pelan Ali menstimulasi hingga aku terbawa dalam suasana nyaman. Aku masih bisa samar mendengar tapi aku tak benar-benar merasakan diriku dengan nyata.

Beberapa saat aku merasa tubuhku diguncang pelan. Ali membangunkanku. Dia mengatakan aku sudah lebih baik seperti dugaannya. Dia menyodorkan kembali segelas air untukku, gelas yang sama yang langsung kusambut dan kuteguk. Dua tegukan untuk mengobati kering di tenggorokanku.

Dia membuka korden dua lapis di ruangan itu lebar-lebar dan menggeser dinding kaca tebal itu. Ternyata ada pintu di bagian tepi dinding itu. Pintu berbahan sama dari kaca. Angin seketika berembus membawa aroma bunga yang bermekaran. Kuletakkan gelas yang tadi kupegang dan kuikuti Ali memasuki taman.

Taman itu tidak menyuguhkan warna dan aroma saja. Begitu aku menyeruak berbaur ke dalamnya kudapati lebih banyak tari dari kupu-kupu yang seolah warga pemilik dari taman itu. Mereka ramah, tidak menghindar karena kedatanganku. Juga tidak berlaku sombong dan arogan. Mereka tetap menari dengan gemulai, sesekali singgah di bajuku yang berbahan katun. Kadang juga beramai-ramai mengitari tubuhku seperti sedang mengantarku berkeliling menunjukkan kebolehannya sebagai tour guide yang tahu seluk beluk taman itu.

Aku ingin memetik salah satu dari mereka yang menyegarkan mata, tapi aku ragu. Mereka terlihat cantik jika berada pada tempatnya. Jika aku melanjutkan niatku maka aku akan melukai mereka dan aku tak mendapatkan apa-apa karena mereka akan menjadi berbeda tak seindah ketika mereka masih di sana.

Aku hanya membelai kelopaknya perlahan supaya tak ada goresan meski aku tahu tanganku yang mungil tak akan membuat cedera di sana.

Kupu-kupu mengajakku ke bagian tengah. Aku menurut mengikuti jalan setapak dengan bebatuan kecil yang disusun rapi. Mungkin Ali yang mengaturnya sendiri, beberapa batu tampak lepas dari dasarnya yang berbahan semen, atau semacamnya.

Kini aku dikelilingi bunga. Merasa seperti putri andai saja aku memiliki mahkota bermekaran dan sedang memakai terusan panjang berbahan brokat berwarna putih tulang. Aku pernah membayangkannya, rambutku terurai pendek dan wajahku dipoles ringan dengan bibir berwarna pastel merah muda.

Aku mengalihkan pandanganku, membuyarkan khayalan yang sudah kuciptakan sendiri di kepalaku. Aku melihat Ali yang kini duduk di bangku pinggir di bagian sudut dekat dengan dinding kaca di belakangnya. Kakinya disilangkan dan tangannya memegang cangkir putih dengan asap yang mengepul perlahan ke atas. Aku menduga itu adalah kopi. Ia mengarahkan pandangannya padaku. Mungkin juga mengulas senyum, aku agak kurang yakin dengan penglihatanku.

Aku susul dia setelah puas menikmati rona baru itu. Secangkir minuman yang sama masih tersaji utuh. Itu untuk aku. Aku duduk di sampingnya, di seberang meja. Mengambil cangkir berisi minuman pekat itu dan mengikuti arah pandanga Ali. Sama-sama, kami berdua menatap lurus ke depan. Ke hamparan bunga yang beraneka warna.

Kuletakkan kembali cangkir yang sudah sedikit menghangatkan telapak tanganku. Setelah kusesap beberapa kali, sesapan kecil yang sudah cukup mewakili keseluruhan nikmatnya.

Ali kini memandang ke arahku dengan kedua telapak tangannya yang masih merangkum cangkir mungil itu. Aku yakin, isi di dalamnya masih ada tapi pasti sudah tak sehangat yang pertama. Hangat cangkir itu pasti sudah menjalar dan tersalur ke kulit-kulit telapak tangan Ali.

Dia bertanya tentang apa yang aku bawa dari taman itu. Aku hanya bisa menggeleng. Aku memang tidak membawa apa pun. Aku kira dia sedang menuduh, menaruh curiga jika saja aku merusak karya dan hartanya. Namun bukan itu yang disampaikan Ali. Dia bilang aku tak bisa melukai, aku hanya orang yang mampu menahan diri meski aku ingin memiliki. Berkorban hati dengan alasan yang tak berarti. Benteng itulah yang saat ini sedang berdiri.

Seperti keputusanku untuk melewati waktu yang tak sepenuhnya aku mau. Aku berjalan linglung di jalur buntu yang mengepung. Tak tahu arah tak tahu tujuan tak tahu keinginan. Jika aku terus bertahan, Ali menyarankan itu tidak dilakukan, maka aku akan semakin tak karuan.

Aku harus berani, setidaknya sesekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kemboja yang SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang