Prolog

27 9 2
                                    

Tanah lapang nan temaram tampak cekam. Sinar rembulan sabit tak mampu memberi dukungan pencahayaan. Jilatan api bak lingkar bakar menyelimuti sekeliling sosok berjubah hijau tua. Mukanya teramat muda, mungkin sekitar dua puluhan tahun.

Di hadapan si jubah hijau, berdiri kokoh figur jubah biru nan gelap. Kilat putih melingkari sekitar badan. Tampak rambut kepala beruban tipis-tipis. Namun jiwa bujangan masih tertoreh, roman muka bermandikan darah sudah cukup mewakili.

Keduanya sama-sama berpelindung cahaya. Salah seorang dari mereka berseru, "Hey, masihkah kau bersikukuh mempertahankan hidupmu setelah melihat kematian kawan-kawanmu?"

Sang jubah biru mempertajam fokus pandang. "Membunuhku tidaklah mudah," katanya.

"Tetapi juga tidak mustahil. Kini kau sendiri sudah tanpa pelindung seorang pun. Hanya ada istri dan anak bayi menangis di belakangmu. Memangnya mereka bisa apa?" Si jubah hijau melirik sekilas sosok wanita yang bersimpuh selagi menggendong bayi, berlindung di balik punggung si jubah biru.

Si jubah biru mulai mempersiapkan kekuatan untuk menyerang. Diulurkannya kedua tangan. Seberkas sinar bak energi mengumpul di antara jari-jarinya.

"Takkan kubiarkan kau menyentuh Maria!"

Lontaran energi bertegangan tinggi menyambar pelindung cahaya milik si jubah hijau. Dia pun tampak tergeser mundur. Kuat serangan tersebut, membuatnya usah memunculkan satu perisai kemilau lagi. Masih belum cukup. Bahkan kaki berbalut sepatu kulit menggerus tanah beberapa jengkal. Kembali, satu lagi perisai dikerahkan, berharap mampu menahan serangan listrik tersebut.

Sesaat kemudian, si jubah biru menghentikan serangan. Terengah-engah napasnya, rupa sudah bagai keledai berjalan di tengah gurun. Tak karuan. Dia pun memfokuskan diri sebelum menerima sihir balasan.

"Setelah ini, kau takkan selamat. Aku jamin itu," ancam si jubah hijau seraya terkekeh.

Kini benar, giliran si jubah hijau memberi pelajaran nan pedih terhadap sosok di hadapannya itu. Merentangkan tangan, lalu terulur ke depan. Semburan agni nan membara bertabrakan dengan pelindung milik si jubah biru.

Kewalahanlah si jubah biru. Pelindung cahaya miliknya mulai retak sana-sini. Sedang stamina pun terkuras tanpa sisa setitik pun. Ia pasrah.

"Sayang!"

Pekikan sang wanita di belakangnya sempat mengalihkan perhatian. Dia ikut andil memberi secercah harapan, mencipta sebatas pelindung di depan si jubah biru untuk kesekian kali.

"Aku tidak kuat lagi. Kau ... cepatlah lari!"

Sang wanita bermuka sayu geleng-geleng kepala. Tak tega rasanya meninggalkan lelaki tangguh itu. Air mata semakin deras berlinang.

"Cepat pergilah!" Dua kali, suara memekik terbata-bata nan pasrah terdengar memilukan bagi sang wanita sayu.

Dengan setengah hati, si wanita berdiri lalu lari sekencang-kencannya. Ditinggalkannya dua sosok petarung di tengah lapang. Ia menerobos semak juga perdu setinggi dua meter, menebas keputusasaan dalam hatinya. Sedang di sana, si jubah biru penyelamat dirinya tengah di ambang kematian.

Sang wanita terus berlari tanpa peduli arah. Sesekali terhenti lantaran usah mengambil napas. Diliriknya arah asal, kobaran bercahaya masih beradu. Bahkan tampak makin menggila di tengah gulita.

Berlanjut mengarungi kelamnya belantara bersama tangisan bayi nan khas. Pokok-pokok kayu hampir menjegal kaki jenjangnya. Sang wanita berlinang air mata sembari menatap bayi kecilnya. Harapan hidup pasti akan terwujud seusai ini. Itulah keyakinan kalbunya.

Erangan, teriakan, pekikan makin menggelora. Namun, semua itu satu frekuensi lebih samar di telinga setiap satu langkah kaki wanita itu gerakkan. Semakin jauh langkahnya dari sumber petaka. Rela diri itu harus kehilangan satu orang. Setelah ini jangan lagi.

"Ah?"

Langkahnya terhenti kala melihat setitik terang di depan sana. Bak pepatah 'Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian' mengekspresikan harapan. Sang wanita tersenyum di tengah buruan napas.

"Kita selamat, Nak!" serunya pada sang bayi yang sedang menangis.

Mendekat ke sumber cahaya, sang wanita mendapati rumah nan sederhana. Sunyi sepi. Hanya terdapat penerangan dari obor gantung di samping rumah.

Sang wanita tanpa sungkan menggedor daun pintu. Berharap seseorang membukakan untuknya dan bayinya.

"Tolong, siapapun, bukalah!"

Tak lama, seorang pemuda lagi tampan muncul dari balik pintu yang dibuka. "Kau bukan bagian dari 'mereka'?"

"Aku Maria ... aku Maria."

>>><<<

GladioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang