"Jangan, Yah ... aku mohon!" Marlinda masih terus menangis sambil memohon kepada Marco Duran yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri.
"Sadar, Yah! Aku anakmu!" teriak Marlinda karena ayahnya semakin kasar. Dia melangkah mundur sampai mentok ke tembok.
Marco Duran sedang dalam keadaan setengah sadar karena di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan terlarang.
Sejak perusahaannya bangkrut dan jatuh miskin, ia selalu pulang dalam keadaan mabuk. Seperti malam ini dia pulang dalam keadaan mabuk dan hilang kendali.
Marco memaksa sang anak untuk memenuhi hasratnya. Pikiran dan hatinya sudah dirasuki iblis karena barang haram tersebut.
Walaupun Marlinda menangis dan memohon padanya, tapi dia tidak memperdulikan tangisan anaknya. Akal sehatnya sudah tidak berfungsi lagi.
Marlinda masih terus memberontak ketika Marco membopongnya dan membaringkannya di tempat tidur sederhana. Seberapa besar pun tenaga Marlinda tetap kalah dengan tenaga ayahnya yang sudah seperti iblis yang haus belaian.
Berteriak pun tidak berguna, karena rumah mereka terpencil dan jauh dari tetangga. Marcellino Duran adik kandungnya y ang berusia 17 tahun sedang tidak ada di rumah, dia menginap di rumah teman barunya.
Teman yang mau menerimanya di saat dia jatuh miskin. Sahabatnya yang selalu setia padanya di waktu orang tuanya masih jaya, pergi meninggalkannya saat keluarga Marcellino jatuh miskin.
Akhirnya kesucian Marlinda pun terenggut oleh ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang seharusnya menjaga dan menyayanginya malah menjadi iblis perusak masa depan Marlinda.
Marlinda masih terus terisak merasakan sakit di daerah kewanitaannya. dia terus memukul-mukul kepalanya, menjambak rambutnya. Sesekali dia berpikir untuk mengakhiri hidupnya, tapi dia teringat dengan adik satu-satunya yang sangat ia sayangi.
Marlinda bergegas ke kamar mandi yang bersebelahan dengan dapurnya. Digosoknya dengan penuh penekanan seluruh badannya yang putih bersih sehingga terlihat memerah. Tangisannya terhenti seolah sudah tidak ada lagi air mata yang tersisa.
Marlinda berbaring di kamar adiknya setelah ia mandi dan berganti pakaian. Tak lama kemudian dia pun terlelap karena sudah terlalu lelah menangis.
Marlinda terperanjat, langsung membuka matanya saat sang adik mengusap bahunya. Marlinda ketakutan, dia pikir sang ayah yang menyentuh bahunya.
"Kakak kenapa?" Marcel kaget saat melihat kakaknya ketakutan saat ia sentuh.
"Maaf ... kakak tadi mimpi buruk," kilahnya, langsung duduk di kasur sederhana berukuran kecil, hanya cukup untuk tidur satu orang. Marlinda nggak mau adiknya tahu apa yang dia alami.
"Kakak kenapa tidur di kamarku?" Marcel mengerutkan dahinya.
"Kakak kangen sama kamu," ucap Marlinda sambil berusaha tersenyum menutupi luka di hatinya.
Marcel duduk di samping kakaknya. "Maaf, Kak. Aku ninggalin Kakak sendirian di rumah, pasti Kakak kesepian."
"Nggak apa-apa," ucapnya, "Kakak siapin sarapan dulu ya." Marlinda tersenyum sambil mengusap lembut rambut adiknya, lalu pergi meninggalkan kamar sang adik.
Marlinda pun membereskan kamar yang masih berantakan. Ia mengganti sprei yang ada noda darah kesuciannya. Ia memasukan sprei itu ke kantong plastik, berniat membakarnya kalo sang adik sedang tidak di rumah. Setelah itu dia pun memasak untuk sarapan adiknya.
"Kak, Ayah kemana ya, dia jarang sekali pulang," ujar Marcel saat ia dan kakaknya sedang sarapan.
Marlinda tersedak mendengar sang adik menyebut ayahnya. Ia menyeka bulir bening yang tiba-tiba menetes di pelupuk matanya.
"Kakak sedih ya," ucapnya, "Aku juga sedih, kenapa Ayah nggak bisa nerima keadaan kita sekarang," imbuhnya.
"Sudahlah nggak usah mikirin Ayah lagi! Kita harus bisa bertahan tanpa dia," ucap Marlinda berusaha tegar.
"Kak, aku mau nyari kerja ya," kata Marcel sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Kamu fokus sekolah aja, Kakak nggak mau nilai kamu menurun, biar Kakak yang nyari uang. Kamu harus sekolah, jangan sampai menyesal seperti Kakak!" Marlinda menasehati adiknya.
Waktu keluarganya masih jaya, Marlinda selalu menghambur-hamburkan uang sang ayah dan tidak pernah pergi kuliah, dia berpikir, kekayaan orang tuanya tidak akan habis tujuh turunan.
Dia tidak berpikir, harta hanyalah titipan, jika Allah berkehendak atas apa yang dikehendaki-Nya, maka tidak ada yang bisa menghentikan-Nya. Bersyukurlah atas apa yang Allah berikan kepada kita.
"Aku mau nabung, Kak, untuk biaya kuliah. Aku nggak mau nyusahin Kakak terus," ucap Marcel lirih.
"Kakak juga udah mulai jualan online, kamu tenang aja ya, nggak usah khawatir, Kakak janji, Kakak akan biayai kuliah kamu," ucapnya, "Kamu bantu Kakak jualan aja, kalo Kakak lagi kerja," imbuhnya.
Marlinda kerja sebagai pelayan kafe, yang ada di pusat kota.
"Iya, Kak, aku mau, yang penting aku bisa bantu mengurangi beban Kakak." Marcel tersenyum bahagia, akhirnya dia bisa membantu kakaknya.
Kehidupan yang berubah 180 derajat dari kehidupannya dulu, membuat Marcel dan Marlinda lebih dekat. Dulu sebelum mereka jatuh miskin, mereka jarang sekali menghabiskan waktu bersama, walaupun hanya sekedar mengobrol. Mereka terlalu asyik dengan kehidupan mereka masing-masing.
Orang tua mereka pun tidak pernah memperdulikan pergaulan anak-anaknya. Karena yang terpenting bagi mereka adalah uang.
"Kak, terima kasih," Marcel menggenggam tangan kakaknya.
"Untuk apa?" tanya Marlinda.
"Kakak selalu nemenin aku, nggak pernah ninggalin aku kayak Ayah," ucapnya lirih.
"Kamu lebih berharga dari apapun, Kakak akan selalu membuatmu bahagia. Kamu jangan mikirin apa-apa lagi ya! fokus sekolah," Marlinda menyeka bulir bening yang menetes membasahi pipinya.
"Kak, terima kasih." Marcel memeluk sang kakak yang duduk di sampingnya.
"Kamu belajar yang rajin, jadilah anak yang baik!" Marlinda mengacak-ngacak rambut sang adik.
"Aku janji, aku akan menjadi adik yang baik untuk Kakak. Aku akan belajar dengan giat supaya aku jadi anak yang berguna," ucapnya lirih.
Marcel teringat masa lalu sewaktu ia masih menjadi anak orang kaya, apapun yang marcel inginkan pasti akan ia dapatkan dengan mudah kecuali kasih sayang keluarga.
Marcel baru sadar ternyata harta yang paling berharga adalah keluarga yang selalu ada di saat susah maupun senang.
"Dek, maaf ya, Kakak nggak bisa ngasih kamu makan enak seperti dulu lagi." Marlinda mengusap lembut rambut adiknya.
"Masakan Kakak lebih enak dari apapun karena Kakak memasaknya dengan penuh kasih sayang," ujar Marcel sembari tersenyum manis.
"Kamu bisa aja." Marlinda mencubit pipi adiknya.
"Kakak sakit? Kakak terlihat pucat. Kakak istirahat aja! Ini biar aku yang bereskan." Marcel meraba kening sang kakak. "Kakak demam," imbuhnya.
"Nggak apa-apa, Kakak cuma kurang istirahat aja karena semalam Kakak habis nyari suplier yang lebih murah, tapi nggak murahan." Marlinda menurunkan tangan sang adik dari keningnya.
"Ajarin aku, Kak, supaya aku bisa bantu kakak. Jadi, aku ada kerjaan sehabis pulang sekolah." Marcel menggenggam tangan sang kakak.
Marlinda menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.
"Kakak!" Marcel berteriak saat sang kakak pingsan di hadapannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Kupu-kupu Malam
عاطفية"Aku hanya seorang kupu-kupu malam, tidak boleh jatuh cinta kepada pelanggan," ucap Madu. Hatinya terasa perih saat ada yang mengatakan cinta padanya. "Menikahlah denganku! Aku akan membawamu pergi dari lembah kenistaan ini," ucap seorang pelanggan...