Bagian 9

105 12 0
                                    

"Tolong jaga Arjuna selagi aku enggak ada di sisinya, cuma kalian satu-satunya harapanku." Revan menatap manik cokelat wanita di hadapannya.

Wanita berjilbab merah itu mengusap lengan Revan sembari tersenyum. Ini kali kelimanya datang mengunjungi lelaki itu di penjara, sejak memutuskan pindah ke Bogor.

"Tanpa diminta pun, sudah menjadi kewajibanku untuk menjaganya. Semua ini terlalu berat jika harus dia jalani seorang diri, kamu enggak perlu khawatir."

"Maafkan aku atas semua luka di masa lalu. Di saat berada di titik terendah, justru kamu yang tetap berada di sini, mendukung, mempercayai lebuh dari siapa pun."

Revan menggengam jemari lentik wanita di hadapannya. Rasa bersalah menyusup masuk dalam atma, menyesali kisah lampau yang terlanjur abadi.

"Andai aku bisa mengulang waktu, semua kis–"

"Mas, jangan ungkit lagi kisah itu. Kita tak lagi hidup di sana. Lupakan!  Sudah saatnya untuk kita membuka lembaran kisah baru." Wanita bertubuh berkulit putih itu memotong cepat.

Revan terpaku sejenak, bersyukur dalam hati karena pernah mengenal wanita hebat itu. Bukan hanya mengenal, tetapi menjadi bagian dari hidupnya. Sayang, keserakahannya dulu membuat semua kebahagiaan itu lenyap tanpa sisa.

"Jangan terlalu mencemaskan Arjuna, pikirkan juga dirimu sendiri. Aku janji akan membantumu untuk menjaganya. Namun, untuk saat ini belum bisa menjelaskan apa pun padanya."

Revan mengangguk, mengerti kekhawatiran terbesar wanita itu apabila Arjuna mengetahui tentang fakta yang sebenarnya. Ia sendiri juga memiliki kekhawatiran yang sama, takut apabila putranya tak bisa menerima kenyataan.

"Biarlah waktu yang menjalankan tugasnya untuk mengungkap tabir rahasia yang kita simpan selama delapan belas tahun terakhir ini." Wanita itu menatap manik hitam Revan sembari tersenyum.

"Terima kasih dan maaf atas apa yang pernah terjadi."

"Jangan berterimakasih padaku, Mas. Namun, berterimakasihlah pada-Nya. Aku hanya perantara yang dikirim untuk membantumu dan Arjuna." Wanita itu menjawab lembut.

****
Sejak bel berbunyi, Bima terus memperhatikan pintu kelas. Berharap  Arjuna hanya terlambat bukan tidak datang. Selama pembelajaran berlangsung  pun sama sekali tak bisa fokus karena mengkhawatirkan teman sebangkunya itu.

Jun, lo ke mana? Jangan-jangan terjadi sesuatu sama lo, batin Bima.

Waktu merangkak dengan lambat, seolah jarum jam berhenti berputar. Berkali-kali Bima melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, tetapi waktu istirahat masih satu jam lagi.

"Pak, saya izin mengunjungi Arjuna karena takut terjadi sesuatu sama dia," ucap Bima memberanikan diri.

"Kamu bisa ke sana setelah pulang sekolah," tegas Pak Rega.

Bima ingin membantah, tetapi tatapan tajam guru matematika itu membuatnya mengurungkan niat. Menurut lebih baik, apalagi statusnya
masih anak baru.

Bel yang berbunyi membuat Bima tersenyum lega, segera mengumpulkan lembar soal ke meja guru. Ia melangkah cepat menuju kantin untuk menemui Alvian.

"Bang. Juna ada menguhubungi Abang kalau hari ini enggak masuk?"

"Enggak, cuma kemarin dia sempat izin langsung pulang setelah kelas selesai. Abang pikir dia cuma capek karena harus sekolah sambil kerja."

Dugaan gue bener, pasti ada yang enggak beres. Cuma, gimana caranya gue ke sana? Batin Bima.

Bima tak bisa berpikir jernih karena terlalu khawatir, berbagai pikiran buruk meracuni otak. Ia mengambil ponsel dari saku celana dan menekan tombol 1. Di sana tertera nama Bunda, ia mengirim pesan agar Arini datang mengunjungi Arjuna di kosnya.

Tak lama sebuah balasan dari Arini diterima, ibunya itu dalam perjalanan ke sana. Perasaannya jauh lebih lega karena sebentar lagi akan mengetahui tentang apa yang terjadi pada Arjuna.

Berbeda dengan Arini, sejak mendapat pesan dari sang putra hatinya diliputi kekhawatiran. Mobil sedan yang dikendarai wanita itu melaju cepat menembus jalanan  lengang. Tak butuh waktu lama untuk tiba di kos milik Arjuna karena posisinya yang tak terlalu jauh dari dari sana ketika menerima pesan.

Mobil Arini berhenti di tepi jalan, ia melangkah cepat menuju kamar bercat biru laut yang terletak paling ujung. Diketuknya pintu berkali-kali, tetapi tak ada sahutan dari Arjuna.

"Arjuna, ini Tante Arin. Kamu ada di dalam tidak?"

Hening, tak ada sahutan dari dalam. Wanita paruh baya itu berusaha mencari cara agar bisa mengintip ke dalam dan memastikan bahwa penghuni kamar itu berada di dalam atau memang tengah keluar.

"Arjuna, kalau kamu di dalam tolong buka pintunya." Arini kembali menggedor pintu.

Sebuah ide terlintas di benak wanita itu, ia menaiki kursi plastik yang tersedia di teras. Lantas, mengintip melalui celah fentilasi udara. Netranya menangkap sosok remaja itu terbaring di lantai dengan posisi meringkuk.

"Arjuna, kamu kenapa? Bangun dan buka pintunya!" Arini panik.

Namun, remaja itu sama sekali tak bergerak apalagi menyahut. Menambah keyakinannya bahwa Arjuna pingsan di dalam sana.

Ia berteriak meminta tolong, hingga beberapa penghuni kos lainnya yang menghampiri.

"Ada apa, Bu?"

"Arjuna sepertinya pingsan, tolong bantu saya membuka pintu ini."

"Lebih baik kita dobrak saja pintu ini." Salah satu dari mereka memberi usul.

"Satu ... dua ... tiga."

Pintu itu terbuka dengan sempurna udai didobrak, mereka segera masuk dan mengecek kondisi remaja beralis tebal itu.

"Arjuna, bangun! Hey, bangun!" Arini menepuk pelan pipi tirus remaja itu.

Arini mengecek kening Arjuna dengan punggung tangan. Panas terasa ketika kulit mereka bersentuhan. Wajah bulat itu pun tampak pucat dengan keringat yang menyembul dari pori-pori kulit.

Arini mengambil minyak dan mengoleskan di hidung mancung remaja itu. Perlahan mata sayu itu terbuka, tetapi hanya sebentar kemudian kembali terpejam. Jemari Arjuna terus saja meremas perut, bahkan rintihan lolos dari bibir tipisnya.

"Bunda jangan pergi." Arjuna menahan lengan Arini.

Cengkeraman di tangan Arini terasa semakin kuat, membuat wanita paruh baya itu menangis. Bukan karena rasa sakit di tangannya, tetapi karena menyaksikan Arjuna yang ta tampak kesakitan. Ia meminta bantuan untuk membawa Arjuna ke mobil, remaja itu harus segera dibawa ke rumah sakit.

Arini mengambil jaket remaja itu yang tergantung di balik pintu dan membantu untuk mengenakan. Tubub pemuda itu pun di bopong dan didudukkan di jok depan.

"Makasih sudah sudah membantu, Nak." Arini menatap dua pemuda yang tadi membantunya.

Setelahnya, duduk di belakang kemudi dan melajukan mobil menuju rumah sakit. Selama perjalanan, dihiasi dengan suara rintihan dari bibir Arjuna. Berkali-kali remaja itu tampak menahan napas sembari menggigit bibir bawahnya.

"Juna, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit. Kamu harus kuat, oke." sebelah tangan Arini menggenggam jemari remaja itu.

Arjuna mendengar semuanya, tetapi tak mampu menyahut. Ia hanya mengangguk pelan sembari tersenyum kecil, walaupun pada akhirnya kembali tak sadarkan diri.

Kulon Progo, 11 Januari 2020






ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang