"Selamat ulang tahun,"
Bisiknya di telinga Naya setelah dia tiba dengan berjalan sedikit lebih cepat ketika mendapati perempuan dengan rambut kecoklatan yang panjangnya tak melebihi bahunya itu sudah berdiri di sana entah sejak berapa saat.
Perempuan itu menoleh, lalu satu tangan yang besarnya kira-kira dua kali lipat dari miliknya mengelus pelan rambutnya. Senyumnya terurai. Ini bukan yang pertama, tapi Naya masih belum biasa dengan perlakuan-perlakuan kecil yang Mahesa berikan.
Walau begitu, dia masih suka bagaimana irama jantungnya berdetak tak beraturan tiap kali laki-laki itu ada di jarak terdekatnya pada perempuan itu.
"Ulang tahunku bukannya masih lama? Bulan depan, Hesa."
"Aku tahu. Aku nggak lupa."
"Terus?"
"Ya, nggak ada terus, Naya. Memangnya kalau terus kita mau kemana? Lihat!" dagunya dia arahkan pada tembok yang membatasi ruang persegi dengan lukisan-lukisan yang menggantung di tiap tembok polos ruang itu.
Naya tak satupun mengenal siapa pemilik dari lukisan-lukisan itu dan untuk siapa lukisan-lukisan itu ditujukan. Mahesa bilang, lukisan-lukisan ini memiliki tuannya namun bukan sang pelukis. Katanya, tiap garis yang ada dalam tulisan ini punya arti besar yang bahkan orang-orang seperti Naya maupun Mahesa nggak pernah tahu apa arti di baliknya. Jelas bahwa yang lebih tahu arti di balik garis tiap lukisan ini adalah sang pelukis juga tuannya.
"Hesa, aku serius!"
"Aku duarius!"
Bagaimana seorang Mahesa memandang dunia dengan kedua manik hitam miliknya dan seisi kepalanya bahkan tak bisa sekalipun Naya tebak. Bukan artinya Naya belum pernah mencoba. Tapi, tiap kali ingin, rasa inginnya pelan-pelan disadarkan oleh beberapa kalimat yang keluar dari mulut Mahesa seperti sekarang, misalnya.
"Jangan tebak aku, nanti kamu kecewa."
"Aku nggak nebak kamu!"
"Aku tahu."
"Tahu apa?"
"Tahu kalau kamu nggak lagi nebak aku he... he... he..."
Seolah-olah dua manusia ini memang dicipta untuk saling mengisi dan saling mengerti meski dengan jutaan 'perbedaan' yang sudah atau belum sepenuhnya keduanya nampakkan.
"Aku merayakan ulang tahun kamu atas dasar hari ini aku masih sama kamu."
"..."
"Nay, kamu sama aku sama-sama nggak tahu kita bisa sama-sama sampai kapan. Sampai besok? Tujuh hari lagi? Dua minggu lagi? Atau sampai hari ulang tahun kamu tiba? Jadi, selagi kamu dan aku masih sama-sama seperti sekarang ini, aku ingin merayakannya."
"Kenapa ya isi kepala kamu nggak pernah bisa aku tebak?"
"Karena kamu Naya bukan peramal!"
"Memang kalau aku jadi peramal bisa nebak isi kepala kamu?"
"Hmm... nggak bisa."
"Kenapa?"
"Karena kalau kamu peramal aku nggak mungkin akan ketemu sama kamu!"
Lihat bagaimana kalimat konyol itu berhasil membentuk sabit di ujung bibir milik perempuan yang sekarang sudah lebih dulu melajukan langkahnya dan meninggalkan Mahesa di belakangnya.
Yang bisa membenarkan kata-kata itu rupanya hanya angin dan Mahesa sendiri. Naya, perempuan itu, kadang-kadang juga tak selalu memberi pembenaran pada apa saja yang Mahesa ucapkan. Mahesa juga tak pernah sekalipun meminta pembenaran atas dasar apapun. Baginya, apa yang ada di dalam kepalanya adalah apa-apa yang tak akan pernah ada di dalam kepala Naya.