4

115 27 9
                                    

Kuputuskan untuk tinggal di rumah sakit menemani Mae, selagi menungguinya. Tak berhenti kugenggam tangannya yang lemah, mengusapnya perlahan, dan rapalkan doa dalam hati untuk kesembuhannya. Dan doaku sepertinya dikabulkan, aku merasakan gerakan lemah dari jarinya. Yang semula menunduk, aku segera menegakkan kepala. Kutatap lamat wajahnya yang pucat,

"Kumohon bangunlah, Mon. Aku rindu protesanmu saat aku mulai keras kepala,"

Tak berapa lama, kulihat kedua kelopak matanya bergerak perlahan dan terbuka. Entah aku harus merespon apa, tapi yang kutahu, aku sangat bahagia. Memandanginya yang masih menatap langit-langit ruangan. Kulihat bibirnya bergerak perlahan, dan aku tahu benar apa yang ia ucapkan. 'Aku minta maaf'. Aku malu, aku menjadi lemah akhir-akhir ini. Kutundukkan kepalaku selagi menahan isakan dari tangisku, ingin sekali kubantah permohonannya karena aku yang seharusnya meminta maaf, namun tak bisa.

Sebulan berlalu, selama itu juga keadaan Chimon membaik, namun karena perawatan patah tulang pada kakinya, Chimon masih dianjurkan untuk menggunakan kursi roda. Kubuat pesta perayaan atas kesembuhan Chimon yang juga bersamaan dengan perayaan natal. Malam yang begitu indah. Harapanku hanya satu, agar tuhan tidak menjauhkan ku dari orang-orang yang kusayangi.

—————

Aku kembali terbangun dengan peluh sekujur tubuh. Kulihat seseorang duduk di kursi sebelahku yang juga sedang memandangiku. Kulihat nametag-nya 'Dr. Jumpol .A'.

"Apa kau sudah bangun?"

Dahiku mengerut, bingung akan maksud dari pria yang aku yakini seorang dokter itu.

"P'Off? Itu kau?" Aku sadar mengenalinya setelah ia melepaskan kaca mata yang bertengger di perpotongan hidung bangirnya.

"Jumpol. Ya, kau selalu memanggilku P'Off, dalam duniamu yang lain." dokter itu tersenyum selagi berujar.

"Jadi kuulangi lagi, Non. Kau sudah bangun?"

"Tentu saja. Chimon. Bagaimana dengan Chimon? Apa dia baik-baik saja?"

Dapat kulihat senyum dokter itu luntur, ia lalu sedikit menyondongkan tubuhnya ke arahku.

"Apa kau masih belum bisa merelakannya?" Aku mendengarnya, namun tak kuhiraukan. Pandangku menatap sekeliling, ruangan berdominasi putih dengan jendela di sebelah kiriku, sebuah ranjang yang ku tempati, meja kecil yang terletak di samping ranjang juga kursi yang tengah dokter itu duduki.

"Kau ingat ini tahun berapa?" bertepatan dengan pertanyaannya, kedua manikku menangkap beberapa daun oren yang jatuh berhembus.

"November, tidak. Ini bukan November," kuedarkan lagi pandanganku dan mendapati sebuah kalender terpajang di atas meja. Oktober, 19.

"Sudah terpaut tiga tahun dari kejadian itu, Non. Sulit bagimu untuk menerima semua keadaan yang telah terjadi. Pertama, sahabatmu —Chimon— sebenarnya sudah meninggal akibat kecelakaan tragis itu. Tulang punggung yang retak dan terdapat kerusakan pada saraf di otaknya. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun tak bertahan lama. Sejak itulah kau tak bisa menerimanya, kau mendapat guncangan besar pada poros kehidupanmu. Kau sering berkhayal bahwa Chimon masih hidup dan koma selama dua tahun, pada kenyataannya dalam dua tahun itu kau tengah depresi. Aku adalah doktermu yang di dunia khayalmu menjadi rekan lama Chimon. Non, kau mengalami serangkaian halusinasi berat akibat kejadian tiga tahun yang lalu. Skizofrenia menelanmu, Non." ucapnya panjang lebar, aku melihat berbagai luka goresan di sekujur tanganku, aku sungguh tidak percaya dengan apa yang diceritakan dokter itu.

"Itu adalah bekas yang kau tinggalkan sebelum ibumu menemukanmu hampir meregang nyawa setelah meminum lima buah jenis obat yang berbeda. Aku dan dokter psikiatermu bekerja sama untuk menyembuhkanmu, ibumu selalu mengunjungimu, beliaulah yang menceritakan segala mimpimu pada kami. Namun, akhir-akhir ini kau mulai membaik, Non. Dulu, ibumu selalu memperhatikanmu masih sering termenung, terkadang saat menjalani pengobatan kau memberontak dan menangis histeris, itu juga yang membuat ibumu memberanikan diri membawa ibu Chimon untuk melihat kondisimu."

Ah, benar juga. Mae, aku sudah sangat berdosa padanya.

"Karena kau semakin membaik, pengobatanmu akan diperpanjang sedikit lagi. Kau akan sembuh di bawah pantauan kami. Kau sudah berjuang sangat keras, Non." tangan dokter itu terulur, mengusap perlahan rambutku. Seketika aku mengingat segala hal. Saat diriku terpuruk atas perginya sahabat karibku, self-harm, obat-obatan, mimpi-mimpi tentang Chimon, dan segalanya. Sebulir kristal bening itu jatuh yang langsung disambut dengan pelukan dokter padaku. Hangat.

"Apa dengan aku sembuh dapat melihat nisannya?" ia melepaskan pelukannya padaku seraya berkata,

"Tentu saja,"

—————

Hari ini cerah dengan hiasan gumpalan awan pada kanvas Tuhan. Semilir angin juga cuwitan burung-burung iringi langkahku untuk bertemu dengannya. Off, Ma, juga Mae tengah memerhatikanku dari jauh. Membiarkanku menghabiskan sedikit waktu bersamanya. Aku yakin cukup tampan untuk bertemu dan mengunggulkan diriku pada sahabatku. Ma memberiku setelan jas milik mendiang Pa, kurasa sedikit kelonggaran, namun tetap aku terlihat lebih tampan.

Aku menaruh sebuket bunga yang di dalamnya terdapat beberapa kesukaannya. Baby-breath, Lily putih, anyelir merah, dark rose, green rose marygold, juga sun-flower. Ku temukan kedua telapak tanganku di depan mulut, menutup mata seraya memberi penghormatan terakhir padanya. Setetes kristal beningku kembali terjatuh, dalam penghormatanku kutitipkan berbagai doa untuk ketenangannya pada tuhan. Mae sangat baik menempatkannya tak jauh dari kuil, ia akan nyaman berada di dekat tuhan. Kutegakkan tubuhku, masih memandangi nisan bertuliskan 'Chimon Wachirawit R'. Aku tersenyum,

"Selamat tinggal, Jyotis."


















The end—

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mirage; Namon VersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang