Bab 4. Ponsel Sea

271 28 0
                                    

Galen baru saja sampai di rumah. Saat dilihatnya Bagaskara duduk di kursi teras, dia pun menghampiri. Sang Papi terlihat sedang melamun. "Ngapain Papi di sini malem-malem gini?" tanyanya.

"Eh kamu Galen. Sudah pulang?" Bagaskara menaruh ponselnya ke atas meja. "Dari mana aja, malem banget pulangnya."

Galen duduk di kursi satu lagi. "Biasa, Pi. Kayak nggak pernah muda aja," sahutnya.

"Papi saat masih muda nggak ada waktu buat keluyuran. Nenek kamu orang yang sangat disiplin waktu, semua yang anak-anaknya lakukan harus sesuai dengan jadwal yang udah dia atur." Dia mengenang kembali masa kecilnya yang tidak seindah anak-anak lain.

"Itu sebabnya cucu-cucunya nggak ada yang deket sama Nenek, kecuali si penjilat Viktor."

Bagaskara lantas tertawa. "Kamu nggak takut harta warisan Nenek kamu jatuh ke tangan Viktor semua?" godanya.

"Biar aja dia ambil semuanya, Pi. Nanti juga bakal habis di tangan dia."

Bagaskara mengangguk setuju. Siapa yang tidak tahu watak Viktor, baik di depan tapi sangat busuk di belakang. Sama seperti orang tuanya yang merupakan Kakak dari Bagaskara, sangat serakah.

"Ngomong-ngomong, apa hari ini kamu juga ada kelas mendadak di kampus?" tanya Bagaskara.

"Hah?" Galen mengerutkan kening.

"Sea mendadak membatalkan janjinya sama Papi, katanya ada kelas dadakan."

Galen terkejut mendengarnya. Bukan karena sang Papi telah dibohongi, tapi itu berarti Sea sebenarnya tahu kalau dia sengaja ingin menculik wanita itu seharian penuh hari ini. Pantas saja semua berjalan lancar hingga waktu pulang. Kenapa dia mau?

"Papi coba hubungi juga nggak bisa-bisa." Bagaskara berdecak setelah mencoba menelepon dan ponsel Sea masih juga tidak aktif.

Diam-diam, Galen meraba ponsel yang ada di saku jaketnya. Untung saja sudah dia matikan. Dia lupa mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

"Sudah malam. Papi mau istirahat dulu. Kamu juga jangan tidur terlalu malam," ucap Bagaskara. Dia menepuk pundak Galen, kemudian berdiri.

Galen hanya diam. Sejujurnya, dia sudah berusaha keras untuk kembali membangun kehangatan bersama sang Papi. Meski masih terasa canggung.

***

Di kamarnya, Galen menyalakan ponsel Sea. Lebih dulu dia aktifkan flight mode agar tidak ada gangguan. Pertama-tama yang dibukanya adalah aplikasi chat, sialnya tidak ada apapun di sana. Padahal dia sangat ingin mengepoi obrolan antara sang Papi dengan wanita itu. Tapi memang lebih masuk akal bila pria seusia Papinya tidak menggunakan aplikasi chat untuk merayu wanita.

Setelah itu Galen beralih membuka log panggilan, yang bener aja! Dia terkejut melihat banyaknya riwayat panggilan antara Sea dan Papinya. Nyaris setiap jam sang Papi menelepon, ngapain coba?

Membuka aplikasi instagram, Galen cukup terkejut melihat banyaknya followers wanita itu. Sea bisa menjadi selebgram sebenarnya, tapi tentu saja penghasilan seorang Sugar Baby jauh lebih besar. Alih-alih mengejek, Galen justru semakin dibuat terpana dengan foro-foto di feed instagram itu, hanya ada beberapa tapi benar-benar cantik.

Galen menenangkan diri sejenak. Dia masuk ke kamar mandi membasahi tubuh dengan air hangat. Seketika otaknya langsung membayangkan kembali sosok Sea yang benar-benar mengacaukan imannya hari ini.

Selesai mandi, Galen berniat mengepoi kembali ponsel Sea, tapi Gabby dengan lancangnya masuk ke kamar dan harus membuatnya menyembunyikan ponsel itu. "Udah malem, kenapa belum tidur?" tanyanya.

"Belum ngantuk. Kakak sendiri kenapa belum tidur?" Gabby duduk di ranjang dan menaruh bantal di pangkuan.

"Cowok mana ada yang tidur jam segini kali." Galen mencebik.

"Emang kakak, cowok?" ledek Gabby.

"Maksud kamu?"

Gabby tergelak. "Habisnya aku nggak pernah lihat kakak pacaran, betah banget kayaknya sendiri. Kalah sama Papi," ledeknya lagi.

"Emang cowok kalau nggak punya pacar itu selalu dianggap nggak normal ya?" Bukan hanya Gabby yang sering meledek seperti itu masalahnya.

"Kalau normal, kan, harusnya punya pacar, Kak." Gabby menaik-turunkan alisnya.

"Nggak ada teori kayak gitu." Galen merebahkan tubuhnya.

Gabby ikut berbaring di samping Galen. "Gimana tadi jalan sama calon Mami tiri? Papi uring-uringan banget loh hari ini, daun mudanya susah dihubungi." Gabby cekikikan.

"Dia bikin aku bangkrut," keluh Galen.

"Hah, gimana?" Gabby memiringkan tubuhnya.

Galen menceritakan segalanya, dimulai dari Sea yang meminta dibayari biaya spa. Lalu tiba-tiba saja wanita itu ingin pindah ke restoran lain yang tentu saja lebih mewah dari sekadar restoran Jepang. Menu yang dipesan pun tidak tanggung-tanggung, uang di kartu debit Galen terkuras habis.

Mendengar cerita miris Galen, Gabby malah tertawa terbahak-bahak. "Kakak sih, udah tau mainan dia yang sekelas Papi kita, nggak bakal kelawan lah!"

Galen melotot. "Emangnya siapa yang minta aku jauhin dia dari Papi?" protesnya.

"Aku cuma minta Kak Galen jauhin dia dari Papi. Lagian siapa yang bodoh di sini, kenapa mau-maunya aja diminta bayarin?"

Galen rasanya ditampar oleh kenyataan yang benar. Kenapa dia tidak menolak? Bisa saja, kan, seharusnya beralasan kalau sang Papi hanya menyuruhnya menemani, bukan mengeluarkan uang untuk kebutuhan wanita itu.

"Lain kali main cantik dong, jangan dia aja yang bisa morotin Papi. Kakak yang harus minta dibayarin, toh dia juga pake uang Papi."

Galen mendengkus.

Setelah Gabby keluar dari kamarnya, Galen kembali mengotak-atik ponsel Sea. Dia membuka galeri foto, ternyata memang tidak begitu banyak foto-foto selfie, malah nyaris tidak ada. Berbeda dengan Bridgia yang tiada hari tanpa selfie. Sea justru lebih banyak memotret sunset.

"Misterius banget sih lo jadi cewek. Gue sampai nggak bisa nemuin apapun."

***

Sugar BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang