"Tha..jangan lupa ya, sore ini di The Plaza, langsung ke Altitude aja, Pak Ben akan datang pukul 7, jangan sampai kamu telat. Ini client besar Tha"
Mbak Sisil kembali mengingatkan Desitha tentang meeting penting yang harus dihadirinya sore ini. "Baik Mbak" jawabnya pendek, sembari memeriksa ulang file-file yang akan dibawa nya. Sudah pukul 5, sebaiknya dia langsung berangkat, karena tak akan ada waktu lagi untuk pulang sekedar mandi. Desitha, yang biasa dipanggil Thata oleh rekan-rekan kerjanya beranjak setelah sebelumnya melihat wajahnya di layar ponsel. "Hmm, masih aman. Belum lecek-lecek amat" bisiknya. Disusurinya koridor kantor dengan cepat, dia memilih untuk naik busway saja, karena memilih taksi akan membuatnya terlambat. Thata sudah bisa membayangkan betapa macetnya jalanan Jakarta pada jam seperti ini.
"Sayang, kamu jadi meeting" tiba-tiba notifikasi pesan berbunyi dari ponselnya. Hmm, Max. Pria yang telah setahun ini mengisi hidupnya. Menemaninya, mendukungnya, mendengar cerita-ceritanya, setelah sayapnya patah berkeping-keping oleh seorang Rangga. Fiuuhhhh...Thata menghela nafas, berat sekali. Dia teringat lagi, teringat akan sosok Rangga. Sosok yang dulu ada di hidupnya. Sosok yang selalu ada di hari-harinya. Sosok yang menjadi alasan dia tertawa juga menangis. Sosok yang dulu dia cintai. Dulu? Bahkan Thata pun tak yakin apakah cinta itu hanya ada di waktu dulu. Karena Rangga dalam hatinya memiliki posisi yang tak terganti.
Tak terganti.
'Ingin memutar waktu
Ingin mengulang lagi
Aku tak bisa berpaling lagi
Begitu juga aku
Jauh di relung hati
Sungguh tak mampu tuk berpindah cinta""Aaaahh lagu itu lagi. Kenapa sih kemanapun aku pergi lagu itu selalu menghantui" rutuk Thata kesal. Sementara lantunan lagu Rindu dalam hati milik Jodie dan Arsy seolah-olah semakin kuat mengingatkannya tentang Rangga. Apa hanya aku yang merindu? Apa Rangga benar-benar telah bahagia dengan pilihannya sekarang?" bisik hatinya sedih. Otaknya penuh dengan bayangan tentang Rangga, hingga tanpa sadar, kakinya telah menginjak the Plaza dan sebentar lagi Altitude, tempat dia harus jumpa dengan klien baru perusahaan tempatnya bekerja. "Okay Thata, fokus! No more Rangga in your head. Get him out of your mind Thata, please!" perintahnya pada diri sendiri. Matanya melirik ke arah ponsel. Alhamdulillah masih pukul 6.45. Masih ada waktu untuk berbenah diri, mungkin memoles sedikit bedak dan lipstik, atau menyemprot parfum. Sembari terus berusaha membuang bayangan Rangga dari kepalanya.
"Selamat Malam Pak, perkenalkan saya Desitha, wakil dari Starla Plansearch. Saya yang diminta Ibu Sisil untuk menjelaskan konsep marketing untuk perusahaan Bapak" Thata memperkenalkan dirinya dengan sopan kepada pria di depannya. Pak Ben, pemilik salah satu perusahaan berskala Internasional di Indonesia, bahkan mungkin terbesar di Jakarta. Pak Ben tidak terlalu tua, bahkan tergolong eksekutif muda. Wajahnya terasa tak asing tapi Thata lupa pernah melihat Pak Ben dimana. "Malam Desitha, saya Fabian, tapi kebanyakan hanya memanggil saya Ben. Agar lebih singkat. Malam ini saya tidak sendiri, saya membawa serta adik saya, yang akan menghandle project ini bersama perusahaan kamu. Kebetulan dia sedang menelepon sebentar" jawab Pak Ben ramah. Thata mengangguk sembari terus berusaha mengingat, dia pernah melihat wajah Pak Ben dimana. Tiba-tiba
"Sorry Bi, Nabila telepon. Ada yang ditanyain. Gimana Bi"
Blaarrr..Thata seolah tak percaya dengan pandangannya. Rangga, itu Rangga. Dan tadi Pak Ben menyebutnya adik? Tiba-tiba ingatannya kembali, wajah Pak Ben tak asing karena dulu Rangga pernah menunjukkan foto kakak-kakaknya, dan Pak Ben salah satunya. Ekspresi kaget dan pias juga terlihat di wajah Rangga. Dia tidak pernah menyangka, Cita..ya Cita. Cinta masa lalu yang dulu sangat terpaksa dia tinggalkan tiba-tiba hadir di depannya, dan akan menjadi partnernya. Hatinya mendadak gundah.
"Mungkin saat hatiku masih sayang
Salahku memutus cinta
Dan kini kumenyesal
Rindu hanya di dalam hati"Lagu itu kembali mengalun dalam pikiran Thata, diterimanya uluran tangan Rangga, berusaha profesional dan menghilangkan galau yang tercetak jelas di wajahnya. Aku akan bekerja sama dengannya. Apa bisa? tanya hatinya ragu..
"Kamu lulusan apa Desitha? Sudah lama di Starla?" tanya Rangga. Terlihat sekali Rangga berusaha mencairkan suasana dengan berbasa-basi. Thata sungguh tak ingin melihat wajah Rangga, tapi tak mungkin juga dia menjawab pertanyaan Rangga sambil melihat gelas. Tentu Pak Ben akan curiga. Ditariknya nafas pelan, dicobanya mengangkat wajah, menatap Rangga tepat di manik matanya "Saya lulusan S2 Marketing Management, sudah satu tahun ini bergabung dengan Starla. Semoga kita bisa bekerja sama ya Pak. Mohon bimbingan bila ada yang kurang memuaskan dari saya" jawab Thata tanpa sedikitpun memalingkan pandangan. Rangga yang tidak siap dengan reaksi Thata menundukkan wajah, mengalihkan pandangannya ke arah steak yang terasa nyangkut di tenggorokan, pura-pura sibuk dengan makanan dan hanya berdehem singkat.
"Saya seperti tidak asing dengan wajah kamu Desitha. Tapi entah pernah melihatmu dimana" kali ini Pak Ben yang mengajaknya bicara. Thata hanya tersenyum tipis. Tentu Pak, tentu anda pernah melihat wajah saya. Bahkan pernah mendebatkan posisi saya bersama keluarga besar anda. Kalimat-kalimat itu memenuhi otak, mendesak hatinya, namun tak mungkin diucapkannya. "Muka saya pasaran Pak Ben, mungkin bapak melihat orang yang mirip saya" jawabnya. Pak Ben tertawa kecil, selanjutnya menanyakan hal-hal basic dari marketing plan yang telah dibuat Thata. Dua jam terasa lama sekali untuk Thata.
"Baik Desitha, selanjutnya silakan langsung dengan Rangga. Saya sudah percayakan project ini sama dia" kata Pak Ben sebelum meninggalkan restaurant. Thata hanya tersenyum dan mengangguk. Entah kenapa sejak tadi dia berusaha untuk menatap Rangga sejarang yang ia bisa. Kakinya melangkah keluar Altitude setelah Pak Ben dan Rangga pergi. Hatinya berkecamuk, pikirannya terasa penuh, pun hatinya.
"Cita"
Thata tersentak, panggilan itu? Panggilan yang telah dikuburnya dalam-dalam kembali terdengar di telinganya. Sungguh dia tak ingin menoleh, tapi kepalanya sedang tak ingin menuruti perintah hatinya. Rangga berdiri tepat di belakangnya, membawa wajah teduhnya yang dulu selalu mampu menenangkan.
"Angga" bisiknya pelan.
Rangga berjalan ke arahnya, menatap lurus ke matanya. Tatapan itu masih sedalam dulu. Nyaris dua tahun tidak berjumpa dan berusaha saling melupakan sungguh tidak merubah dalamnya mata Rangga memandangnya. "Aku mau ngobrol, masih boleh?" tanya Rangga lembut. Tanpa memalingkan sedikitpun pandangannya. Sekujur tubuh Thata terasa gemetar dan melemah. Pertahanannya selama ini runtuh. Dia hanya bisa menganggukkan kepala pelan, dan pasrah menerima gandengan tangan Rangga yang erat, membawanya pergi, entah kemana.
"Andaikan aku
Tak tergesa memutuskanmu
Karena egoku hati ini tak akan begini
Setiap ingat dirimu rasanya ingin kembali"
YOU ARE READING
Rindu dalam Hati
RomansaRangga dan Desitha, dua insan yang saling mencinta, namun terhalang restu orang tua kemudian memilih untuk saling melupakan. Tanpa mereka sadari, rasa cinta yang berusaha mereka kubur dalam-dalam dengan tak saling memedulikan itu terus mendesak hati...