Chapter 1

4 0 0
                                    


"Mama, aku Freya bukan Ghea," lirihku di sela-sela tangis yang pecah sembari menatap sebuah foto di tangan. Aku memeluknya erat.

Kutatap langit malam yang gelap gulita, bintang tak terlihat malam ini dan aku hanya duduk termenung dengan bulir air mata yang terus berjatuhan, mengalir deras tanpa ingin berhenti.

"Ghea sayang." Terdengar suara mama dari dalam rumah.

"Iya Ma, Ghea kesana," sahutku.

Aku menghampiri mama yang tengah duduk di tepi ranjang sembari menyisir rambut panjangnya.

"Sini, Sayang, temani mama ngobrol."

"Iya, Ma," jawabku dan langsung duduk disampingnya.

"Enak ya kita tinggal berdua saja, anak sialan itu juga sudah pergi menyusul ayahnya, jadi kita bisa hidup tenang, Syang," ucapnya tiba-tiba.

Hatiku terasa sesak mendengar ucapan mama barusan. Begitu bencinya ia denganku? Apa salahku? hingga ia tak pernah menggapku anaknya.

"I-iya, Ma," Aku terpaksa menyahut meskipun sedang mati-matian menahan bulir bening yang siap jatuh kapan saja.

Aku Freya Aldira, gadis yang harus menghadapi sikap mama yang berubah-ubah, hinaan serta cacian selalu kudengar yang ditujukan kepadaku yang sudah dianggap mati oleh mama. Entah apa yang dipikirkan mama, sehingga ia sangat membenciku.

"Apa salahku, Mama?" rutukku dalam hati. Aku juga seorang manusia, masih sangat rapuh. Anak mana yang akan senang jika sang ibu tidak pernah menganggapnya ada.

Adik kembarku Ghea Estavia, anak yang selalu disayang mama hingga mama tak pernah menganggapku anak, ia meninggal gantung diri hanya karena kebodohannya yang ia lakukan sendiri. Ia hamil di luar nikah sedangkan pacarnya tak mau bertanggung jawab hingga ia memutuskan hal bodoh itu.

"Mama," panggilku.

"Iya, Sayang?"

"Aku Freya bukan Ghea," ucapku mulai melembut. Berharap kali ini, mama akan percaya dan sadar, bahwa selama ini, aku bukanlah Ghea. Anak kesayangannya itu.

Diluar dugaanku, mama langsung berdiri dan menggebrak meja rias yang ada di depanya. Matanya menyorot tajam, pertanda ia sekarang marah.

"Freya sudah mati, kamu itu Ghea!" teriaknya membentakku. Aku sempat memejamkan mata. Menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Menetralisir keadaan hatiku yang mungkin sekarang tidak berbentuk itu.

"Jangan melawan takdir, Ma, aku memang Freya, bukan Ghea."

"Hahaha! Siapa kamu? Siapa? Aku gak kenal! Pergi!" teriaknya sembari masih tertawa. Sudah kuduga hal ini akan kembali terjadi. Depresi mama mulai kambuh. Namun, aku masih memberanikan diri untuk mencoba menyadarkannya, bahwa Ghea itu sudah tiada, dan kenyataannya, aku adalah Freya, dan bukan Ghea.

"Aku Freya anak Mama."

Yang tadinya tertawa, kini mama malah menitikkan air mata. "Anakku sudah mati semua, siapa kamu?"

Mama malah duduk tersimpuh dan menangis, aku bergegas mengambil obat di nakas untuk menenangkan mama dan membantunya minum obat.

"Mama," ratapku dalam hati.

Iya, mama mengalami depresi setelah kehilangan Ghea dan Papa, ia selalu menganggapku Ghea dan ia teramatlah membenciku karena menganggap aku penyebab kematian papa. Mama rapuh dengan kepergian keduanya, tetapi tidak sadarkah ia? Aku lebih rapuh darinya.

Perlahan, mama mulai tenang setelah meminum obat itu. Aku segera membantunya untuk ke ranjang dan menidurkannya. Kuselimuti ia, kukecup dahinya lembut. Aku jadi teringat papa.

"Papa, Freya mau jalan-jalan," rengekku pada Papa.

"Iya Sayang, kita tunggu Mama sama Ghea pulang ya," tuturnya lembut sembari mengusap puncak kepalaku.

"Mereka lama, Pa, Ayoo kita duluan aja!" teriakku sambil menarik tangan Papa menuju mobil.

"Iya, Sayang iya, yaudah kita berangkat."

Papa menggendongku menuju mobil dan memasang sabuk pengamanku, ia pun segera masuk dan menjalankan mobilnya.

Di tengah perjalanan, aku tidak sengaja menjatuhkan mainanku ke kolong mobil.

"Papa, mainan Freya jatuh, ambilin, Pa," rengekku sebagai layaknya bocah lain.

"Freya, papa lagi nyetir, bahaya kalau papa ambilin mainan Freya," tuturnya kemudian.

"Huaa, ambiiiil!" Aku mulai menangis dan berteriak merengek, sebagai bocah, yang aku inginkan hanya mainanku yang jatuh tadi.

Melihatku yang merengek dan mulai menangis, papa pun segera meminggirkan mobilnya ke tepi jalan dan mengambil mainanku yang jatuh, tapi dari kejauhan kulihat truk besar melaju dengan ugal-ugalan sedang menuju arah mobil kami.

"Papa, truknya mau kesini," kataku polos.

Papa yang panik langsung mendorongku keluar mobil hingga aku jatuh di trotorar jalan. Tabrakan tak terelakkan, truk itu menghantam mobil papa, sedangkan papa masih berada di dalam mobil.

"Papaaaaaaa!"

Aku menangis kencang melihat kejadian itu hingga warga pun berkumpul disekitarku, waktu itu aku masih kecil belum terlalu memahami apa yang sedang terjadi.

"Papa ketabrak truk itu om," ucapku pada seorang laki-laki yang menggendongku.

"Iya , Nak, kamu yang sabar ya," ucapnya sembari mengelus rambutku.

Polisi mulai berdatangan, keadaan sangatlah ramai hingga membuatku pusing dan pingsan saat itu.

Tak terasa air mataku kembali mengalir deras mengiringi ingatan pahit itu, aku kini telah berusia delapan belas tahun, aku tumbuh menjadi gadis cantik yang pendiam, dan jarang sekali berkomunikasi dengan orang lain.

Kehidupanku tak seindah fisikku, aku terjebak di lingkaran dunia malam, karena setelah Papa meninggal hartaku habis untuk membiayai hidup kami.

"Bisakah aku bertukar hidup dengan orang lain Tuhan? bisakah aku merasakan bahagia? Aku juga ingin seperti mereka."

Aku masih mengingat dengan jelas kejadian yang menghancurkan masa depanku sekarang, Mama, orang yang seharusnya menjagaku justru yang mendorongku masuk ke dunia ini.

Jahat kan? tapi ia tetap ibuku, seberapapun bencinya dia padaku aku tetap menyayanginya dan aku berharap suatu saat nanti akan ada laki-laki yang mau menerimaku apa adanya.

"Lelah sekali rasanya, lagipula aku sedang malas ke tempat itu lebih baik aku istirahat malam ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FREYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang