Suasana kantin masih sepi ketika Arjuna menginjakkan kaki di sana. Ia meletakkan tas di kursi, kemudian membantu Alvian menata hidangan yang telah disajikan. Menu pagi itu lebih lengkap dari biasanya, ada bubur ayam, bubur sayur, nasi goreng, soto ayam dan terakhir nasi putih serta ayam goreng.
"Jun, sarapan dulu aja. Nanti keburu ramai, lo malah enggak sempat sarapan lagi."
Suara Alvian menginterupsi gerakan remaja bertubuh ringkih itu yang sibuk membersihkan piring dengan serbet. Ia hanya mengacungkan jempol dan kembali melanjutkan tugasnya yang belum selesai.
Melihat Arjuna yang tak kunjung beranjak, pemuda itu menghampiri dengan membawa semangkok bubur ayam, ayam goreng, serta segelas teh hangat dan meletakkan di meja.
"Sarapan dulu, itu tinggal saja. Nanti biar Abang lanjutkan, lo butuh tenaga ekstra untuk bekerja dan belajar. Jadi, sarapan itu sangat penting." Alvian menasihati.
"Makasih, Bang."
Arjuna segera menyelesaikan sarapannya ketika kantin mulai dipenuhi oleh murid-murid yang tak sempat sarapan. Entah tidak sempat atau memang tak ada yang menyiapkan sarapan, ia sendiri tak tahu.
"Jun, kalau udah selesai antar ini ke meja belakang, ya." Alvian menunjuk meja paling pojok.
Arjuna mengangguk, mencuci mangkoknya dan berlalu mengantar pesanan. Kantin yang semakin ramai, membuat remaja itu semakin sibuk. Sesekali tampak mengusap keringat yang mengucur di wajah dengan tisu.
Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri, di sana menunjukkan pukul 07.50. Tanpa pikir panjang melepas apron yang dikenakan dan mengambil tas miliknya.
"Bang, gue ke kelas."
"Oke, makasih udah bantuin. Belajar yang bener!"
Arjuna hanya mengangguk, kemudian berlalu ke ruang guru. Sesuai rencana, menemui Bu Sita dan mengutarakan tentang pengunduran dirinya sebagai ketua kelas.
"Jun, ada apa? Ada masalah sama teman-temanmu?" Bu Sita menatap cemas.
"Bukan, Bu. Saya ingin mengundurkan diri sebagai ketua kelas." Arjuna berujar yakin.
"Memangnya kenapa? Cerita saja sama Ibu, kalau ada masalah jangan dipendam sendiri."
"Enggak ada apa-apa, Bu. Saya ingin yang lain juga mendapat kesempatan untuk menjadi ketua kelas. Saya, kan, sudah tiga periode ini menjabat."
"Baik, jika itu sudah menjadi keputusanmu."
Usai urusannya dengan Bu Sita telah selesai, ia melangkah menuju kelas. Suara penghuni XII IPS 2 begitu riuh bahkan suaranya terdengar hingga tangga. Namun, Arjuna tak mau ambil pusing. Toh, ia bukan penanggung jawab kelas kelas.
Seperti biasa, Arjuna langsung mendudukkan diri di kursi. Membuka buku pelajaran dan fokus membaca. Suara kegaduhan dari teman-temannya seolah tak didengar saking fokusnya.
"Jun, enggak bosan apa? Setiap hari kerjaannya kalau enggak di kantin baca buku terus, gue yang lihatin aja capek."
Bima yang baru duduk, menyenggol lengan remaja itu. Namun, hanya dibalas dengan anggukan pelan tanpa sepatah kata pun. Lawan bicaranya itu hanya mampu mendesah sembari mengusap dada.
"Gue serasa ngomong sama tembok. Tembok mah emang enggak bisa ngomong, kalau in–"
"Makanya enggak usah ngomong sama gue. Baper sendiri, kan, lo." Arjuna memotong.
"Lo jahat sama gue, ngambek nih!" Bima mengerecutkan bibir, sembari memukul pelan lengan teman sebangkunya itu."Bodo amat!"
Perdebatan keduanya terhenti ketika Pak Ridwan—guru sejarah—memasuki kelas. Mereka pun sibuk menyimak materi yang diberikan.
Tentu saja tak semua murid menyimak, ada beberapa siswa yang tampak tak berminat mendengarkan. Kepala ditumpukan di atas kedua tangan, bahkan ada yang menguap berkali-kali."Jun, gue ngantuk. Sudahlah suara Pak Ridwan pelan, penjelasannya diulang-ulang semakin membosankan." Bima menggerutu.
Arjuna mencubit lengan Bima cukup kuat, hingga empunya meringis kesakitan. Beruntung, tidak sampai berteriak karena bibirnya dengan sigap dibekap oleh sang pelaku. Remaja bertubuh kekar itu melotot tajam, tetapi hanya ditanggapi dengan senyum manis.
"Masih ngantuk? Kalau masih gue bisa nyubit lebih kuat dari yang tadi, biar mata lo melek."
"Enggak perlu, makasih. Gue udah enggak ngantuk lagi, matanya udah terang banget." Bima menyahut cepat.
Arjuna tersenyum puas, sedangkan Bima masih mengusap-usap lengannya yang terasa perih dan panas.
Waktu terus melaju, tanpa terasa bel pulang telah berbunyi. Arjuna langsung kembali ke kos tanpa mampir ke kantin terlebih dahulu. Saat istirahat terakhir, ia sudah meminta izin pada Alvian. Jadi, sekarang bisa melenggang pulang dengan nyaman.
Sesampai di kamar kosnya yang sederhana, ia langsung menenggelamkam diri di dalam selimut. Tubuh ringkih itu menggigil kedinginan, padahal di sana tak tersedia AC. Tak butuh waktu lama baginya untuk terlelap ke alam mimpi, terbukti dengkuran halus telah terdengar dari bibir tipisnya.
Arjuna terbangun ketika jam dinding di dekat pintu menunjukkan jam satu dini hari. Tubuhnya masih menggigil pun merasa bahwa ruangan itu bak komedi putar. Ia kembali memejamkan mata, berharap esok hari kondisinya telah membaik.
Namun, ia tak bisa kembali tertidur karena perutnya terasa melilit. Berkali-kali bolak-balik ke kamar mandi karena mengalami diare, hingga membuat tubuhnya benar-benar lemas.
Arjuna hanyameringkuk di kasur tipisnya, mengangkat kepala saja terasa sangat berat. Ingin meminta tolong, tetapi ia sudah tak mampu berteriak apalagi untuk bangkit. Ingin menghubungi Bima, tetapi ponselnya dalam keadaan mati kehabisan daya.
"Bego banget sih, di saat genting kaya gini gue malah lupa naroh itu cas di mana," rutuk Arjuna sembari meraba-raba sisi kasurnya.
Casnya tak berhasil ditemukan, tetapi tangannya justru meraih minyak
kayu putih di bawah bantal. Ia usapkan minyak itu ke perut dan pelipis berharap bisa meredakan nyeri di sana. Tak lupa membalurkannya ke tangan serta kaki agar sedikit memberikan kehangatan."Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Apakah waktuku di dunia ini tak lama lagi?"
Arjuna mencengkeram erat perutnya yang terasa nyeri, berkali-kali harus menahan napas demi mengurangi rasa sakit yang menghantam. Namun, tak berhasil.
"Gue harus minta bantuan, kalau enggak bisa saja akan ada pemberitaan tentang anak koruptor yang ditemukan tewas di kamar kosnya. Bisa-bisa gue dikira bunuh diri," lirihnya.
Remaja berwajah bulat itu berusaha bangkit dari pembaringan dengan berpegangan pada dinding. Berkali-kali mencoba, berkali-kali juga ia terjatuh.
"Bun, apakah sudah waktunya untuk kita bertemu dan kembali bersama?"
Arjuna kembali mencoba, ia berhasil berdiri dengan tangan bertumpu pada dinding. Melangkah dengan tertatih, tetapi baru tiga langkah
pandangannya justru semakin memburam. Ia mengedip-ngedipkan matanya berharap pandangannya kembali terang. Namun, justru terlihat semakin gelap hingga tubuh itu luruh ke lantai tak sadarkan diri.Apakah yang terjadi pada Arjuna?
Lalu, adakah yang akan membantunya?Kulon Progo, 10 Januari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna
Teen FictionArjuna melangkah gontai menembus pekatnya kabut pun pasukan air yang menyerbu bumi. Mengundang tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya yang memilih berlindung dari tentara Malaikat Mikail itu. Namun, ia tak peduli. Justru terus berjalan tanpa pe...