Prolog

25 2 2
                                    

"Nama kamu siapa?"

Seorang anak laki-laki yang ditanyai itu mendengus kesal. Ia mengambil bekal yang sudah disiapkan mamanya dengan kasar kemudian berdiri.

"Aku udah bilang jangan dekat-dekat. Jangan tanya terus, nggak akan aku jawab!" Katanya sebelum melenggang pergi.

Gadis kecil itu memanyunkan bibirnya sedih saat melihat kepergian teman sebangku yang sudah duduk bersamanya selama satu minggu. Beberapa kali ia mencoba mengajak anak laki-laki itu berkenalan tapi selalu saja mendapat respon yang tidak baik padahal ia selalu berusaha menjadi akrab. Tak jarang ia menawarkan jajan dan bekal yang ia bawa, namun berakhir dengan penolakan. Tak hanya anak lelaki itu namun juga teman satu kelasnya yang lain.

Dengan sedih ia pun berjalan keluar kelas kemudian duduk berteduh di bawah sebuah pohon mangga yang ada di sekolah barunya. Duduk di bangku yang kosong sembari memainkan dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon.

Matanya mengamati teman sebayanya yang tengah asyik bermain kejar-kejaran dan tertawa bersama. Tanpa melibatkannya.

"Kok aku nggak di ajak ya," lirihnya sendu.

Sudah satu minggu ia bersekolah tapi tidak ada yang mau menjadi temannya. Gadis kecil yang sebelumnya sangat antusias untuk pergi ke sekolah itu, sekarang harus murung lantaran tidak ada yang menyenangkan dari bersekolah, tak seperti yang ia bayangkan. Pikirnya dengan pergi sekolah ia akan mendapat banyak teman dan bermain bersama tidak seperti di rumah sangat kesepian. Kenyataannya sama saja, malah lebih menyedihkan.

"Heh! Kamu yang kemarin ajak aku temenan kan? Kasian banget nggak punya teman,"

"Badannya besar banget, pasti semua takut mau dekat sama dia," seorang anak perempuan dan beberapa teman sekelasnya yang lain mengejeknya habis-habisan.

Gadis itu menunduk sedih. Memangnya ada apa dengan badannya? Selama ini ia tidak pernah mempermasalahkan bentuk tubuhnya, bahkan Mami nya selalu memujinya cantik. Ia tumbuh sehat, ia suka di puji lucu dan menggemaskan. Namun kali ini perkataan mereka mulai mendistraksi otak mungilnya. Apakah ia terlihat menakutkan?

Mereka mulai mengerumuni kemudian sesekali mendorong bahunya dan tertawa-tawa.

Gadis kecil itu terdorong kesana kemari, mulai berkaca-kaca. "Aku cuma mau main sama kalian, apa nggak boleh?" Tanyanya dengan suara yang sangat lirih.

"Kita takut main sama raksasa, nanti di makan. Iya nggak teman-teman?" Salah satu gadis kecil berkuncir dua berseru dengan muka congkak.

"Iyaaaa" seru yang lainnya.

"Jangan mau main sama dia! Mukanya nakal"

"Huuuu" sorak mereka kembali mendorong bahu gadis kecil itu yang sudah menangis sesenggukan menerima perlakuan teman kelasnya sendiri.

Tiba-tiba seorang anak laki-laki menarik salah satu dari kerumunan itu kemudian mendorongnya hingga terjatuh membuat seorang gadis kecil yang jatuh lumayan keras itu menangis, sedangkan temannya yang lain tidak ada yang membantu.

"Kenapa kamu jatuhin Fia!" Bentak salah satu bocah.

"Kalian nakal," kata anak lelaki itu.

"Kamu yang nakal karena jatuhin Fia!"

"Kalian bikin dia nangis!" Tunjuk anak lelaki itu pada seorang gadis kecil korban pembulian tadi yang masih menangis tidak jauh darinya.

"Aku akan laporin kamu ke bu guru biar di marahin," ancam anak bernama Sofi.

What's Wrong With UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang