Mau Meninggal

159 15 0
                                    

Originally published on January 8, 2021


.


Hampir tengah malam sewaktu aku mengirim tulisan pertamaku lewat ponsel. Baterai ponselku mau sekarat dan aku cuma mendesah sambil menjejalkannya ke saku. Ada Seven Eleven di seberang. Aku bisa numpang mengisi baterai, tapi apa aku benar-benar perlu mengisinya? Malam ini dingin. Sedingin malam-malam sebelumnya, kata Google. Tapi aku merasa ini salah satu malam buruk.

Sejak subuh aku berkeliaran di luar. Berjalan jauh berputar-putar dari blok ke blok dan menemukan berbagai toko yang tidak pernah aku ketahui ternyata ada dan sebagian sudah buka di sepagi ini, tapi tak satu pun di antara mereka menjual makanan yang bisa aku makan. Sewaktu pertama kali datang ke Jepang, aku tidak pernah sengaja berkeliling jauh. Biasanya aku mudah capek kalau berjalan, karena tak pernah biasa berjalan jauh. Tapi rupanya hati yang bermasalah meniadakan rasa lelah, dan tahu-tahu aku sudah sampai di stasiun Tsunashimanishi Chome cuma buat naik kereta ke stasiun Tsunashima, yang mana tadi aku sudah berjalan melewatinya. Tsunashimanishi itu daerah yang kecil. Ini cuma perjalanan bolak-balik tanpa arti. Memang.

Sekarang, tahu-tahu aku sudah pindah ke kota lain dalam satu waktu.

***


"Kalau udah meninggal, gak akan bisa lagi. Jadi lakukan saja."



***

"Apa kamu pernah menulis sesuatu selain yang kelam? Yang bikin hati hangat?"

Aku diam lama. Kalau diingat-ingat...

"Belum pernah, ya?" katanya. Pendar cahaya laptop memantul di iris coklat matanya, mengingatkanku pada malam-malam diburu jam tayang. Sewaktu dia masih suka berperang dalam tulisannya dan aku menggebu-gebu menyorakinya. Sekarang dia cuma membaca tulisan usangku, dan aku membuang segala bara api yang tersisa. Tapi ya... buat apa pula mempertahankan passion. Sebagian passion cuma menggerogoti hidup.

Tampaknya Gun sedang membaca tulisanku yang kutulis tahun 2011 dimana aku dirawat gara-gara tukak lambung tapi katanya malah "cuma" psikosomatis, atau mungkin dia membaca sisa-sisa tulisannya sendiri yang aku lengkapi ya? Ah, yang manapun, rasanya aneh dia setertarik itu sampai tak menoleh untuk sekadar menyapa kedatanganku sepulang kerja. Itu cuma tulisan lama yang tidak bernilai jual.

"Kalau kamu punya waktu buat baca..." ketika mau melanjutkan kalimat, tiba-tiba aku merasa bingung harus memilih kata apa untuk menyebut hal yang aku maksud. Kalau dibilang "tulisan" atau "karya", rasanya isi arsip di laptopku tidak seindah kedengarannya. Maksudku, semua tulisanku cuma muntahan perasaan terpendam.

"...yang usang dan kelam itu," akhirnya aku melanjutkan, "kenapa kamu gak jalan-jalan ke luar dan beli makan untuk kita?"

Dari jam satu siang aku bekerja sampai jam lima sore. Dia sendirian di sini. Pasti karena bosan menunggu, apalagi Gun tipe yang tidak suka diam sendirian, dia sampai sanggup membaca tulisan yang enggan disantap publik.

Aku langsung melengos ke dekat rak mantel. Rak yang kubeli karena teringat Gun suka mendekor ruangan. Sebenarnya rak itu cuma bikin ruangan tambah sempit, dan harganya juga lumayan. Tapi berhubung aku berencana meninggal dalam waktu dekat, aku beli saja. Kalau sudah meninggal, tidak akan bisa beli.

Down in the MouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang