Chapter II : Victoria

305 37 28
                                    

Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada kesempatan untuk menghirup udara segar pada pagi buta yang masih gelap.

Disaat mayoritas masyarakat kota London masih terlelap dalam tidur mereka. Sehingga udara di kota ini masih belum tercemar oleh asap yang keluar dari cerobong asap pabrik, dimana pabrik pabrik itu berusaha untuk memenuhi pesanan para pembeli yang -menurut kawan sekamarnya yang bekerja di pabrik garmen, Agatha- semakin lama semakin semakin tidak masuk akal.

Victoria Smith yang masih mengenakan piyama, duduk dalam diam diatas tempat tidurnya. Kepalanya menghadap langit subuh yang lama kelamaan semakin terang oleh cahaya matahari di langit. Rambut hitamnya yang panjang ia biarkan untuk terurai kali ini karena sakit kepala yang ia rasakan sebelum tidur kemarin. Dia baru terbangun dari tidurnya beberapa saat yang lalu, karena tau dia bisa saja bangun kesiangan jika ia tidur kembali. Membuat Victoria memilih untuk melakukan salah kegemarannya jika ia tak dapat pergi terlelap.

Jelaganya melirik tumpukan buku dan kertas yang tersusun rapi di nakas di samping ranjangnya. Membaca angka tahun 1876 yang tertulis di lembaran sampul jurnal yang ia gunakan untuk mengatur jadwalnya. Membuat Victoria berfikir bahwa tak terasa ini sudah tahun ketiga nya sebagai seorang guru disebuah sekolah untuk kalangan kelas bawah[1] dan tidak ada tanda tanda jika dia ingin berhenti. Meski diakui, menjadi seorang guru sangatlah melelahkan.

Setiap harinya harus bertemu dengan anak anak dengan berbagai macam bentuk kenakalan mereka. Kadang Victoria harus mengajari mereka dari dasar seperti berpakaian rapi atau mengenai kebersihan karena mereka hidup dengan orang tua yang sangat miskin. Sesekali Victoria juga harus mengurusi sebuah drama yang terjadi di keluarga sang anak didik. Kadang salah satu dari orang tua mereka tidak tau jika pasangan nya mendaftarkan sang anak ke sekolah, ketika mereka tau anak anak itu pergi ke sekolah ketimbang mencari nafkah. Orang tua itu akan datang untuk menjemput paksa anak mereka yang sedang belajar dan kadang dengan entengnya mengancam Victoria dengan kekerasan.

Victoria menghela nafas.

Meski Victoria akui bahwa ia tidak takut dengan segala macam ancaman kosong itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang, kejadian yang tidak mengenakan itu tetap membekas di kepala sang dara.

"Victoria?" Gumaman Agatha sang kawan sekamar membuat Victoria menoleh.

Gadis berwajah bintik itu mengosok matanya pelan sebelum terduduk di Rajang kecilnya. Rambut coklatnya yang terkepang rapi semalam kemarin kini berantakan akibat terlalu banyak bergeser diatas bantal. Gadis itu mengedipkan matanya beberapa kali sebelum benar benar terbuka untuk memandangi tubuh kawan yang lebih kurus darinya.

"Maaf, apa aku membangunkan mu?" Tanya Victoria.

Sang kawan yang sudah menempati kamar ini satu tahun sebelum Victoria menggeleng, "Tidak sama sekali. Tapi aku harus akui jika kebiasaan bangun pagi mu selalu membantuku ikut bangun pagi. Kamu lebih baik dari pada para Knocker Up[2] yang diceritakan oleh kawan kawan ku di pabrik."

Victoria tertawa kecil, "Sepertinya aku tau pekerjaan apa yang harus ku geluti jika pensiun nanti."

Agatha ikut tertawa sedikit sebelum berkata, "Tentu saja kamu tidak akan bernasib seperti itu. Jika kamu menikah dengan seorang Tuan Tanah atau seorang pengusaha pabrik."

"Menikah dengan Tuan Tanah dan Pengusaha ya? Huh, sayang sekali Tuan Tanah atau pengusaha di Kota ini sudah berumur semua! Sementara yang sebaya denganku masih belum kelihatan prospek usaha nya atau sudah terlanjur menikah. Sepertinya itu mustahil." Kata Victoria yang merebahkan tubuhnya ke dinding ranjang, mata emerald nya memandang Agatha yang senyumnya semakin melebar.

"Tidak mustahil jika kamu menjadi simpanannya!"

Alih alih tersinggung, keduanya lalu tertawa semakin keras.

Restless | Albert x OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang