Bagian (1/3)

321 0 0
                                    

Aku pernah bilang, suara hujan dengan segala gemericik dan tetesannya adalah bunyi paling merdu yang pernah aku dengar. Kau tahu, kan, hujan itu menenangkan? aku rasa kau setuju jika aku bilang hujan itu membuat hati seseorang bisa tentram, orang yang tadinya kalap karena emosi tiba-tiba bisa jadi tenang saat hujan datang. Apa? Haha.. tentu saja jika ia suka hujan, sudah pasti akupun suka hujan, karena dia yang memberitahuku bunyi merdu ini ketika aku masih kecil dulu. Ya, dia memang kakak terbaikku. Kakak perempuanku yang paling baik. Waktu itu aku masih berusia 10 tahun, perbedaan usiaku dengan kakak 6 tahun. Kakak mengajakku duduk di depan teras rumah, saat hujan sore turun dengan tidak terlalu deras, bahkan anak seumuran ku saat itu main berkejaran di bawah hujan. "Kenapa kamu tak ikut main dengan teman-temanmu?" tanya kakak. "Takut sakit, kan kata Bu Guru nggak boleh hujan-hujanan, nanti bisa sakit." Jawabku seadanya. Dan kakak membalas kepolosanku dengan senyumannya. "Tidak selalu, dek, hujan juga bisa menyembuhkan kok. Hujan juga bisa membuat hati kita tenang juga loh." Aku diam memandang kakak dengan ekspresi bertanya, namun lagi-lagi kakak hanya tersenyum. "Sekarang kamu diam deh, tutup mata kamu, dengerin suara hujannya, dari yang paling jauh sampai yang paling deket." Aku menuruti perintah kakak, setelah beberapa lama, aku merasakan kenyamanan, mendengar satu persatu gemericik dan titik demi titik hujan yang jatuh, begitu lembut, begitu indah, dari situlah aku baru tahu, hujan memiliki bunyi yang sangat merdu. Saat aku membuka mata, aku memberikan senyuman pada kakak, dan kakak tersenyum lagi. "Jadi, nggak main sama mereka itu?" kata kakak menunjuk teman-teman sebayaku yang masih bermain hujan-hujanan. Aku menggeleng. "Aku suka bunyi hujan. Aku hanya ingin dengar bunyinya, kak." Jawabku kemudian. Kakak tersenyum.

Oh ya, Apa kau tahu hujan memiliki semacam kekuatan untuk membuat kita, manusia, menjadi seseorang yang damai karenanya? Tak tahu, kan? Coba kau tebak, aku tahu dari mana hujan memiliki kekuatan seperti itu? yang bahkan benar-benar bisa menyembuhkan sakit seseorang! Hebat bukan buatan, kan!? Hah? Kau tak percaya? Tentu, aku wajarkan itu, karena manusia seperti kita itu memiliki sifat congkak dan gengsinya yang tidak tertolong, tidak gampang menerima kelebihan orang lain, atau aku sebut makhluk lain, atau.. hmm.. aaahh... apalah itu. Lagian ini rahasia, hanya aku satu-satunya orang, hmm.. manusia, yang diberitahukan informasi penting ini. Hah? Kau ingin tahu? Tapi, apakah kau bisa jaga rahasia? Baik, baiklah, akan aku kasih tahu, dengarkan baik-baik. Aku tahu hujan memiliki kekuatan untuk memberikan kenyamanan pada seseorang bahkan bisa menyembuhkan orang sakit, aku tahu dari... setetes hujan. Hahahahaha... aku sudah mengira kau tak akan percaya, tapi itulah yang terjadi, aku berbicara pada setetes hujan.

Saat itu, sore yang menenangkan seperti sekarang ini, aku sedang menikmati wangi bekas hujan, Kau juga tahu kan, wangi bekas hujan itu spesial, tidak bisa kita rasakan diwaktu-waktu yang lain, wanginya pun memiliki harum yang khas. Hah? Apa katamu? Ya wangi bekas hujanlah, ah, sudahlah lupakan, yang terpenting ceritaku soal berbicara kepada setetes hujan. ketika aku melihat ke langit untuk menikmati suasana saat itu, aku menangkap setetes hujan di ujung ranting yang siap terjun ke bawah seperti tetesan-tetesan yang lain. Namun, setelah kuperhatikan, dan aku tunggu cukup lama, tak juga tetesan itu turun, tetesan itu terus menempel pada ujung ranting, seolah ia sedang menunggu seseorang untuk dijatuhi tubuhnya yang setitik basah kecil itu. "Kenapa kau tak terjun?" Tanyaku iseng awalnya pada setetes hujan yang menempel di ujung ranting itu. di Luar dugaan, setetes hujan menjawab. "Saya sedang menunggu seseorang, seseorang untuk saya sembuhkan." Aku terkejut, namun hanya sementara, meski aku tak mengerti apa yang terjadi, aku lanjutkan juga bertanya pada tetesan kecil itu. "Seseorang? Menyembuhkan? Apa hujan bisa menyembuhkan orang sakit?" Tanyaku. "Tentu." Jawab setetes hujan.

***

Saya hanya setetes hujan yang turun dari kerajaan awan untuk membasahi bumi, tempat para manusia itu tinggal. Kami, sekumpulan hujan, dilahirkan untuk membuat kenyamanan pada manusia, membahagiakan manusia dengan tubuh kecil kami, dan membuat mahluk bumi itu sejahtera dengan datangnya kami; sekumpulan hujan, dengan menyuburkan tanah-tanahnya. Di dalam awan kami tinggal, tidak ada ayah, tidak ada ibu, tidak ada kakak, tidak ada adik, tidak ada keluarga dan kerabat, yang ada hanya saya dan teman-teman saya setetes hujan. Di dalam awan kami hidup berkumpul, tidak ada rumah, tidak kasur, tidak ada sekolah, tidak ada gedung-gedung dan perkantoran, yang ada hanya segumpalan dinding-dinding putih awan yang menahan kami di dalamnya agar tidak sembarang turun ke bumi bila tidak pada waktunya. Namun, dinding-dinding putih itu akan berubah menjadi gelap dan kadang hitam pekat dengan dibarengi suara gemuruh petir yang berkilatan pada lapisan dinding awan itu, jika tiba waktunya kami harus 'menjalankan tugas'; membasahi bumi. Dulu para manusia memperhitungkan jika turun hujan – ya, itu saya dan teman-teman saya setetes hujan, akan terjadi pada bulan-bulan yang berakhiran Ber-, tapi sekarang pada kenyataannya kami sekumpulan hujan lebih sering turun membasahi bumi pada awal tahun hingga tiga bulan ke depan, dan saat itu tidak ada bulan yang berakhiran Ber-.

Kami, sekumpulan tetesan-tetesan hujan memiliki awan masing-masing, ada awan yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain, untuk menghujani beberapa tempat yang berbeda-beda, sementara awan tempat saya tinggal adalah sejenis awan yang tetap pada satu titik, selalu menghujani tempat yang sama sepanjang tahun dan seterusnya sejak saya terlahir sebagai setetes hujan. Maka, tak heran tempat yang sering saya hujani ini diberi julukan oleh manusia sebagai Kota Hujan. Kami pula tidak mengenal usia, tapi kami tahu kebanyakan dari kami ialah laki-laki, karena kami sering diturunkan saat hujan, bukan gerimis. Sementara tetesan hujan perempuan diturunkan disaat gerimis karena mereka lebih lembut. Ya, begitulah kami.

kami dilahirkan untuk basah, juga membasahi, turun dari kerajaan awan kami, sebagai tetesan hujan, menetesi satu persatu apapun yang ada di bumi, lalu terjatuh dan berubah jadi basah di atas tanah yang lembab, kemudian mengendap dalam tanah sebelum akhirnya mengalir ke laut lalu menguap dan kembali ke tempat kami berasal, yaitu awan. Itulah tugas kami sebagai sekumpulan tetesan-tetesan hujan, tak ada tujuan, tak ada target yang harus dicapai, kecuali terus membasahi. Sampai suatu ketika, ketika saya diturunkan di suatu tempat yang tak biasa, untuk pertama kalinya, saya, setetes hujan, memiliki tujuan.

Dinding-dinding awan tempat saya tinggal sudah berubah menjadi hitam gelap, di dalam sini berkilatan petir yang menyambar dengan suara yang menggelegar. Itu tandanya saya dan teman-teman setetes hujan yang lainnya untuk turun membasahi bumi. Satu persatu kami keluar, untuk terjun selayaknya  manusia-manusia yang mengenakan seragam hitam-hitam keluar dari sebuah pesawat besar untuk terjun payung. Saat giliran saya tiba, saya turun seperti biasa, seperti saat-saat hujan sebelumnya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Pebedaannya bukan disaat saya turun. Tapi disaat saya mendarat. Biasanya saya mendarat dan membasahi benda-benda keras, tapi sekarang saya berhenti pada sebuah kelopak mata manusia.

Perlahan saya turun melewati matanya, lalu bertemu dengan 'air' lain, yang saya tahu itu airmata. Saya terus menelesuri pipinya yang lembut dan halus yang mulai basah oleh teman-teman saya setetes hujan, namun saya tetap menjadi setetes hujan yang menempel di pipinya dan terus turun hingga sampai saya berada di ujung dagunya yang siap untuk jatuh. Saya pun mulai terpikirkan pertanyaan; mengapa wanita ini mengeluarkan airmata? mengapa ia menangis? lalu sebelum mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya itu, saya pun terlepas dari dagunya yang halus dan licin, tapi sebelum akhirnya saya menjadi basah di atas permukan tanah, lengan perempuan ini telah menangkap saya terlebih dulu, matanya yang sayu seolah melihat keberadaan saya yang sudah menjadi basah di tangan lembutnya itu. "Hujan, walau butuh waktu yang lama, terus turun ya, karena aku yakin hanya hujan yang bisa menyembuhkan luka hatiku ini." Ucap perempuan itu. Dan saat itu pula saya jatuh cinta padanya, dan berjanji pada diri saya sendiri untuk tetap turun menghujaninya. Untuk menyembuhkannya.

***

Hahahahaha... Aku tahu kau tak akan percaya pada ceritanya setetes hujan ini. Apa? Ya, ya, aku tahu, aku tahu, pembicaraanku dengan setetes hujan saja sulit dipercaya apa lagi mendengar setetes hujan yang jatuh cinta pada manusia. Tapi, ketika seseorang jatuh cinta apa logika yang berbicara? Tidak, kan? Siapapun yang sudah terjatuh dalam cinta, tak akan bisa ia menghindarinya, tak peduli seberapa kuat ia menyangkalnya, karena seseorang yang sudah jatuh cinta akan tetap jatuh cinta. Nah! Kau setuju kan? Orang yang belum pernah bertemu saja bisa jatuh cinta. Tak peduli seberapa jauh jarak dan usia seseorang, jika ia sudah jatuh cinta, ia tak akan bisa pergi dari lingkaran perasaan itu, meski ia tahu, ia bertahan dalam ketidakpastian. Kau mengerti kan? Ah, jatuh cinta memang melelahkan.

***

Setetes hujan yang jatuh cinta pada manusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang