Rentang kisah perihal Mahesa, aku dan manusia-manusia baik di dalam cerita kami berdua masih terus berlanjut hingga detik aku menuliskan paragraf ini. Banyak. Banyak sekali. Begitu banyak hingga aku pun sempat merasa bingung harus menuliskan bagian dari kisah yang mana yang harus aku bagikan pada dunia dan seisinya.
Aku memilih bagian terbaik dari yang paling baik untuk aku kenang, aku bagikan, pun aku simpan di ruang tersembunyi di sudut hati yang bahkan tidak seorang pun tahu bagaimana cara masuk ke dalamnya.
Maka dengan segenap hati aku menuntun kalian ke dalam ruang tersembunyi itu. Ruang rahasia. Rubanah yang aku ciptakan dengan peluh-peluh bahagia juga duka yang berhasil aku rasa.
Kini, kalian ada di dalamnya. Di dalam ruang tersembunyi tersebut.
Pelan-pelan aku tahu banyak bahwa Mahesa menyimpan jutaan rahasia seputar hidupnya dariku. Aku juga tahu banyak bahwa dia menyembunyikan luka-luka yang sudah entah sejak kapan dia obati sendirian namun belum sembuh juga. Lagi-lagi aku tahu bahwa dia tidak ingin menunjukkan barang sedikitpun atau setitikpun kekurangannya maupun kelemahannya pada bumi dan seisinya.
Bukan.
Bukan karena dia sombong atau ingin pamer bahwa dia keren dan semacamnya. Tapi Mahesa, laki-laki ini, laki-laki yang amat sangat aku sayangi ini hidup dibalut rasa takut. Dia takut ketika bumi dan seisinya berhasil melihat dan mengetahui kekurangan serta kelemahannya, maka dia lagi-lagi akan dicabik dengan benda tajam yang tajamnya seribu kali dari apa yang telah mencabik dirinya di masa-masa dulu.
Ketika itu, aku sadar bahwa Mahesa sejujurnya menarik dirinya jauh dari kerumunan yang mengelilinginya. Dari Bunda yang sangat menyayanginya. Dari Ningsih yang selalu memerhatikannya. Juga dari aku yang selalu ingin melindunginya dari apapun.
Mahesa bahkan berdiri amat jauh dariku. Jauh sekali. Tapi entah kenapa aku selalu merasa bahwa dia ada dalam radius terdekatnya denganku. Aku selalu merasa seperti itu.
Jika kalian tanya bagaimana perasaanku ketika bersama Mahesa, maka jawabannya hanya ada dua; aman dan takut.
Dua hal tersebut selalu berdampingan hadir ketika Mahesa dan aku bersama selama tahun-tahun baik juga tahun-tahun buruk yang telah kami lalui.
Tidak hilang. Bahkan hingga detik ini.
Kupikir, dua hal tersebut adalah sepasang hadiah untuk dua insan yang tak pernah berani menjumpai perpisahan. Maka atas dasar itu aku masih menyimpannya. Rasa aman dan ketakutan-ku.
"Dari jutaan hal yang sejatinya tak abadi di dunia ini, hanya ada satu yang nggak pernah mati," aku ingat kalimat itu pernah Mahesa ucapkan kepadaku ketika aku dan dia sedang mengisi perut dengan mie ayam milik mak inyong yang jadi salah satu penjual mie ayam favorit Mahesa se-antero negeri ini.
Aku lantas bertanya pada Mahesa,
"Satu yang nggak pernah mati? Maksud kamu abadi?"
Mahesa menganggukkan kepalanya.
Dia terlihat antusias tepat sebelum daging ayam itu berhasil membuatnya tersedak.
"Makan dulu," ucapku.
"Aku bisa makan sambil bicara, Naya."
Aku lantas mengulum senyum.
"Kamu tahu apa yang aku maksud abadi tadi?"
Aku menggeleng.
"Kalau aku tahu, aku nggak perlu nanya sama kamu!!"
"He.. he... he..."
"Jadi apa abadi yang kamu maksud tadi?"
"Radio"
"Radio?" ulangku.
"Radio, Naya. Menurutku, radio nggak akan pernah mati. Meskipun waktu berjalan, segala hal berubah menjadi lebih mudah, bahkan sekalipun robot-robot dapat menggantikan kinerja manusi, radio akan tetap ada. Nggak akan mati. Kamu tahu kenapa?"
Aku menggeleng.
"Karena manusia tumbuh dengan rasa penasaran. Karna radio adalah apa-apa yang tercipta dari rasa penasaran manusia. Radio hidup karena rasa penasaran manusia hidup di dalamnya. Ketika kamu mendengarkan radio, kamu nggak akan pernah tahu lagu apa yang selanjutnya akan mereka mainkan. Selamanya... akan terus begitu.
Bahkan, jika lagu itu bukan lagu kesukaan kamu, kamu akan tetap mendengarkannya hingga akhir sebab kamu penasaran lagu apa yang akan mereka mainkan selanjutnya juga kapan lagu dari penyanyi favorit kamu akan mereka mainkan.
Rasa penasaran itu nggak akan pernah hilang bahkan hingga ribuan tahun lamanya. Hal itu akan menjadikan radio abadi, Naya."
"Bahkan selain lagu-lagu tadi, ada banyak manusia yang gemar atau ingin membagikan ceritanya kepada seisi bumi tanpa perlu menampakkan wajahnya atau memperdengarkan suaranya sekalipun dan itu semua bisa dilakukan dengan radio."
"Seru, bukan?"
Aku menganggukkan kepalaku semangat.
Jika rasa penasaran selalu tumbuh berdampingan dengan manusia persis seperti apa yang Mahesa katakan, maka saat itu aku tumbuh dengan rasa penasaran yang besar. Rasa penasaran tersebut menjelma menjadi kekhawatiranku.
Selepas perasayaan ulang tahunku, di hari menghilangnya sosok Mahesa, ketika itu aku punya rasa penasaran dan kekhawatiran yang sangat amat besar hingga tak bisa aku bendung lagi.
Mahesa, maafkan aku jika aku lancang memiliki rasa penasaran sebesar ini, mengkhawatirkanmu lebih dari apa yang kamu pikirkan. Tapi, di hari-hari menghilangnya kamu, aku terus-terus memikirkan apa yang telah terjadi kepadamu bahkan sekalipun kamu akhirnya datang menemuiku dan mengatakan semuanya baik-baik saja.
Perasaan itu tidak hilang sedikitpun.
Semakin hari semakin besar dan tidak bisa aku bendung lagi.
Mahesa, di hari kamu mendatangiku dengan sorot mata penuh luka, di hari tersebut dan di hari sebelumnya apa yang sudah terjadi? Apa dan siapa yang telah menyakiti kamu sebegitu hebatnya? Aku tidak ingin memaksa kamu untuk menceritakannya kepadaku tapi aku juga tidak ingin kamu memendamnya sendirian.
Aku tidak berani melihat kamu dibalut luka yang lebih dari apa yang aku lihat saat itu.
Aku tidak pernah berani.