Cuarenta y cuatro

407 94 39
                                    

Pagi sekali, bunda memberitahu jika beliau tak jadi datang ke rumah sakit karena sedang tak enak badan sementara papa sedang tak bisa meninggalkan pekerjaan dikantornya. Begitu juga dengan kedua orangtua Ralaya, mereka begitu sibuk. Tapi mereka semua tahu mengenai kepulangan Ralaya dan mengatakan untuk jangan sungkan jika membutuhkan sesuatu.

Ya, tentu. Dev tak marah dengan itu. Dia mengerti tentang segala kesibukan yang orangtua mereka lakukan.

Toh Dev hanya tinggal keluar rumah sakit seperti biasa karena seluruh administrasi sudah selesai. Tak ada sesuatu yang harus di urusi lagi.

Tapi, ada sebuah kata-kata dari bunda yang membuat hatinya tak nyaman. Sebenarnya itu adalah pesan bunda tadi malam dan pagi ini juga, beliau mengirimkan sebuah pesan yang sama.

Dev, untuk sekarang jangan pernah tinggalin dulu Aya, ya? Kamu harus tetep ada disekitar dia. Bunda khawatir.

Sebenarnya pesan itu wajar, layaknya sebuah kekhawatiran seorang ibu pada anaknya. Bahkan sekalipun bunda tak memberikan sebuah titah seperti itu pun, Dev akan tetap menjaga dan menemani Ralaya. Tapi rasanya sejak Dev menceritakan tentang Eno di malam itu, perlahan Dev merasakan Ralaya yang mulai berubah.

Meski mengaku kalau tak ada apa-apa tapi Dev justru mendapati kebalikannya. Sekalipun Ralaya tersenyum, dia tak dapat menangkap cahaya disenyumnya. Manik hitamnya redup dan begitu gelap seperti tak ada kehidupan disana.

Perlahan, Dev pun mulai menyadari kekhawatiran bunda.

"Bub?" panggil Dev saat mobil mereka yang dikendarai sedikit terjebak macet. Tangannya bahkan terulur untuk menyentuh pundak istrinya ini, membuat Ralaya berjengit kaget.

"Y--ya?"

"Maaf," kata Dev pelan. "Itu El ngajak ngobrol kamu terus lho, kasian."

Kedua mata Ralaya mengerjap dan menoleh ke belakang. Mendapati El yang tengah duduk di jok khusus balita, tengah menatap dirinya.

"Kenapa, Sayang?"

"Kelinci di film yang kemalin nama na siapa, Mommy?"

"Snowball," ucapnya singkat lalu kembali menatap ke depan saat mobil mulai melaju.

Dia kembali menyandarkan punggungnya ke jok dan memalingkan wajahnya ke kaca mobil yang ada di sampingnya.

Melihat orang-orang yang berkendara ataupun berjalan kaki demi menjalani hari-hari.

"Snowball lucu ya mommy, kayak Bonnie," celoteh balita itu.

"Iya."

"Tapi na Snowball nakal, kalo Bonnie kelinci yang baik."

"Hmm."

"But why Coco ga milip sama Max? Meleka kan anjing yang lucu."

"Meskipun sama-sama anjing, mereka kan beda jenis, El," balas Dev yang kini mengambil alih.

Tak tega ketika melihat puteranya yang terus bertanya tapi hanya mendapati jawaban yang singkat tanpa minat. Padahal biasanya Ralaya akan terus menjawab pertanyaan El meskipun balita itu terus mengajak mengobrol tanpa henti dan mudah berpindah-pindah pokok pembahasan.

Ralaya seperti kehilangan minat pada semua yang ada disekitarnya. Jarang berbicara, kecuali ada yang dia perlukan.

Dan kini, Dev harus mengambil alih tugas itu. Membagi fokusnya mengemudi dan merespon semua ucapan El yang penuh akan rasa ingin tahu. Sesekali Dev pun melirik ke samping tapi Ralaya masih tetap pada posisinya, larut dengan dirinya sendiri seolah tak mau diganggu.

Tanpa Dev tahu dan keluarganya sadari, Ralaya mulai membangun sebuah dinding kuat nan kokoh bersama semua luka dan semua rasa rindunya pada Boo. Menikmati rasa sakitnya sendirian yang membunuhnya secara perlahan.

[III] After with RalayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang