tiga

850 169 22
                                    

Hyunjin menggerutu waktu suara berisik di cafe ganggu acara minggu santainya, setelah menoleh dia temui sekumpulan anak kecil yang ditemani satu perempuan tengah asik bercerita dan main bersama.

Jeno yang duduk didepan Hyunjin cuma terkekeh kecil, sementara Seungmin sesap kopinya dan amati ekspresi Hyunjin yang kerap berubah.

"Anak gue pasti seumuran mereka, iya kan?"

Seungmin buang napas panjang, udah menduga sejak awal kalau temannya itu pasti mikirin anaknya. Hyunjin selalu ketemu cara untuk putar kembali kaset lama dikepalanya, bawa diri berandai-andai tentang keluarga bahagia yang selama ini dia berusaha temukan. Wajar aja, Hyunjin makin hari makin gila tentang anak dan kekasihnya.





"Gue kira lu terganggu karna disini berisik."

"Itu juga," Ungkap Hyunjin kemudian alihkan perhatian ke cangkir kopi yang mulai dingin, senyum dibibirnya kelihatan penuh paksa. Bahkan teman-temannya gak aneh lagi dengan ekspresi Hyunjin yang tampak pura-pura tenang,"Tapi setelah liat anak-anak itu gue jadi keingat anak gue."

Dan teman-temannya yang simpan amarah pun gak pernah berhenti ingatkan Hyunjin, "Dia anak Lucy, bukan anak lu."

"Mau lu ngomong berapa kali juga itu tetep anak gue, gue emang bodoh karna pernah berharap dia pergi tapi gue udah berubah. Gue mau dia, gue mau mereka balik ke gue. Semudah itu harapan gue, kenapa Tuhan gak pernah denger?"

"Gue rasa lu mending nyerah aja, lu udah cari Lucy kemanapun tapi gak ketemu. Mungkin dia emang gak mau kembali, atau udah nemu pendamping lain yang mau terima anaknya."

Hyunjin menunduk, tangannya terkepal kuat halau emosi. Selalu takut tiap Seungmin mulai bicarakan kemungkinan-kemungkinan seperti itu sebab dia pun sadar, semua kemungkinan bisa terjadi.

Dia yang dulu berpikir akan menua bersama Lucy, kini harus bertarung sendirian dengan rasa bersalah. Diri yang belum dewasa, tekanan dari banyak pihak, ekspektasi orang-orang dan usahanya untuk bangun masa depan indah hancur karna satu kesalahan kecil yang ditimpa dengan kesalahan lainnya.

Kesalahan yang sebenarnya gak pantas dia anggap buruk, kesalahan yang seharusnya dia tanggung, kesalahan yang sesungguhnya adalah anugerah.

Hyunjin dalam hatinya yang membeku, tanamkan kuat-kuat kalau Lucy miliknya, anak itu juga darah dagingnya.

"Gak ada yang boleh dia panggil Papa selain gue, dan gak boleh ada laki-laki lain yang bisa gantiin gue dihidup Lucy."

"Lu menyedihkan." Kata Jeno dibarengi cengiran mengejek.

Hyunjin mengangguk kecil, "Gue mengakui i-"






"Papi!" Suara teriakan yang cukup nyaring sempat hentikan aktivitas orang-orang didalam kafe. Mereka menoleh ke satu anak lelaki yang ceria, berdiri dikursinya sedang kedua tangan terentang sambut pelukan.

Orang-orang ulas senyum, merasa senang dengan interaksi Ayah dan anak yang begitu menggemaskan buat mereka.

"Mama mana?" Tanya si bocah dengan mole dibawah matanya, dia cemberut malas, "Katanya mau jemput."

"Hari ini sama Papi dulu ya? Mama lagi belanja bulanan, abis ini kita jemput dia."

Si anak ngangguk, buat Hyunjin senyum tipis dan mainkan rambutnya kacau. Entah, pikirannya tiba-tiba kacau lagi karna inginkan anaknya kembali.

"Gue kalo dulu gak bego pasti udah kayak orang itu ya? Bisa main sama anak gue bareng Lucy."

Teman-temannya saling pandang, hela napas pelan lalu mengangguk. Mereka pun sadar kalau amarah mereka justru buat Hyunjin makin kacau. Maka sebisa mungkin meski benci itu ada, mereka gak pernah tinggalkan Hyunjin sendirian.

Baby LionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang