3. Dia Ngambil Kalung Ibu

2.1K 324 5
                                    

"Kan, gue bilang juga apa."

***

Suasana mendung masih betah nongkrong di langit. Elma pagi-pagi udah cabut ke sekolah, katanya mau jadi anak rajin. Gue tahu itu alasan palsu. Anak SD berangkat pagi banget ke sekolah pasti dia pengen main yang lama dulu dan itu sama aja kayak gue ngaku rajin ke bengkel padahal cuma mau duduk ngopi.

Karena gue masih masa libur-sekolah gue habis dibakar-cuma ada gue dan bapak di kontrakan. Dari tadi dia lagi duduk di kursi plastik dengan wajah ngantuk dan rambut acak-acakan, mirip artis sinetron yang habis adegan kecelakaan. Gue masih berusaha terbiasa dengan kehadirannya, sampai akhirnya dia buka suara.

"Fan, bapak mau bicara serius," katanya dengan nada yang anehnya kayak guru BK lagi mau sidang.

Gue narik napas panjang. "Serius gimana, Pak? Kita mau bahas apa? Pajak RT? Genteng bocor? Atau rencana hidup yang bapak tinggalin bertahun-tahun lalu?"

Dia ketawa kecil, tapi lebih ke arah ketawa orang yang nggak tahu harus ngomong apa. "Bukan itu. Bapak cuma mau ngobrol tentang masa depan."

"Bapak baru balik semalam, masa depan mana dulu nih yang mau dibahas?" balas gue sambil nyeduh kopi sachet yang airnya aja barusan gue rebus dari sisa ember bocoran hujan.

Setelah basa-basi nggak jelas, bapak tiba-tiba minta ijin buat "lihat-lihat" barang-barang di kamar gue. Katanya, "Bapak cuma mau bernostalgia. Mau lihat barang peninggalan ibu kamu."

Nostalgia apaan? Alarm langsung bunyi di kepala gue. Tapi gue tahan dulu. Mungkin gue terlalu curigaan. Jadi gue cuma jawab, "Ya udah, Pak. Jangan lupa kunci pintunya abis keluar."

Beberapa menit kemudian, gue mulai dengar suara berisik dari kamar. Laci-laci dibuka, lemari dibongkar. Gue mulai ngerasa ada yang nggak beres. Akhirnya gue masuk ke kamar, dan ... di sanalah bapak gue. Di depan lemari, dengan tangan yang lagi sibuk ngubek-ngubek kotak kecil yang selama ini gue simpan baik-baik. Itu kotak yang isinya perhiasan ibu.

"Pak, ngapain?" tanya gue sambil nyoba tetap tenang. Dalam hati gue udah kayak gunung merapi siap meletus.

Dia menoleh, dan gue langsung tahu dia lagi nggak sadar penuh. Matanya merah, nafasnya bau alkohol, dan tangan dia gemeteran sambil ngegenggam kalung emas ibu gue.

Tunggu, sebelum kita duduk bareng di depan, dia sempet minum? Emang sebelumnya bapak gue lebih dulu bangun daripada gue.

"Fan, bapak butuh ini," ucapnya dengan suara berat yang jujur aja gue nggak tahu itu suara bapak gue atau setan mabok yang lagi numpang.

"Buat apa?" Gue maju satu langkah, mata gue fokus ke kalung itu. "Itu buat Elma. Buat tabungan dia nanti."

"Bapak janji bakal ganti," katanya, rasanya kayak denger omongan sales MLM yang lagi ngiming-ngimingi lo jadi orang kaya dalam semalam.

"Janji?" Gue ketawa sinis. "Janji kayak apa? Kayak janji Bapak buat nggak ninggalin kita dulu?"

"Fan, jangan jadi anak durhaka. Itu hak bapak!" Suaranya mulai meninggi.

"HAK APAAN?! Itu buat anak-anaknya, bukan buat bapak mabok atau bayar utang!" kejer gue dengan suara yang nggak kalah kenceng.

Bapak mulai ngamuk, dia ngebanting laci. "Jangan ngajarin bapakmu sendiri, dasar bocah bau kencur! Kalau bukan bapak, kamu udah mati kelaparan!"

"Kelaparan apanya?! Yang kasih makan gue dan Elma itu tangan gue sendiri, bukan Bapak!" Gue mulai nggak peduli lagi. Kalau dia mau drama, gue suapin. Makan nih drama.

JACKPOT DIARIES: MEKANIK JADI PEWARISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang