Semua terjadi begitu cepat, aku tidak tau jika fungsi otakku sedang menurun bahkan ketika suara klakson juga rem dari suatu kendaraan semakin nyaring, aku dan dia tak berkutik sebab detik selanjutnya telingaku hanya menangkap dengungan nyaring hingga membuat kepalaku pusing.
Aku kembali dibangunkan dengan dering sialan milik alarm yang kusetel. Pukul sembilan lebih dua puluh tujuh, dengan berat hati aku harus mengangkat tubuhku bahkan saat kabut malas masih membelenggu tubuhku yang mulai ringkih. Kepalaku pening setiap mimpi itu kembali, mimpi dari kenyataan yang telah kualami. Aku bangun dengan hampir tersungkur ke lantai marmer jika saja tangan kiriku tidak menggapai dinding dan menyangga tubuhku. Aku berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Bagaimanapun aku juga perlu mendapat uang demi menyambung hidup dikemudian hari. Walau Mae masih sering datang kemari, dengan alasan klise merindukan putranya yang kini sudah berusia dua puluh empat tahun. Yap, cukup tua untuk dimanjakan orang tua, namun tidak heran juga, bagaimanapun beliau yang telah membesarkanku selama ini.
Setelah selesai dengan segala rutinitas pagi hariku di rumah, aku selalu menyempatkan waktu untuk mengunjunginya. Rasanya, jika aku ingin melakukan segala sesuatu sebelum mengunjungi dirinya maka kesialan akan menimpa diriku hingga esok hari. Yah, kuputuskan untuk mampir sebentar ke rumah sakit.
Dan di sana, pintu putih dengan kaca pun terdapat tulisan Anatolii di sampingnya. Sudah sangat bersahabat aku dengan semerbak yang menyambutku. Begitu pekat, juga jangan lupakan suhu yang lumayan hangat untuk bulan November di sini. Kedua manikku langsung disambut dengan sosok kurus yang berbaring di ranjang putih lengkap dengan atasan putih dan selimut yang menyelimuti hingga batas diafragma. Menyembunyikan segala belenggu alat yang tertanam pada tubuhnya. Bunyi-bunyian alat berbentuk kubus dengan berbagai selang itu sudah tidak asing bagiku. Hal lain yang selalu kutangkap, adalah kedua maniknya yang masih mengatup rapat. Padahal, sungguh demi apapun yang bernyawa atau tidak, aku benar-benar merindukannya. Melihatnya terbaring tak berdaya selama dua tahun ini membuatku benar-benar merindukannya. Banyak orang mengira diriku adalah pribadi yang kuat. Mereka tidak tahu saja seberapa banyak goresan luka juga keping obat yang telah kutelan karena rasa bersalahku padanya. Dan selalu, otak sialanku dengan kurang ajarnya me-replay segala hal yang sangat mengusikku.
Aku selalu tenggelam dalam genggamannya selagi kutumpahkan beribu rasa —termasuk rindu yang begitu besar— pada tiap bulir yang keluar dari manikku. Aku yakin, dia akan sangat khawatir jika melihatku seperti ini. Dia membenciku. Dia benci saat aku terlihat lemah. Bagaimanapun, seberapa kuatnya diriku memaksa terlihat tegar dan kuat, aku masih sangat rapuh di hadapannya. Kesadaranku kembali saat telingaku menangkap suara dari pintu ruangan yang dibuka. Segera saja kuhentikan aktivitas yang kulakukan dan menengok pada seorang wanita paruh baya yang sangat mirip dengannya.
Kedua sudut bibirku terangkat begitupun wanita itu. Ia menghampiriku dan menghadiahi wajahku yang tidak berpoles apapun dengan ribuan kecupan. Yang terakhir ia lakukan adalah melihatku dengan manik berembun, mengusap lembut rambutku yang tidak kutata dengan apik juga, siratkan berbagai rasa saat ia melihatku.
"Kau datang, aku selalu ingin berjumpa lagi denganmu, dan sekarang, tuhan seperti mengabulkan doaku tadi pagi," wanita itu kembali mengecup keningku dengan lama, entahlah muara yang tercipta sudah semakin deras dengan sensasi rematan tak kasat mata pada jantungku. Jarang sekali berjumpa dengannya. Tidak heran, wanita itu satu-satunya tulang punggung keluarga setelah pria berstatus suaminya meninggalkannya. Bagus, sekarang aku semakin merasa bersalah.
"Aku tidak pernah melewatkannya, Ma. Hanya saja, akhir-akhir ini aku susah bangun pagi, maaf," mendengar penuturanku, wanita yang kupanggil Ma tersebut terkekeh, ia melirik pemuda yang masih ku genggam erat tangan lemahnya. Wanita itu kembali melihatku selagi berujar,
"Makanlah yang banyak, kau sudah sangat berubah. Cukup putraku, kau jangan. Kau mengerti, sayang?" Ia kembali mengelusku, elusan seorang ibu memang beda, selagi kristal bening itu terus meluncur dari wadahnya.
"Sudah kucoba sebisaku, Ma. Sungguh aku tidak berselera, tapi sekarang Mae sering memaksaku sarapan sebelum pergi, jadi kurasa tak perlu waktu lama badan ini terisi lagi," wanita itu tertawa pelan seraya merengkuhku dalam pelukannya, menepuk punggungku selayaknya menguatkan diriku. Kubalas dengan anggukan pelan dan beberapa detik selanjutnya pelukan kami melonggar, kemudian terlepas.
Setelah temuku dengan Ma, dan saling menguatkan, aku pamit untuk berangkat bekerja, banyak hal yang harus kukerjakan di studio. Salah satu alasanku juga untuk mengalihkan fokusku padanya. Dokter yang menyarankan. Bukankah pasien harus menurut? Walau awal terlampau sulit, namun aku sangat bersyukur. Banyak yang membantuku untuk melewati masa terpurukku.
Aku memilih menaiki angkutan umum untuk menuju studio yang letaknya lumayan jauh, dan tidak kusangka bus yang kutumpangi melewati jalanan yang selalu kuhindari sejak dua tahun lalu, seketika potongan memori itu kembali lagi yang membuat otakku sakit bukan main, dengan dengungan kuat yang kudengar juga rematan yang terasa pada kepalaku. Aku meremas jeans yang kupakai selagi tanganku yang lain berpegang pada bangku penumpang di depanku, badanku banjir peluh, pandanganku mengabur. Bagai berlayar di laut lepas, tubuhku terasa terombang-ambing. Kugigit dengan kuat bibir bawahku agar tidak pingsan di dalam bus yang tengah ramai penumpang. Dan saat bus berhenti di depan halte, aku segera turun tanpa pikir panjang tanpa pedulikan protesan orang lain.
Studio ada beberapa langkah lagi, memang dekat dengan halte yang kutumpangi, namun sungguh ini begitu berat. Napasku tak teratur, aku sadar sedang berjalan sempoyongan layaknya pemabuk di siang bolong, tapi aku tidak peduli, aku memasuki studio tanpa menyapa orang-orang di dalam. Ruangan di ujung adalah tujuan akhirku, aku membuka pintu dengan sisa tenaga yang kupunya, dan pemandangan terakhir yang kutangkap adalah kelima pemuda di dalam ruangan yang memusatkan pandangan mereka padaku,
"To–" selanjutnya kegelapan kembali mengambil alihku dengan suara teriakan memanggil namaku yang semakin samar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirage; Namon Vers
Short StoryMirage, sebuah ilusi yang tercipta dari segala kesedihan, duka, penyesalan serta kerusakan yang diterima. Dan sejak hari itu, hanya mirage yang menyelimutinya. -Skizofrenia menelanmu, Nanon." "Selamat tinggal, Jyotis."