[TO] Skur

18 6 1
                                    

Di depan rumah minimalis, sekonyong-konyong kubuka daun pintu tanpa mengetuk atau pun membunyikan bel. Cahaya yang mengikutiku sedari tadi sudah lenyap entah ke mana. Benar-benar benda aneh yang mencurigakan.

Max yang mendapati diriku membelakangi pintu menatap bingung. Wajah teduhnya seakan bertanya-tanya agar aku menunjukkan sesuatu itu.

Aku pun tak tahu sesuatu itu apa.

"Ada masalah?" Lelaki berusia 19 tahun tersebut angkat suara. Tangan kanannya tampak menggenggam segelas minuman dingin dilengkapi irisan lemon di dalamnya.

"Eng ... tidak." Aku berusaha menampilkan muka wajar pada putra sulung Bibi Lovjer.

"Hoo, kalau begitu sebaiknya kau segera mandi dan ganti baju. Kita siap-siap untuk makan malam."

Dengan badan berpeluh nan letih, langkah kakiku beralih ke kamar tidur yang letaknya tepat di sisi kiri. Jadi, aku dapat mengamati jalanan depan rumah berlatar semburat sinar mentari setiap pagi, meski mustahil bagiku mendapati lembayung senja.

Sekitar pukul tujuh malam, aku sudah siap dengan tubuh bersih nan wangi. Oh, ya tentu. Jika tidak begitu, maka Bibi Lovjer pasti akan memberikan ceramah terbaiknya di meja makan nanti. Dia sangat disiplin dalam hal kebersihan diri dan juga lingkungan sekitar.

"Spis godt!"

[[Spis godt: artinya 'Selamat makan']]

Kami saling menikmati makanan. Bibi Lovjer hanya seorang ibu rumah tangga biasa, punya dua anak laki-laki. Si sulung Max, dan si bungsu Lothi. Sedang suaminya merupakan seorang staf di perusahaan swasta. Dia baru akan pulang dari bekerja sekitar pukul sembilan.

Aku hanya seorang 'penumpang' di rumah ini. Kata Max, orangtuaku meninggal karena kecelakaan mobil semenjak aku masih bayi, dan aku terpaksa tinggal bersama paman dan bibiku. Meski mereka berdua baik hati, tetap saja aku merasa tidak enak, selalu merepotkan. Uang sekolahku pun mereka yang membayarnya.

Itu hanya sebuah kisah singkat. Entah, hingga detik ini aku sama sekali belum pernah melihat wajah Ayah-Ibu meski dari album foto sekalipun. Ah, tidak, tidak! Ini kan waktunya makan malam. Lagi pula, daripada itu aku lebih terpikirkan oleh bulatan api yang terbang selama seharian ini. Apa itu semacam fenomena, atau apa, ya?

"Gladio, apa yang sedang kau lamunkan?" Bibi Lovjer seketika bersoal tanpa menghentikan aktivitas mengunyah.

"Aku? Itu ... hanya tugas sekolah yang lumayan rumit." Aku beralasan.

"Tadi sore, dia bertingkah aneh di depan rumah," tutur Max menceritakan kejadian sewaktu lalu.

"Oh ya? Kau tidak membuat masalah di kelas, kan? Apa jangan-jangan kau berkelahi?"

Seketika aku tercekat. Mana mungkin aku tega melukai diriku sendiri dengan perkelahian? Itu kan hanya ulah bocah tidak punya otak yang berdalih keadilan dan kejantanan. Huh, memangnya lelaki jantan itu diukur dari seberapa mampu ia bertarung?

"Tidak, Bibi Lovjer. Serius. Aku hanya memikirkan tentang tugas sekolah."

"Ooh, baguslah. Memang baiknya begitu. Pertahankan prestasimu selama dua tahun ini. Tahun depan sudah kenaikan kelas, kan?"

"Dengarkan itu, Dio," sambung Lothi terkikik. Namaku bukan Dio, dasar gadis kecil!

Aku mengangguk untuk ucapan Bibi Lovjer. Untung saja orang-orang di rumah ini tidak memiliki kekuatan untuk membaca pikiran. Meski begitu, mereka tetap saja menyeramkan. Kepekaan mereka terlampau tinggi.

Seluruh pelaku meja makan berlanjut, mengobrol santai sembari menghabiskan makanan. Seusai itu, terlihat Bibi Lovjer tengah sibuk membereskan peralatan makan, membersihkannya di wastafel. Aku berniat membantunya, tetapi wanita itu justru melarang. Dia malah menyuruhku mengerjakan tugas sekolah. Padahal, sejujurnya hari ini tidak ada tugas sama sekali dari guru.

GladioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang