Cincuenta y nueve

847 77 59
                                    

Musim semi indah yang Dev rasakan tergusur badai secara tiba-tiba tanpa peringatan. Badai hebat yang sukses memporak-porandakan hati serta pikirannya jadi semrawut sampai tak bisa teruraikan.

Seingatnya, dia dan Ralaya tengah tidur di brankar yang sama dan saling berpelukan. Dev bahkan tengah mengarungi mimpi yang indah. Tapi sekitar pukul empat pagi, tiba-tiba Ralaya bergerak tak nyaman dalam pelukannya. Dia mengeluh pusing dan sesak di dadanya. Dev juga baru menyadari kalau suhu tubuh Ralaya yang tinggi hingga tubuhnya berkeringat.

Kepanikan tak sampai disitu saja, tubuh Ralaya yang awalnya meringkuk sambil memegangi dadanya tiba-tiba kejang. Dev bergerak cepat dan menekan tombol merah di samping brankar dengan tergesa-gesa saking takutnya akan keadaan Ralaya.

Tak lama setelahnya, beberapa perawat serta seorang dokter datang bersamaan dengan kejang Ralaya yang berhenti lalu wanita itu yang tak sadarkan diri. Hasil pemeriksaan menunjukan Ralaya harus kembali masuk ICU. Maka saat brankar itu di dorong, Dev mengikutinya dari belakang dengan ponsel yang dia katakan pada Ralaya tengah lowbat padahal benda pipih itu masih memiliki daya baterai. Dev segera memberitahu para keluarga bahkan Rio untuk segera datang ke rumah sakit meski dia tahu kalau di jam empat pagi orang-orang masih terlelap. Tapi tak ada salahnya berharap, kan?

Dev hanya terlalu khawatir, maka dari itu dia membutuhkan orang-orang terdekatnya. Beruntung bunda segera meresponnya dan berkata akan datang secepatnya bersama papa. Kedua paruh baya itu benar-benar datang tak lama setelahnya, mereka bahkan berlarian di koridor dengan mengenakan baju tidur yang dibalut jaket. Segera peluk Dev yang terduduk di lantai untuk menenangkannya.

Mereka bertiga menunggu dengan resah di luar ruang ICU. Hatinya tak tenang namun tetap panjatkan beribu doa demi kesembuhan Ralaya.

Pria berjas putih keluar sambil menurunkan maskernya. Memberitahu kalau Ralaya masih tak sadarkan diri namun tanda-tanda vitalnya normal kecuali suhu tubuhnya yang masih tinggi.

Sekecil apapun kemajuan yang terjadi pada Ralaya tetap mereka syukuri dan saat matahari mulai muncul malu-malu menampakan sinarnya, wanita yang sempat tak sadarkan diri itu akhirnya siuman. Mulai membuka kelopak matanya perlahan dan Dev dapat kembali melihat manik hitamnya yang indah.

Dev senantiasa menggenggam tangan kurus itu, mengusapnya lembut dan memberitahu kalau dia ada untuk menemani Ralaya. Tapi sampai beberapa menit berlalu, Dev tak melihat senyuman hangat atau bahkan senyuman tipis dari bibir Ralaya.

Separuh hatinya itu hanya menatap dirinya dengan pandangan sayu dan sesekali menatap langit-langit secara bergantian. Cukup dengan tatapan sayu itu, jangan tangisnya. Dada Dev akan sakit, dia sedang mencoba menahan rasa panas yang menjalar di matanya.

Sejak siuman, Ralaya tak kunjung membuka mulutnya, dia masih membisu. Tapi diam-diam dia memiliki alasan atas itu. Bukan karena benci pada Dev atau menolak berbicara. Dia hanya sedang menahan sakit di dada dan kepalanya. Entah, rasanya sejak pertama kali siuman dia merasa kepalanya tengah menahan beban berat serta paru-paru yang diremas oleh sesuatu. Padahal saat ini dia juga memakai kembali masker oksigen agar lebih maksimal tapi rasanya sakit sekali dan untuk sekedar meringis pun Ralaya sudah tak punya tenaga. Dia hanya bisa berbaring dan mengedipkan mata. Sisanya, dia harus menggunakan tenaga extra seperti saat mencoba untuk minum lewat sedotan dengan bantuan Dev.

Karena khawatir, telapak tangan pria itu menyentuh kening Ralaya. Demamnya mulai berangsur turun. Tapi melihat istrinya yang hanya diam masih membuat Dev khawatir.

"Ada apa, Bub? Kenapa diem terus?"

Ralaya masih saja bungkam tapi kini Dev melihat dari putih itu mengernyit dengan mata yang memejam. Wajah yang pucat itu nampak mengkhawatirkan. Pun Ralaya juga tiba-tiba mengeratkan genggaman tangannya.

[III] After with RalayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang