Cinta itu tidak bisa di paksakan itu yang seringkali aku sesalkan. Bagaimana pun semuanya soal perasaan. Mau dibilang baperan memang iya. Mau menolak bagaimana? Itu nyatanya.
Aku bukan pemikir yang mendalam apalagi sampai paham. Bagiku memahami sesuatu adalah sebuah kelemahan. Terkadang aku masa bodoh dengan apa yang ingin ku pahami tapi aku juga akan berusaha menahan rasa tidak sabaran dalam diriku untuk mencoba memahami.
Karena meskipun hidup itu sebenarnya simple tapi perjalanan itu punya banyak lampu merah dan halangan lainnya. Menghambat bahkan bisa jadi membuatku ingin berhenti saja di tengah jalan.
Dan permasalahan yang mungkin sulit aku tinggalkan adalah masalah perasaan. 19 tahun aku menghindar untuk membuat jalanku sendiri aman. Nyatanya kini aku kesulitan.
Pertama kalinya aku mengizinkan si perasaan memperbolehkan siapa saja bertamu padanya. Dan justru cintalah yang jadi daftar paling atasnya. Miris sekali. Manusia dengan tingkat tolol di atas rata-rata soal cinta harus menerima kenyataan bahwa dirinya adalah tuan rumah paling miris sepanjang sejarah hidupnya sendiri.
Aku sungguh kesal. Kenapa perhatianku seolah sia-sia kepada orang yang membuat si cinta datang padaku begitu saja.
Mungkin bukan sia-sia tepatnya tapi memang bukan takdirku untuk berada di suatu ruang rasa yang sama dengannya. Inilah salah satu cara mempersulit hidup. Tetaplah kagumi apa yang ingin kamu cintai meskipun kamu hanyalah sejumput debu. Setidaknya dia tahu kamu pernah ada. Walau akhirnya terusir juga karena debu bukanlah sahabat dekat seonggok permata.
Ayang namanya. Iya benar, tidak ada kesalahan di sini. Mahasiswa semester 3 seni musik. Aku tidak tahu apa hebatnya seorang peseni yang berada pada aliran musik. Yang ku tahu dia cukup mengagumkan ketika peluh meluncur dari pangkal rambut di dahinya ketika bermain bola orange dan men-dribblenya.
Ayang itu pendek sekali. Saat bersama kawannya. Tapi jujur kepalanya seperti akan mencapai langit jika memungkinkan dia berada di sampingku.
Nah, anganku mulai berkelana. Entah sejak kapan rasa kagum mengagumi yang berujung keputusan menganggap rasa cinta ini hadir dalam lubukku. Hanya karena sekali aku bertemu pandang dengannya ketika membeli pasta gigi di alfamidi. Tiba-tiba aku menjadi bergetar sendiri.
Aku anggap itu bukan sebuah hal sepele. Ayang yang notabenenya anak basket populer dan terkenal sebagai keturunan ningrat bisa menegur dan mengenaliku begitu saja. Aku bahkan terkejut ketika dia memberiku uangnya karena kebodohanku lupa membawa uang.
(biar ku jelaskan waktu itu ku terburu ingin segera mandi, karena pasta gigiku habis buru-buru aku keluar kost membawa dompet yang ternyata tidak ada isinya sama sekali. Bahkan ATM ku sendiri masih berada di dalam tas kecil yang selalu ku bawa.)
"lo sekampus sama gue kan? "
Tanyanya saat itu ketika keluar dari alfa. Aku hanya mengangguk canggung. Mau bicara bagaimana? Aku mau melakukan apa saja bingung. Padahal jika di pikirkan mudah saja. Tinggal bilang terimakasih dan pergi aku bisa mengganti uangnya lain kali. Tapi tidak. Aku justru ikut berhenti di depan toko itu.Ikut berjalan pergi ketika dia juga melangkahkan kakinya meninggalkan toko. Berakhir kami pulang bersama dan membekaskan rasa aneh dalam diriku.
.
.
.
.Pagi-pagi sekali aku sudah berada di kampus. Memang seperti biasanya. Tidak ada yang spesial dari masuk pagi. Hanya kebiasaan.
Meski aku sedang jatuh cinta. Aku tidak seheboh drama novel yang sampai membuat surat cinta dan lain sebagainya. Cukup bagiku untuk memperhatikan setiap geraknya dari jauh. Bagiku ini lebih mendebarkan dari sekedar memberikan kado sebagai pengagum rahasia.
Kami berada dalam lingkup yang sama. Tapi kemungkinan bagiku bisa bertemu dengannya untuk yang ke dua kali hanyalah 0,1% dari 75%. Yah kemungkinan lain aku pikirkan akan bisa terjadi jika takdir sendiri berjalan untukku.
Perjalananku menyusuri kampus berujung pada barisan loker di sebuah koridor yang masih sepi. Membuka loker nomor 127 yang angka 7 nya aku tidak tahu siapa yang menambahkannya karena angka ini hanya berupa coretan tinta bulpoin warna biru.
Tatapanku tertuju pada sebuah amplop berisi uang. Benda itu masih ku simpan sejak 1 bulan yang lalu. Belum sempat meberikannya pada orang tujuan. Bukan belum sempat, hanya saja aku ragu apakah dia benar-benar tahu aku atau hanya sekedar menebak malam itu dan kebetulan benar. Tidak ada yang tahu.
Tanganku terulur mengambil buku jurnalku sendiri yang bersampul kulit dan kertas di dalamnya sudah sedikit menguning. Selesai dengan urusan jurnal kututup kembali lokerku dan pergi dari sana menuju kelas.
Aku sedikit tertutup dan pendiam. Tak punya banyak interaksi dengan orang-orang di kampus. Jadi tidak heran kalau aku suka dengan perjalananku yang to the point. Lain hal dengan perasaanku.
....
Semua itu berawal dari sebuah perhatian...
Ayang ayanggkuuu.....7121
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
A POEM
FanfictionAku menciptakan puisi dan menikmatinya karena aku mau. Seperti aku menciptakan bahagiaku sendiri karena aku mau menikmati perasaan ini dengan senang hati. #nodesc