Di sudut perpustakaan, seorang siswa tampak sibuk dengan buku di hadapannya. Wajah bulat itu begitu serius ketika membaca, tak lupa earphone terpasang rapi di telinga. Menghindari suara bising dari lapangan basket yang terletak tepat di depan perpustakaan. Namanya Arjuna, siswa kelas XII IPS 2 SMA Harapan Bangsa.
Perpustakaaan, menjadi salah satu tempat favoritnya. Di hadapannya lima buah buku telah selesai dibaca. Kini, ia telah kembali fokus pada sebuah buku berjudul Aksara Kirana karya Mischa I. M.
Paragraf demi paragraf telah berhasil dilahap, hingga bel yang berbunyi mengalihkan perhatian. Ia segera membereskan buku-buku di meja dan mengembalikan ke rak. Kemudian berlalu menuju kelasnya yang berada di lantai dua gedung B.
Arjuna melangkah cepat menuju kelas, tak ingin ketinggalan jam terakhir yang telah dimulai. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil.
"Arjuna, tunggu sebentar!"
Remaja 18 tahun itu menoleh dan mendapati Pak Rega-guru matematika-berlari menghampiri.
"Ada apa, Pak?"
"Bapak titip kertas tugas. Kalau sudah dikerjakan, kamu letakkan di meja Bapak."
Arjuna mengangguk sebagai jawaban, membuat Pak Rega tersenyum lebar.
"Baik, Pak. Saya pamit ke kelas duluan."
Arjuna kembali melangkah menuju kelas. Suasana kelasnya begitu riuh, karena Pak Rega memang tidak masuk ke sana. Ada yang tengah bernyanyi sambil berjoget, ada pula yang memilih menjadi penonton sembari bertepuk tangan. Suara tawa terdengar jelas begitu ia masuk.
"Kalian semua tenang dulu, Pak Rega lagi ada urusan sehingga hanya menitipkan tugas. Tugas dikumpulkan hari ini juga."
Aksi mereka terhenti dan kembali duduk ke tempat masing-masing, menghormati sang ketua kelas yang tengah menjelaskan di depan sana.
Arjuna membagikan lembar soal yang dibawanya kemudian kembali ke tempat duduknya.Usai menerima lembar soal, suasana kelas menjadi riuh. Siswa kelas XII IPS 2 itu terbagi menjadi beberapa kelompok tanpa diminta. Berdiskusi dalam mengerjakan soal yang telah diterima. Sudah menjadi kebiasaan di kelas itu ketika ada guru yang hanya menitipkan tugas penghuninya akan mengerjakan bersama.
"Guys, bagaimana kalau kita bagi jadi lima kelompok? Kita bagi rata jumlah soal yang dikerjakan, supaya cepat kelar." Aditya meminta persetujuan.
"Oke, setiap kelompok berarti mengerjakan lima soal. Nanti kita saling tukar jawaban setelah selesai."
"Setuju!" Mereka menjawab serempak.
Semua segera bergabung dengan kelompok masing-masing sesuai urutan tempat duduk, depan dan belakang. Kemudian mengerjakan tugas yang ada di hadapan mereka.
Namun, adapula yang dalam satu kelompok hanya satu orang yang mengerjakan. Sisanya memilih bergibah ria sembari menonton temannya yang mengerjakan tugas. Usai jawaban telah siap, mereka dengan sigap menyalin tugas yang telah dikerjakan tanpa perlu berpikir.
Hanya peduli pada hasil akhir, tanpa mau tahu proses yang dilalui.Arjuna memilih mengerjakan seorang diri, mengandalkan kemampuannya. Ia bukan tipe siswa yang akan memilih jalan pintas. Bagaimanapun hasilnya, setidaknya telah berusaha semaksimal mungkin. Begitulah prinsip yang selalu ditanamkan oleh mendiang sang ibu sejak ia masih kecil. Namun, selama ini nilainya tak pernah kurang dari angka delapan.
Teman sekelasnya tak heran lagi karena sangat tahu watak sang ketua kelas. Mereka tak mau ambil pusing, yang terpenting tugas itu selesai tepat waktu. Masalah hasil, urusan belakangan. Seandainya nilai itu jelek, tidak mengapa karena banyak kawannya. Itulah salah satu prinsip kelas itu yang dipegang erat, kecuali oleh Arjuna tentunya.
Dalam setengah jam, lima belas soal telah berhasil dijawab. Menyisakan lima soal lagi yang belum bisa mereka selesaikan. Padahal waktu mengerjakan tinggal lima belas menit lagi. Lebih tepatnya, lima soal itu tak bisa mereka kerjakan. Mereka mendekati Arjuna yang telah beralih membaca novel di tangannya.
"Mas Juna yang ganteng dan baik hati, ajarin kita mengerjakan lima soal lagi dong."
"Oke, mana yang enggak bisa kalian kerjakan?"
Arjuna meletakkan novelnya, kemudian beralih melihat soal yang belum dikerjakan. Dengan telaten, ia menjelaskan rumus-rumus yang digunakan beserta cara pengerjaannya. Namun, tetap saja hanya satu orang yang mengerjakan. Sisanya, memilih menunggu.
"Jun, nomor sembilan belas enggak paham sama sekali. Nyalin punyamu aja, ya."
Ardian mendesah frustasi, penjelasan Arjuna yang sepanjang jalan kenangan justru membuat kepalanya semakin pusing. Bukannya mengerti, dia justru semakin kebingungan dengan sederet rumus yang disodorkan. Alhasil, memilih menyerah.
"Enggak bisa, besok kalau kalian disuruh ngerjain lagi enggak ngerti. Usaha dulu, enggak selamanya bisa mengandalkan orang lain." Arjuna menasihati.
"Kalian bantuin kenapa? Aku udah mentok, enggak bisa mikir lagi." Ardian menatap teman-temannya bergantian.
"Lo yang cinta mati sama matematika saja enggak bisa, apa kabar sama kita semua yang benci banget? Jelas, enggak ada harapan." Ronald mengangkat kedua tanganya.
"Kita nyerah juga, Di." Davian menimpali.
Arjuna menggeleng pelan, mulutnya sampai berbusa karena menjelaskan berulang-ulang. Namun, nyatanya tak ada satu pun yang dimengerti.
"Oke, gue bakal jelasin ulang sambil ngarahin. Jadi, perhatikan baik-baik. Kalau besok ditanya Pak Rega, seenggaknya kalian udah paham."
Akhirnya, Arjuna mengerjakan ulang sembari menjelaskan dengan detail setiap rumus serta langkah yang digunakan. Kali ini, banyak dari mereka yang manggut-manggut paham.
"Akhirnya selesai juga." Ardian bersorak senang.
Lembar jawaban milik Ardian segera diambil alih oleh yang lain untuk disalin karena waktu yang memang hanya tersisa tiga menit. Kekompakan di kelas itu memang tak diragukan lagi, apalagi ketika berhadapan dengan tugas mendadak tanpa pengawas.
"Giliran nyalin jawaban aja berebut, kalau disuruh ngerjain pada angkat tangan semua," sindir Ardian.
Namun, tak ada satu pun yang menanggapi karena mereka sibuk menyalin jawaban yang telah tersedia.
Apakah di kelas lain juga sekompak ini dalam hal tugas? Batin Arjuna.
"Jun, makasih banget udah bantu kita-kita. Lo emang ketua kelas dan teman sekelas terbaik pokoknya, enggak ada duanya." Ardian mengacungkan kedua jempolnya.
"Sama-sama, sudah seharusnya begitu. Selagi gue bisa bantu, apa sih yang enggak buat kalian?" Arjuna tersenyum lebar.
"Bagi yang sudah selesai, kumpulkan tugasnya di meja guru. Nanti gue yang akan antar ke ruang guru," lanjutnya.
Arjuna segera mengantar semua tugas yang telah dikerjakan ke ruang guru, tepatnya diletakkan di meja Pak Rega. Setelah urusan tugas selesai, menuju ke parkiran untuk mengambil motor miliknya.
Remaja 18 tahun itu mengendarai kuda besinya dengan kecepatan standar karena jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan jam dua siang.
Sesampai di rumah, Arjuna dikejutkan dengan plang merah yang bertuliskan aset disita. Ia segera masuk dan mendapati sang ayah yang terpaku di ruang tamu.
"Yah, sebenarnya ada apa? Kenapa di depan dipasang plang kalau rumah ini disita? Sebenarnya ada apa?"
Revan tak menjawab, dia sendiri masih syok dengan apa yang tengah terjadi. Hal itu tentu membuat Arjuna dilanda penasaran sekaligus cemas. Pasalnya, sama sekali tak mengetahui tentang alasan adanya plang yang terpasang di depan pagar rumahnya.
Apa yang sebenarnya terjadi sehingga aset milik keluarga Bagaskara disita?
Kulon Progo, 1 Januari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna
Teen FictionArjuna melangkah gontai menembus pekatnya kabut pun pasukan air yang menyerbu bumi. Mengundang tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya yang memilih berlindung dari tentara Malaikat Mikail itu. Namun, ia tak peduli. Justru terus berjalan tanpa pe...