Trece

444 64 8
                                    

Nyatanya trauma yang dimiliki pasien PTSD tidak dapat sembuh seiring waktu.

Sesungguhnya sebuah memori takkan pernah benar-benar terlupakan. Sesekali suatu hal akan dengan mudah memicu memori lama untuk kembali terngiang meskipun sudah tak lagi mengingatnya untuk waktu yang lama. Hal ini pun berlaku untuk memori yang ternyata merupakan sebuah trauma masa lalu.

Seperti saat ini, Dev kembali masuk di lingkaran setan yang memuakan setelah sempat kambuh dua bulan yang lalu. Mengalami mimpi buruk dengan tampilkan kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa sang mama. Pria itu terbangun ditengah malam dengan napas yang terengah dan keringat di kening dan pelipisnya.

Setelah berikan obat penenangnya, Ralaya bantu Dev menyandarkan punggungnya di headbed, lalu dia berikan pelukan hangat terbaiknya.

Dev sama sekali tak membalasnya dan malah menyembunyikan wajahnya di pundak Ralaya. Tapi itu tak apa sebab sudah tugasnya untuk berikan rasa nyaman untuk Dev. Jadi tameng kekuatan demi menghalau rasa takut dan rasa bersalah Dev atas masa lalu yang bahkan tak dia lakukan. Dev hanyalah korban secara mental dan merasa kalau dirinya adalah bentuk nyata dari rasa payah yang sebenarnya karena tak mampu selamatkan nyawa sang mama. Merasa bersalah teramat besar dengan rasa sesal yang mengiringinya.

Itu membuat Dev gila.

Dev-nya yang malang. Tak seharus dia tersiksa seperti ini.

Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit. Ralaya tak tahu sudah berapa lama dia merengkuh tubuh kesayangannya.

Berikan usapan lembut di punggung dan sesekali berikan kecupan seringan kupu-kupu di pundak dan ceruk leher Dev.

Keheningan yang menyelimuti mereka kini perlahan menghilang setelah Ralaya berucap, "aku sayang kamu. El juga sayang kamu," katanya menenangkan. "Mama papa, papa bunda, kak Rio, kak Jevin, semua sayang kamu. Ga ada satupun dari kita yang benci kamu karena kejadian yang dulu." Dia ucapkan fakta itu begitu tulus tanpa rasa bosan. Selalu yakinkan Dev bahwa dirinya begitu beruntung karena dikelilingi orang-orang yang menyayangi dirinya. Tak ada yang membencinya atas hal apapun. "Ga ada satu orang pun yang bisa lawan takdir. Semua orang bakal 'pergi' kalo waktunya udah tiba dan kepergian mama itu bukan salah kamu. Itu udah jadi bagian dari takdir, Bub."

Dunia itu memang aneh dan misterius. Kita juga tak bisa memaksa agar dunia bisa memihak pada kita. Bahkan sekalipun jika kita orang berada dengan segala kekuasaan serta harta yang berlimpah, pasti ada kalanya kita merasa dipecundangi.

Dunia memang kejam dan kita tak bisa lari begitu saja. Jadi daripada kabur seperti itu lebih baik kita menyiapkan mental dan juga tenaga meskipun pada akhirnya hal itu akan terkikis dengan sendirinya dan hingga saat itu tiba, kita akan menyerah.

Entah karena takdir atau karena kita yang sudah putus asa.

Ralaya bisa rasakan tubuh Dev yang gemetaran di pelukannya.

Dev-nya akan menangis.

Dia sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Tak ada yang salah dengan seorang pria dewasa yang menangis. Bukan berarti lemah.

Setiap orang berhak mengekspresikan seluruh perasaannya. Senang, sedih, marah, kecewa—apapun itu.

Dan sampai kapan pun dia bersedia berikan pundak untuk sandaran Dev,  berikan telinga untuk dengar segala kekhawatiran Dev, berikan mata untuk selalu tatap hangat Dev yang kalut, berikan punggung untuk proteksi Dev dari semua rasa takut, dan berikan hati yang akan selalu tulus untuk menyanyangi Dev.

Ralaya bisa berikan apapun agar Dev-nya keluar dari lingkaran mengerikan itu.



•••




[III] After with RalayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang