Mahesa: Pergi

47 11 1
                                    

Hari itu, ada banyak hal mengenai perpisahan yang belum bisa aku mengerti. Masih banyak hal mengenai perpisahan yang belum bisa aku terima. Masih banyak hal mengenai perpisahan yang masih ingin aku tolak sebisa mungkin. Pula, masih banyak hal mengenai Mahesa yang hingga detik ini, tak pernah bisa hilang dari dalam kepalaku.

Aku sejak awal tak pernah berani melepas kepergian Mahesa. Namun begitu, aku juga tak berani menahannya. Aku dihadapkan pada kebingungan yang belum pernah aku hadapi sebelumnya. 

Aku hidup bagai bayangan paling asing yang selalu melalui jalan yang sama sebab tak bisa menentukan pilihan kala dihadapakan pada satu persimpangan. Aku bagai bayangan paling asing yang selalu berlari ketakutan kala harus menemui orang-orang baru atau menerima kehadiran yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku bagai bayangan paling asing yang nyaris hilang ketika sinar milik laki-laki itu perlahan memudar.

Aku hidup bagai bayangan paling asing dalam tahun-tahun selepas kepergian Mahesa.

Tak banyak yang tahu bagaimana aku dan Mahesa berpisah ketika itu. Bahkan aku berpikir bahwa bumi dan seisinya pura-pura tak ingin tahu mengenai perpisahanku dengan Mahesa.

Karena, jika dipikir lagi, jika membalik ke belakang halaman-halaman yang pernah ditulis sebelumnya, jika mengingat kembali ratusan hari yang sudah Mahesa dan aku lalui, maka perpisahan rasanya tak mungkin akan hadir dalam Mahesa denganku.

Hari itu, aku sempat berpikir, jika aku menemui Mahesa sedikit lebih cepat maka barangkali aku akan lebih dulu hadir dibanding perpisahan. 

Tapi, pada kenyataannya, perpisahan akan tetap hadir. Secepat atau selambat apapun aku menemuinya. 

Setelah menyelesaikan kuliah, aku pindah ke tempat yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku menyebut ini sebagai kehidupan baruku, tapi bagi diriku yang lain, ini bukanlah kehidupan baru melainkan sebuah bentuk pelarian diri. 

Bukan untuk siapa, tapi untuk diriku sendiri.

Di kota kecil ini, bahkan tak ada satu orang pun yang mengetahui masa laluku. Tak satu orang pun yang mengetahui bagaimana aku menghabiskan ratusan hari juga ribuan jam dengan Mahesa. Tak ada satu orang pun yang mengetahui betapa berartinya Mahesa untukku bahkan hingga detik ini. 

Namun, ketidaktahuan itu nyatanya berhasil membuatku lega. Sebab dengan begitu, aku bisa menyimpan rapat-rapat segalanya untuk dirinya sendiri.

Aku selalu ingin menyimpan segalanya untuk diriku sendiri. Tiap barisnya selalu aku tulis dalam buku harianku sebab aku tak ingin lupa barang sedikitpun. 

Aku tak pernah ingin melupakan Mahesa.


Abah dan Rumi sesekali mengunjungiku di sini. Pun begitu, baik Abah ataupun Rumi, keduanya tak pernah memaksaku untuk pulang ke rumah atau sekedar berkunjung. Katanya, aku selalu punya hak lebih atas diriku sendiri. Oleh karena itu, Abah tidak pernah mempermasalahkan apapun keputusanku asal keputusan yang aku ambil tidak keluar dari batasan.

Bian pun begitu. Laki-laki ini masih rutin mengunjungiku di tengah padatnya kesibukannya. Dia selalu menyempatkan diri dan beberapa kali tertangkap basah olehku sedang memaksakan diri agar bisa mengunjungiku seperti sekarang ini.

"Aku cuma mau berkunjung"

"Minggu lalu kamu juga sudah berkunjung."

"Hari ini aku banyak waktu luang"

"Tapi aku nggak punya waktu luang, Bian."

"Naya..."

"Bian, aku senang kamu mengunjungiku, meluangkan waktu untukku, menengokku untuk sekedar mengetahui keadaanku apakah aku sedang baik-baik saja atau tidak. 

Tapi, aku nggak mau kamu memaksa diri. Meski ratusan kali kamu mengunjungiku, meluangkan waktu dan menengokku untuk sekedar mengetahui keadaanku, maka jawabannya masih tetap sama. Aku tidak pernah sedetik pun baik-baik saja. 

Aku tidak pernah baik-baik saja setelah hari perpisahan itu datang."

Kalimat itu dengan tegas aku ucapkan dengan harapan yang masih sama, 'semoga Bian mengerti maksud baik-ku ini sekalipun kedengarannya jahat'. 

Ada ketakutan yang rupanya masih menetap di sana. Ketakutan itu rupanya menjelma, menjadi abadi dan menyatu dengan diriku ini.

Bahkan, jika ratusan kali laki-laki ini berlutut juga meminta maaf atas nama Mahesa, ketakutan itu tak akan sedikit pun beranjak dari tempatnya. Ketakutan itu tak akan berniat meninggalkanku. Ketakutan itu selamanya akan jadi abadi.

"Aku tidak memaksa diri. Tapi kamu yang masih menciptakan batasan itu, Naya. Batasan itu bahkan bisa aku lihat dengan jelas di hadapanku sekarang."

"Aku bahkan selalu berpikir batasan yang secara tidak sengaja aku ciptakan itu tidak akan pernah bisa hilang, Bian. Aku tidak ingin kamu memaksa diri maupun berharap."

Sebenarnya, tak ada yang tahu pasti bagaimana cara paling tepat untuk mengukur tingkat kebahagiaan seseorang. Apakah dengan tidak berharap seperti yang aku katakan kepada Bian benar-benar akan memberinya bahagia atau malah harapan-harapan itu yang pada akhirnya akan membuat dia bahagia?

Manusia tidak pernah tahu pasti. 

Begitu pula dengan aku. 

Sungguh. 

Aku hanya ingin mengatakan apa-apa yang ada di dalam kepalaku dan yang memang seharusnya aku katakan. 

Aku takut ketika orang lain menaruh harap kepadaku. Aku takut harapan-harapan itu akan berakhir menjadi kekecewaan. Jika harapan-harapan tersebut berakhir menjadi kekecewaan, maka pada akhirnya aku adalah satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab. 

Hari itu, aku lagi-lagi menolak kehadiran Bian. 

Entah untuk kali keberapa. 

Yang jelas, aku belum berani menyambut kedatangannya. Aku tidak ingin menyambut kedatangan orang baru di saat aku masih membiarkan diriku untuk duduk di sudut ruang bersama orang yang telah lama datang.

Aku mengajukan pertanyaan ini ribuan kali pada diriku sendiri,

"Ketakutan yang telah lama menjelma jadi diriku yang lain ini, apakah pada suatu hari nanti akan mengucapkan salam perpisahan kepadaku?"

MAHESAWhere stories live. Discover now