Part 34

82 22 30
                                    

Adalah Dinda, permpuan berumur 16 tahun yg hidupnya sedang kalut-kalutnya. Di atas rooftop gedung berlantai 20 ini dia berdiri tegak, tapi pundaknya sedikit tertunduk, memikul beban yg cukup berat.

Kedua matanya menatap kosong ke depan, walau pandangannya jadi burem karna diselimuti air mata, ga masalah karna Dinda ga butuh pemandangan hiruk pikuk kota Jakarta malam hari ini.

Rambut panjangnya terlihat semerawut, kantung matanya juga menghitam dan bengkak akibat tangis tanpa jeda.

Di saat temen-temen seangkatannya sibuk menata masa depan, mengejar perguruan tinggi yg mereka tuju, Dinda justru harus menguburkan semua cita-cita indahnya. Masa depan? Udah ga berlaku untuknya.

Serasa semua usaha dan jerih payahnya selama ini di dunia akademis, terbuang sia-sia hanya karna satu malam bodoh yg menyebabkannya berbadan dua.

Iya, Dinda hamil.

Dari kekasihnya yg sudah bersamanya sejak 2 tahun yg lalu. Dinda terlalu polos hingga menjatuhkan semua hatinya pada kekasihnya itu, siapa yg menyangka bahwa kekasihnya itu akan tega melakukan hal tidak senonoh ini kepadanya?

Dinda dari keluarga terpandang, Ayahnya bekerja disuatu lembaga pemerintahan, rumahnyapun berada di kawasan elite. Dinda tidak hanya kaya, tapi juga cerdas, terbukti di umurnya yg baru 16 tahun ini, dia sudah berada di level teratas SMA, yaitu kelas 3, kelas akselerasi.

Memang sejak awal pacaran, orang tua Dinda sudah menolak kekasih Dinda itu secara keras. Satu, karna tak jelas asal usulnya. Dua, umur yg jauh dari Dinda. Tiga, feeling ortu yg merasa dia bukan lelaki baik-baik.

Tapi Dinda nekat. Mereka backstreet, di mata Dinda, laki-laki yg ia cintai ini adalah lelaki terbaik versi dia. Urusan backgroundnya itu nomor kesekian, yg penting baik.

Sayang pikiran polos Dinda ini meleset. Ia dijebak dan dicekokin minuman ber-obat tidur, lalu dijamah tanpa izin dan kesadarannya. Yg lebih bajingannya lagi, Dinda ditinggal, lelaki itu pergi tanpa jejak, bak iblis yg mendadak lenyap.

Waktu itu harapan Dinda hanya 2. Yg pertama, tentunya semoga ia tidak hamil. Yg kedua, jika apes-apesnya hamil di luar nikah, orang tuanya akan menerima dan berbelas kasihan padanya.

Dari kedua harapannya itu, satupun tak ada yg terkabul. Dinda hamil, Dinda diusir oleh keluarganya dan juga dikeluarkan dari sekolah. Padahal dalam kondisi seperti ini, Dinda butuh setidaknya satu orang saja yg bisa merangkulnya. Dinda tertekan bukan main, trauma berkejolak kian kelam. Ia ingin menghilang.

****
Dinda ngelangkahin kakinya makin ke pinggir atap gedung, ntah yg ngebuatnya gemeter saat ini itu ketakutannya sama tinggi atau angin malem yg dingin bukan main malem ini.

"Maaf, aku belum bisa bawa kamu lahir ke dunia ini. Maaf, karna kamu punya calon ibu yg ga becus kayak aku..." katanya pada si cabang bayi yg ada di perutnya. Niatnya, dia bakal ngelus perutnya untuk terakhir kalinya sebelum lompat dari gedung tinggi ini.

Mungkin dengan menutup mata, rasa takut itu bakal berkurang dikit, pikirnya.

Tapi ada yg menahannya ketika dia hampir aja ngehempasin badannya jatuh. Tangannya dipegang erat sama seseorang. Dinda noleh pake tatapan penuh tanda tanya.

"Jangan. Semua masalah bisa diselesai baik-baik. Dan bunuh diri bukan solusi." kata Woojin, orang yg lagi berusaha mengurungkan niat bunuh diri Dinda.

Jelas semesta ga pengen liat Dinda mati dengan cara yg tidak baik. Mungkin karna itulah skenario hidup ini dibuat sedemikian rupa, sampe akhirnya ngebawa mereka berdua ketemu.

Lokasi opening club yg lagi Woojin datengin hari ini ada di salah satu lantai gedung tinggi ini. Karna situasi yg mulai padat tamu, Woojin ngerasa butuh udara seger sambil nyebat satu rokok, sebelum akhirnya cabut ke Bandung, nyamperin Naya.

EclipsE [Park Woojin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang