Hal pertama yang kurasakan adalah tepukan pada pipi cekungku yang diiringi suara berat seorang lelaki yang kukenali, sinar lampu langsung menyorot kedua mataku saat terbuka dan suara orang-orang yang mendesah lega selagi berucap syukur,
"Lihat si tuan muda ini, baru saja sampai sudah kembali tidur."
"Memang 'anak kasur' ckckck."
"Hahaha sudah sudah, lihat! Chimon kebingungan dengan kalian."
Aku memerhatikan mereka, teman-teman bandku, sekaligus rekan lamaku. Aku dibantu untuk duduk dan bersandar pada dinding oleh mereka. Menghangat.
"Jika menyumpal mulut kalian dengan kaos kakiku itu bukan dosa, sudah kulakukan sejak tadi," kupandangi mereka yang tergelak dengan kata-kataku. Sudah biasa dengan cara bicaraku yang sedikit kasar.
"Jika sudah terjaga, lekas ke pos mu, Mon. Penggemarmu sudah menantikan konser kalian sejak tiga abad yang lalu," pria —berumur lima tahun lebih tua dibanding diriku— dengan setelan santainya mengusak rambutku. Setelahnya pria yang akrab aku dan para rekan bandku panggil Off itu segera meninggalkan studio kami.
"Kali ini apa, Mon? Seminggu yang lalu kau juga seperti ini, apa ini akan muncul setiap minggu?" aku mendengar pertanyaan itu, namun tak berkeinginan untuk menjawabnya. Mereka pun tidak begitu menganggap serius pertanyaan salah satu rekanku. Sudah biasa.
Aku mengambil tempat paling depan sembari menggenggam kuat sebuah mikrofon. Lewat ekor mataku, dapat kulihat sebuah gitar elektrik yang bersandar pada dinding. Itu kepunyaannya, hampir saja aku menitikkan air mata lagi. Segera saja kuambil alih gitar yang selalu kami bersihkan selagi si empu meninggalkannya.
"Chimon?" aku tahu jika seluruh rekanku tengah terheran dengan aku yang memakai gitar tersebut,
"Setidaknya biarkan dia ikut untuk konser, walau itu terakhir kalinya," sembari tersenyum aku meraba sebuah stiker bertuliskan inisialnya, Non.
"Baiklah! Mari berlatih!" Aku berteriak untuk menyemangati para rekanku. Dan setelahnya alunan musik pop terdengar.
—————
"Sampai kapanpun, tidak akan."
"Jika kau ditempatku, bagaimana perasaanmu?"
"Aku tidak lebih baik dari putraku, jaga baik-baik harta paling berhargamu."
—————
Semalam konser kami berjalan dengan lancar, tidak kusangka penggemar kami benar-benar hebat. Tidak itu saja, bahkan matahari seakan menyambut suka cita pada keberadaan kami. Konser ditutup dengan doa untuk kesembuhan Nanon. Aku senang karena banyak yang menyayanginya juga, namun di satu sisi rasa bersalahku kembali dominan. Aku tak dapat membendung tangisku semalam. Dengan gitar milik Nanon yang masih tergantung di tubuhku, pun mikrofon yang kugenggam erat, kutatap langit sembari berdoa akan kesembuhannya.
Kami, merindukan canda tawanya. Dan segala tingkah bodoh yang ia lakukan. Kami merindukannya.
Siang ini, aku merasa sesuatu mendorongku untuk menjenguknya kembali. Padahal, tadi pagi aku sudah mengunjunginya. Mae tidak mengunjungiku hari ini, entahlah. Ia hanya memberi pesan agar menghangatkan makanan untuk sarapanku.
Sapaan yang sama untuk kesekian kalinya adalah semerbak khas rumah sakit, aku memasuki ruangan berdominan putih itu. Aku mematung, jantungku seakan tak berfungsi lagi hingga membuat napasku tercekat. Kasur di seberang sudah kosong. Tak berapa lama, sesuatu seperti terbang dalam perutku, kedua sudut bibirku terangkat. Nanon pasti sudah sembuh. Namun, kenapa dia tidak ada? Dan kenapa box bersuara aneh itu pun lenyap? Dimana Nanon?
Tepat setelah aku bertanya pada hening, pintu ruangan itu terbuka. Seseorang masuk dengan terburu. Aku bersungguh-sungguh melihatnya. Itu, orang itu adalah Nanon. Mustahil. Dia bahkan lebih bugar dari orang yang tergolong baru sadar dari koma, tapi— tunggu, ada yang salah. Air mukanya terlihat sangat khawatir, pandangku mengikuti arah larian Nanon. Di situlah aku benar-benar membeku, ibarat seperti seseorang menghentikan waktuku, namun tidak dengan Nanon.
Nanon berlari ke arah ranjang dengan air mukanya yang sangat khawatir, dan berhenti di hadapan ranjang itu dengan tubuhku yang terbaring di sana. Berbagai selang tertancap pada tubuhku yang mengurus, kedua belah bibirku pucat, satu warna dengan kulitku. Dan entah datang dari mana, suara riuh dari box di sekitarnya mulai kembali terdengar. Aku melihat Nanon meremas kuat kerah kemeja seorang dokter di sana. Ia nampak berteriak histeris, dan selanjutnya lelaki berjas putih itu memeriksa keadaan tubuhku—entahlah, aku tidak mengerti dengan keadaan seperti ini.
Seiring suara dari box itu melirih, aku— yang masih berada di tempatku berdiri— sekarang terlihat makin transparan. Sontak saja aliran deras tercipta, aku tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi. Ini benar-benar membingungkan. Kulihat Nanon mengerang selagi tangisnya kian menjadi, hal itu membuatku miris, dan di saat garis panjang tercipta pada box itu, kegelapan kembali merenggutku sepenuhnya.
Hai lagi... Maaf harus menyisipkan author note.
Aku hanya mau beri tahu jika story ini bakal selesai cepat. Karena, cuma ada 4 chapter. Ini juga kuadaptasi dari Mirage asli yang tokohnya MarkHyuck. Juga versi aslinya yang tokohnya, MaxJake.
Kalau mau cari MaxJake gak bakal ketemu ya, karena aku buat MaxJake itu inisial MarkHyuck yang kupakai waktu ikut lomba cerpen tahun lalu.
Sekian, terimakasih....
Btw, mulmed di atas mewakili chap ini banget
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirage; Namon Vers
Short StoryMirage, sebuah ilusi yang tercipta dari segala kesedihan, duka, penyesalan serta kerusakan yang diterima. Dan sejak hari itu, hanya mirage yang menyelimutinya. -Skizofrenia menelanmu, Nanon." "Selamat tinggal, Jyotis."