Aku memang seorang pembunuh, pendosa, pecundang, dan segala hal buruk yang mengikutiku. Bagaimana bisa, seorang sahabat merengut nyawa sahabatnya? Bisa, itu yang kulakukan. Demi tuhan, tak ada niat sekalipun aku menyakitinya, apalagi untuk membunuhnya. Segila apa aku membunuh sahabat yang sudah menemaniku lebih dari separuh umurku? Rekan sejoli adalah sebutan kami, ada Chimon ada Nanon. Tak ada yang sanggup memisahkan kami. Tidak untuk hari itu, pertengkaran kecil. Perkara yang sepele, sangat. Kami menyukai gadis yang sama, sepantaran dengannya namun lebih tua dibanding denganku. Hari itu entah mengapa aku seperti bukan diriku, aku sangat kesal saat Chimon menyatakan bahwa ia juga menyukai gadis yang sama, padahal dia sudah mau mengalah denganku, tapi justru aku mendiamkannya. Seminggu bagai setahun untukku. Dan sejak itu juga, ia jarang masuk untuk sekadar latihan. Aku merasa bersalah, jadi kuputuskan untuk meminta maaf padanya esok hari.
Dewi Fortuna seperti memihak padaku, keesokan harinya aku berkesempatan melihat Chimon yang berada di seberang dari tempatku berdiri. Senyumnya itu seperti cahaya pagi hari, dan tawanya semacam obat untukku. Tanpa sadar kedua sudut bibirku terangkat, langkah pasti kuambil untuk menuju ketempatnya, namun suara nyaring memekakan telinga pun terdengar dari samping disaat bersamaan dengan Chimon juga melihat ke arahku. Reflek tanganku terulur untuk menggapainya.
BRAK!
Alih-alih menyelamatkannya, tubuhku ikut terpental tak jauh dari tempat kejadian. Jatuh tersungkur. Kejadian itu begitu cepat, yang terakhir kulihat adalah tubuh Chimon yang terdorong cukup jauh hingga tubuhnya terantuk ke sebuah bangunan, kesadaranku pun diambil alih.
Aku bangun dengan kepalaku yang terasa sangat berat dan pening. Aku melihat ibuku duduk sambil mengusap perlahan rambutku.
"Ma?" kupanggil ibu dengan suara lemah. Sialan, aku sangat tidak suka diriku yang lemah seperti ini. Ibu langsung tersadar, dengan kedua manik yang berkaca ibu tersenyum ke arahku.
"Syukurlah, sayang. Tuhan masih memberi kesempatan bagi Ma untuk memilikimu lebih lama," ibu lalu mengecup lembut keningku. Aku mengerti perasaan ibu, ia pasti sangat berat jika saja tuhan mengambilku. Hanya aku satu-satunya keluarga yang ia punya, pun harta berharganya.
"Ma, Chimon. Bagaimana dengan Chimon? Apa dia baik-baik saja? Ma, aku benar-benar harus melihatnya," seperti tersengat listrik, ingatan saat tubuh Chimon terdorong oleh truck sialan itu kembali. Kekhawatiran ku semakin meninggi saat ibu hanya terdiam.
"Non, tenanglah dulu. Kau baru saja sadar, sayang," aku termasuk lelaki yang keras kepala, jadi apa yang ibu katakan barusan tidak berpengaruh apapun padaku.
—————
Di sinilah aku, di depan ruangan bertitel Anolii, aku melihatnya terbaring dengan segala alat yang mengerubunginya, mataku memanas saat melihat pemandangan Mae yang memandanginya penuh harap.
"Dia koma. Dokter bilang, lukanya cukup serius, namun keinginan untuknya sembuh pun sangat besar. Dokter berkata, Chimon adalah pasien yang sangat beruntung," selagi ibu menjelaskan, kedua manik ku terkunci pada sosok di seberang sana yang untuk bertahan hidup saja ia perlu disokong oleh berbagai alat medis. Mae yang selalu terlihat ceria layaknya anak semata wayangnya pun terlihat sangat murung. Kesedihan mendalam terlihat dari sorot maniknya yang kosong. Seketika rasa bersalah kembali menyelimuti ku.
Setelahnya, aku memberanikan diri untuk meminta maaf pada Mae. Ia memaafkan. Tapi aku sangat yakin, itu tidak mudah. Mae pasti masih kecewa denganku, namun ia tutupi. Semenjak itu, aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjunginya tiap hari, Mae pun sudah mulai kembali terbuka padaku, aku bersyukur. Hingga hari itu, kudapati kabar dari Mae yang menyatakan keadaannya kritis, langsung buat duniaku runtuh. Aku bergegas untuk ke rumah sakit, di sana kulihat ruangan itu mulai banyak suster maupun dokter yang keluar masuk. Aku datang dengan Mae yang memelukku erat dan menangis tersedu. Ia memohon padaku untuk tidak membiarkan Chimon pergi, perkataan itu membuatku terdiam. Aku tidak akan siap mendengar kepergian Chimon. Tidak akan. Kulepaskan perlahan pelukan Mae, dan kuterobos kamar Anolii itu. Kulihat tubuh Chimon sedikit tremor dengan suara ribut box disekitarnya. Aku berlari menghampirinya dengan teriakan ku yang tercekat akibat tangisku yang kian deras. Seorang dokter memperingatkan ku untuk menunggu di luar, namun bukan aku jika tidak memberontak. Kutarik kerahnya kuat tanpa peduli perawat disekitar yang mulai menarik untuk melepaskan rematanku.
Hal yang membuatku tersadar dan melepaskan dokter itu adalah suara dari box itu kian memelan.
"Maafkan aku. Kumohon, selamatkan dia, kumohon."
Dokter itu segera melakukan tugasnya. Aku menarik kuat rambutku seraya menahan teriakan dalam diriku, aku kembali menyalahkan kebodohan ku karena sempat terbakar emosi, sekarang aku benar-benar tidak akan memaafkan diriku sendiri jika tuhan mengambilnya. Kulihat Ma masuk sembari merangkul Mae yang masih menangis tersedu. Sebuah suara terdengar dengan satu garis mendatar terpampang pada box di samping Chimon. Kedua kakiku bagai tak mampu menyokong tubuh penuh dosa ini, aku masih melihat para perawat, dokter dan suster masih menanganinya, namun aku tak dapat mendengarnya. Aku seakan tuli, lebih tepatnya menulikan diri. Tak sanggup mendengar kabarnya bahwa—
"Suster, siapkan alat kejut jantung," aku mendengar kalimat itu, dan seketika kualihkan pandanganku yang semula pada Chimon berganti pada box itu. Garis tercipta walau kecil, aku seperti diberi harapan, tuhan kembali memberiku kesempatan. Dan ia kembali. Detak jantungnya kembali walau masih lemah, kedua matanya pun masih mengatup sempurna, namun aku bahagia. Aku masih dapat melihatnya. Terimakasih, Tuhan.
Mulmed di atas mewakili Nanon banget di chapter ini ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirage; Namon Vers
Short StoryMirage, sebuah ilusi yang tercipta dari segala kesedihan, duka, penyesalan serta kerusakan yang diterima. Dan sejak hari itu, hanya mirage yang menyelimutinya. -Skizofrenia menelanmu, Nanon." "Selamat tinggal, Jyotis."