Bagian (3/3)

54 1 0
                                    

Saya hanya setetes hujan yang turun dari kerajaan awan untuk membasahi bumi, tempat para manusia itu tinggal. Sekumpulan tetesan-tetesan hujan tidak memiliki tujuan kecuali terus membasahi, tapi tidak untuk saya. Saya setetes hujan yang berbeda dengan setetes hujan-setetes hujan yang lain, saya satu-satunya setetes hujan yang memiliki tujuan.

Setelah hari itu, saya tidak pernah turun lagi di atas kelopaknya atau apapun pada manusia perempuan itu. Saya rindu. Saya benar-benar ingin jatuh di kelopaknya lagi seperti sebelumnya. Saya ingin menyembuhkan lukanya. Seperti yang pernah dia ucapkan, walau butuh waktu yang lama hanya hujan yang bisa menyembuhkan lukanya. Dan saya ingin menghujaninya lagi.

Saya memberitahu teman-teman saya setetes hujan, jika mereka bertemu dengan manusia perempuan itu, saya meminta tolong agar mereka terus menghujaninya, saat mereka bertanya apa alasannya, saya menjawab karena saya mencintai manusia perempuan itu dan ingin menyembuhkan lukanya. Namun, mereka semua tertawa mendengar alasan saya yang mencintai manusia, mengganggap saya tetesan hujan yang bodoh karena melakukan sesuatu yang tak masuk akal sebagai tetesan hujan. Tapi, saya tidak peduli, saya tetap bertekad untuk menyembuhkan lukanya, saya tetap berharap hujan kali ini saya kembali turun di pelupuk matanya seperti tempo lalu, bila perlu saya memohon kepada awan tempat saya tinggal untuk mencarinya dan menjatuhkan saya padanya, karena saya mencintai manusia perempuan itu.

Yang ditunggu-tunggupun tiba, seperti biasa, Dinding-dinding awan tempat saya tinggal sudah berubah menjadi hitam gelap, di dalam sini berkilatan petir yang menyambar pada lapisan awan dengan suara yang menggelegar. Itu tandanya saya dan teman-teman setetes hujan yang lain, yang tadi menganggap saya bodoh, untuk turun membasahi bumi.

Ketika saya keluar dari celah awan dan melayang di udara saat jatuh untuk menghujani, saya terus berharap mendarat pada diri manusia perempuan yang saya cintai itu. Dan harapan saya pun terkabul ketika tubuh basah saya terhempas di atas pipinya yang lembut. Namun, tidak seperti terakhir saya mendarat di kelopak matanya yang lalu, kali ini matanya tertutup meski saya tahu ada bekas airmata di situ, juga tak ada senyumnya yang bahagia saat hujan turun. Tubuhnya terbaring tak bergerak saat kami, sekumpulan tetesan-tetesan hujan terus-terusan menghujaninya. Tapi manusia perempuan yang saya cintai ini masih diam.

Seiring manusia-manusia lain mengerubungi tubuhnya yang terbaring tak bergerak, saya pun perlahan mulai turun dari pipinya yang lembut dan licin karena basah. Sejujurnya saya ingin bertahan lebih lama lagi, setidaknya sampai saya tahu apakah ia, manusia perempuan yang saya cintai ini sudah sembuh dari luka hatinya seperti yang sudah disebutkannya dulu ketika saya turun untuk menghujaninya. Namun sampai saya benar-benar akan terlepas dari pipinya, saya masih belum mendapatkan jawaban karena ia masih saja diam. Selain itu, saya bertemu 'air' yang lain, yang keluar dari tubuh manusia perempuan tercinta saya ini, air yang lebih kental dan berwarna seperti warna merah marun, yang saya tahu itu adalah darah.

***

Kau tahu? Setelah menceritakan kisahnya jatuh cinta pada manusia, tetesan hujan itu tak bisa bertahan lebih lama lagi di ujung ranting tersebut, terlebih, hari sudah malam, dan hujan yang lain tak akan turun lagi, juga tak ada tanda-tanda orang yang sedang ditunggunya akan datang, maka ia pun jatuh, lalu hancur menjadi basah di atas permukaan tanah, dan aku tak pernah bertemu dengannya lagi untuk sekedar berbicara dengannya kembali.

Apa? Aku ngawur? Hahaha.. Terserah kau mau percaya atau tidak, yang pasti aku betulan berbicara kepada setetes hujan itu. Namun, yang membuatku penasaran, siapa perempuan beruntung itu yang telah dicintai oleh setetes hujan tersebut dengan sabarnya ia menunggu hanya untuk menghujaninya, agar perempuan itu sembuh dari rasa sakit luka di hatinya.

Hah? ah ya, kita sudah mau sampai.

***

Sepanjang perjalanan, Dani tak henti-hentinya berceloteh tentang pertemuannya dengan setetes hujan, ia bercerita bagaimana pembicaraannya dengan setetes hujan yang jatuh cinta pada manusia. Sejujurnya aku tak percaya dengan itu, sebuah cerita konyol. Namun, karena aku tahu ia menyukai hujan sejak sepuluh tahun lalu, sejak kakak perempuannya menceritakan bunyi merdu hujan, ia pun mulai menyukai hujan. Aku pun tak mungkin mengacuhkan ceritanya walau itu tak masuk akal, setidaknya aku menjadi pendengar yang baik. Ya, dia benar-benar mirip dengan kakak perempuannya.

Pertemananku dengan kakak perempuannya Dani sudah terjalin bertahun-tahun, bahkan sebelum aku belajar menulis, membaca dan menghitung. Ke dua orang tua ku kenalan baik dengan keluarga mereka. Aku dan kakak perempuannya Dani sejak dari dulu seperti sebuah bayangan satu sama lain, kamana-mana bersama, selama 12 tahun selalu sekolah dan di kelas yang sama, begitupun saat kuliah bahkan sudah bekerja selalu di tempat yang sama sampai akhirnya ia pergi.

Hari ini aku dan Dani mengunjungi makam kakak perempuannya itu yang meninggal beberapa waktu lalu, ada perasaan sedih sekaligus penyesalan saat melihat cetakan nama yang tertulis di atas pusaranya: Diandra Gunadi.

Jika saja hari itu aku tak mebiarkan ia pergi sendiri keluar, mungkin peristiwa tabrak lari tersebut tak akan terjadi, meski aku tahu hari itu hatinya sedang tidak baik karena orang yang telah ditunangkan dengannya telah berhianat, namun ia tetap tak ingin aku menemaninya sampai peristiwa itu terjadi.

Dani berdiri di depan pusara kakaknya itu memandang dalam nama yang tercetak tersebut. Aku merangkul pundak Dani yang terlihat berusaha tegar itu. Aku tahu betul siapa Dani, meski ia tak menunjukan kesedihannya karena kepergian sang kakak tapi dalam hatinya ia benar-benar kehilangan. Aku paham betul bagaimana rasanya menjadi Dani. Menjadi orang yang melepasakan orang yang dicintainya. Karena aku pun merasakannya, juga pernah melakukannya. Melepas Diandra kepada Adira.

Aku mencintai Diandra, bertahun-tahun menyimpan perasaan ini sendiri tanpa Diandra tahu, sampai akhirnya Diandra memilih Adira sebagai kekasihnya. Aku sempat ragu. Kebersamaanku dengan Diandra selama bertahun-tahun membuatku takut tak terbiasa tanpa Diandra, karena setiap hari, selalu perempuan itu yang paling sering aku temui, Seorang sahabat yang selalu ada waktu untuk sekedar minum teh di pagi hari, seorang sahabat debat saat membicarakan yang sebetulnya tak perlu didebatkan, seorang sahabat yang selalu ada di sisiku disaat aku tertimpa masalah, dalam hati kecilku, aku takut kehilangan sosok sahabatku itu. Sekaligus orang yang aku cintai. Namun, perasaan itu tak hilang begitu saja, masih tersimpan rapi dalam hati ini sampai Adira menghianati Diandra. Dan perasaan ini makin kuat kembali.

Gerimis mulai turun dan perlahan hujan mulai membasahi seperti lajimnya cerita setetes hujan yang dikisahkan Dani. Namun, aku mau pun Dani tak beranjak pergi dari pusara Diandra, tak juga membuka payung untuk melindungi kami dari terpaan hujan, karena kami berdua tahu, Diandra menyukai Hujan. Saat tahu Diandra tak lagi bersama Adira, aku pun berniat menguatkan diri untuk menyatakan perasaanku padanya, tapi sebelum itu terjadi Tuhan telah memanggilnya pulang terlebih dulu.

Jika saja Diandra dilahirkan kembali sebagai hujan, seperti ia menyukai hujan. Aku pun akan perlahan menyukai hujan seperti aku mencintainya selama bertahun-tahun. Namun, jika harus memilih dari awal, aku ingin dilahirkan sebagai setetes hujan, agar aku bisa terus mencintainya tanpa harus mengucapkan sepatah katapun. Agar aku terus bisa membahagiakannya dengan aku sebagai setetes hujan.

FIN.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setetes hujan yang jatuh cinta pada manusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang