1

594 36 5
                                    

Ia sedari tadi memperhatikanku. Mengamatiku dengan sangat teliti. Mulai dari rambut yang kugerai begitu saja hingga sepatu yang kupakai. Ia mengamatiku dalam diam, tanpa berkata sepatah katapun.

Perlahan, ia memasuki ruang kelasku, kelas duabelas IPS-3. Duduk di sebelahku dan menatapku. Lagi-lagi dalam diam. Seakan menelusuri wajahku dengan seksama, lalu menatap tajam tepat pada kedua manik mataku.

Rasa penasaran ini semakin memuncak. Kenapa ia tidak mengajakku berkenalan saja? Sudah dua minggu berturut-turut ia seperti ini. Melihatku dari jauh saat jam istirahat dan menghampiriku ketika bel pulang sekolah, aku memang selalu menunggu di dalam kelas pada saat belum dijemput.

Aku mulai menatapnya ngeri, kemudian menguatkan hati, "Kenapa?"

Ia terlihat terkejut. Setelah ekspresi kagetnya pulih, ia menjawab, "Gapapa. Cuma pengen liatin lo aja." Ia memberikan senyum simpul yang menurutku sangat mempesona.

"Dari dua minggu lalu?" aku menatapnya aneh.

"Ya."

"Kenapa gak nyapa?" rasa penasaran ini belum juga sirna.

"Emang harus nyapa?"

"Gak juga, sih." Hei! Kenapa aku jadi salting begini?! Sekali lagi, ia memberikan senyum mautnya.

"Udah punya cowok?" tanyanya frontal. Dan parahnya, aku menggeleng malu-malu. Kacau!

"Bagus! Nama lo?"

"Vanka. Lo?"

"Angelo. Belom dijemput?" tanyanya, "Gue temenin, ya?"

"Emangnya selain lo, kemarin-kemarin gue ditemenin siapa?" Ia menggaruk-garuk kepalanya. Malu. Telak.

"Hehehe.. Iya juga, ya..." sahutnya garing.

Namun dewa keberuntungan sepertinya tidak berpihak pada kami berdua, aku sudah dijemput. Raut kecewa terpancar jelas dari wajah tampannya itu. Sementara aku menjauh, ia berucap, "Besok." Aku tersenyum menatapnya melalui kaca mobil seraya mengangguk samar.

***

Pagi ini, jam pelajaran sedang kosong. Aku memanfaatkan jam ini untuk membaca buku-buku pengetahuan yang tebalnya hampir menyerupai tumpukan tiga Kamus Besar Bahasa Indonesia. Angelo kembali datang. Dengan gayanya yang santai, ia mengambil tempat duduk persis di depanku dan menatapku tanpa suara, seperti biasanya.

"Susah, lho, nyari lo di sini," ucapnya membuka percakapan. Aku memang sengaja mencari tempat yang agak terpencil, sebisa mungkin tak terlihat.

Kemudian, aku melihat matanya berkilat jenaka, "Kenapa?"

"Enggaaakkk..." Kulihat ia masih mengulum senyum. Aku menatapnya heran, "Kenapa, sih?"

Ia tertawa lepas secara tiba-tiba. Melihat aku makin mengerutkan kening, ia berdeham, "Lo dikuncir begitu?" Ia memain-mainkan kepang duaku. Aku mendelik kesal ke arahnya, "Gak usah rese, deh." Ia makin tertawa ngakak.

Setelah tersadar bahwa aku benar-benar kesal, ia melepaskan kunciranku dalam satu sentakan kemudian menyisir rambutku yang masih menyatu menggunakan jemarinya, "Rambut lo halus," gumamnya di sela-sela ritual itu, entah apa maksudnya.

"Nah, kalo gini, kan, lebih enak dilihatnya," ucapnya setelah selesai merapikan rambutku. Dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa ia sangatlah puas.

"Jangan sering-sering dikuncir dong. Sekali-kali coba deh digerai." Ia mencari topik pembicaraan. Aku menyahut singkat, "Gak cocok."

Dalam sekejap, ia mendelikkan mata, "Gak cocok apanya? Cantik begitu!" protesnya keras. Aku menatapnya aneh, tanda kurang setuju dengan pernyataannya tadi. Ia menatap tajam tepat di kedua manik mataku membuatku tak berkutik.

"Okay. Tatapan elo ini mulai menyebalkan!" ucapanku membuatnya nyengir polos tak berdosa.

Dengan cepat, ia berpindah ke kursi sebelahku dan hendak merangkulku. Tapi sebelum lengannya mengenai bahuku, aku terlebih dahulu melengos pergi meninggalkannya begitu saja. Dari jauh aku melihatnya terpaku di tempat dengan wajah merengut sambil melihat kepergianku. Aku tersenyum.

***

Aku masih bertekad di sini dan akan terus di sini hingga bel masuk berbunyi. Di toilet. Membayangkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi jika aku menampakan diri seperti ini. Rambut tergerai, kaus kaki berada tak jauh di bawah mata kaki, anting emas putih berbentuk kupu-kupu, tas levi's, sedikit bedak, dan sedikit parfum. Perubahan yang cukup drastis ini dikarenakan Angelo. Dia yang menyuruhku mengubahnya kemarin. Katanya, agar aku dapat bersosialisasi dengan yang lain. Menyusahkan saja! Tapi anehnya, aku malah mengikuti semua sarannya.

Sesuatu yang tidak dinanti-nantikan akhirnya datang. Bel itu berbunyi. Lagi-lagi aku mematut diriku di depan cermin, mengulur waktu dan berharap datang terlambat. Setelah tidak menemukan kesalahan pada wajahku, aku menghela nafas keras. Dengan cepat, aku berlari menuju kelas sebelum ada yang melihatku.

Aku mengetuk pintu kelas perlahan lalu memasukinya, "Maaf Bu, saya terlambat."

Tanpa diduga, aku malah disambut dengan siulan keras dari salah satu playboy di SMA Trianisda ini. Kemudian menyusul gemuruh tepuk tangan, kali ini berasal dari kaumku, perempuan. Tiba-tiba seseorang dari tempat duduk barisan belakang berteriak, "Asyik! Vanka sekarang cantik looohhh..." menyusul celetukan lain dari tempat yang sama.

"Tidak apa-apa. Kamu silahkan duduk," ucap Bu Prase membalas ucapanku tadi. Setelah duduk, aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, semuanya melihat ke arahku! Kemudian tatapanku berhanti pada satu titik.

Ia tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya. Teman-taman yang lain menatapku aneh. Aku menatap mereka bingung.

Dia, Angelo!

***

To be continued.

Sebenernya ini cerpen udah ada dari kelas 8 HEHE. Tapi datanya udah kehapus semua di iphone, jadi tinggal puing-puingnya aja. :(

InvisibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang