( a oneshot by peachysx )
Ada beribu alasan mengapa kita dapat dipertemukan di bumi bagian selatan ini. Namun, ada beribu alasan pula kita dapat dipisahkan karena cerita kita terlalu rumit. Nyatanya, ada batas tak kasat mata yang membentang, juga waktu yang terus berjalan tanpa membiarkan kita berhenti sejenak.
Hingga kala itu. Kaki telanjangku menapak lantai dingin apartment. Semilir angin dari air conditioner kian membelai leherku.
Mataku tertutup kaku, merasakan deru napasku sendiri. Membiarkan ketenanganku diusik para pengendara yang masih berlalu lalang di bawah sana. Menandakan kehidupan malam hari di kota besar ini.
Kepalaku menoleh, kudengar decitan pintu yang terbuka. Seseorang itu berdiri di sana dengan dua gelas mug di tangannya. Sepatu pantopelnya kini sudah raib, menyisakan kaus kaki putih.
Begitu pula denganku yang masih mengenakan dress merah tua ditutupi crewneck hitam dengan necklace berbandul halilintar–miliknya–yang tergantung di leherku.
“Hei,” sapanya tiap kali bertemu denganku, senyum manis kembali terpatri di wajahnya. Tak ingat, entah sejak kapan senyum itu dan dirinya menjadi candu untukku.
Ia melangkahkan kakinya berjalan mendekatiku. Menaruh satu buah mug diatas piano putih miliknya dan menyodorkanku sebuah mug lagi berisi cokelat panas dengan marshmallow di dalamnya.
“Terima kasih.”
“You’re very welcome.”
Ia tersenyum lembut setelah itu mendudukan dirinya di atas kursi piano, meletakkan jari-jarinya di atas tuts hitam putih. Jemarinya mulai menari-nari menekan tuts piano dengan lihai. Memamerkan keahliannya di atas alat musik kesayangannya.
Begitu pula aku yang terduduk di atas jendela apartmen, larut dalam buaian nada minor kesukaanku. Menarikku seakan ikut masuk ke dalam sana. Membiarkanku menikmati setiap detik deru napas yang berembus dari bibirnya.
Senyumku mengembang, membayangkan ia yang tiap malam selalu menemaniku melantunkan piano sonata. Membiarkanku melupakan batas-batas jarak. Hingga akhirnya ia menyelesaikan permainannya.
Permainan hebat yang selalu membuatnya bersinar di sana.
“What do you think?”
“Perfect.”
“No, you are.”
Wajahku memanas lalu menutupinya dengan secangkir hot chocolate yang kupegang. Ia tertawa mengingat kebiasaan wajahku yang selalu memerah setelah digodanya.
Mengambil langkah kecil untuk mendekatiku, ia kemudian mendudukan dirinya tepat di sisi kanan. Tangannya terulur meraih bandul halilintarnya sambil tersenyum menampakkan gigi-gigi putih.
He’s perfect. Just that. And I love him so much, but–
Sesuai dugaanku dia menyusuri kalung itu hingga menemukan pengaitnya di belakang leherku. Kemudian melepasnya dan ditaruhnya di saku blazer kuning miliknya.
“Hm?” gumamku bingung. Ia tertawa kecil menanggapiku, menarikku agar lebih dekat dengannya lalu menatap mataku tanpa lepas.
“Ingat sesuatu?”
Dahiku berkerut bingung, entah apa yang ia ingin bicarakan tidak begitu masuk di otakku saat ini.
“Tidak, aku merasa tidak melupakan apapun.”
YOU ARE READING
Why Don't We Problems [ANTALOGI ONESHOT]
Fanfiction: ̗̀➛ 𝙳𝚘𝚗'𝚝 𝚖𝚊𝚝𝚝𝚎𝚛 𝚠𝚑𝚊𝚝 𝚢𝚘𝚞 𝚍𝚘. 𝙳𝚘𝚗'𝚝 𝚖𝚊𝚝𝚝𝚎𝚛 𝚠𝚑𝚊𝚝 𝚢𝚘𝚞 𝚜𝚊𝚢. 𝙸'𝚖 𝚕𝚢𝚒𝚗' 𝚑𝚎𝚛𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚢𝚘𝚞, 𝚊𝚗𝚍 𝚋𝚊𝚋𝚢, 𝙸 𝚌𝚊𝚗'𝚝 𝚜𝚝𝚊𝚢. 𝚈𝚘𝚞 𝚜𝚊𝚢 𝚢𝚘𝚞'𝚛𝚎 𝚍𝚘𝚗𝚎 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚖𝚎. 𝙸...