Lucy

511 48 19
                                    

Hal pertama yang dilihatnya saat matanya terbuka adalah langit jingga dengan sedikit awan. Suasana damai dan tenang, tanpa angin namun sejuk. Can tengah berada di tengah kapal, dengan laut biru di sekelilingnya.

Can tersenyum.

Tempat ini seperti mimpi. Indah seperti dalam negeri dongeng. Sudah lama Can tidak pergi ke tempat indah seperti ini.

Seseorang berdiri dalam anjungan kapal, mengemudikan kapal menyusuri lautan luas. Can mengenali pria berkemeja putih itu. "Sersan!" panggilnya.

Sang sersan menoleh ke arah Can, senyum kecil menghiasi bibirnya. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, kembali menghadap lautan biru yang membentang jauh hingga ke cakrawala. Can memandang ke arah yang sama, ke arah senja yang tengah mengucapkan selamat tinggal.

"Sebentar lagi malam," gumamnya. "Saya tidak suka malam."

Sersan tersenyum kecil mendengar keluhan Can, alisnya naik sebelah ketika mata mereka beradu. Can menghela napas. "Saya tahu saya nggak perlu takut, ada sersan. Tapi saya tetap nggak suka malam."

Ketika Can kembali menatap horizon, matahari seperti menariknya, membawanya ke dalam lautan jingga tak berbatas. Can terseret semakin dalam, melayang dalam bola jingga raksasa yang berkedut memuakkan. Can ingin keluar, tapi tidak ada pintu yang bisa dibuka, tidak ada ujung dari kedutan jingga besar memuakkan.

Kepalanya pusing, napasnya sesak, degup jantung bertalu-talu menghentak dadanya. Kemudian, semuanya kembali gelap.

...

Can berjalan menyusuri jalan tak berujung yang diapit taman Bunga yang indah. Bukan, ini bukan taman bunga sembarangan, ini adalah taman bunga raksasa, dimana bunga beraneka warna tumbuh besar melampaui kepala orang dewasa.

Warna warni yang terang menyilaukan mata, namun Can menikmati segalanya, seakan matanya tidak sakit melihat warna kuning dan merah terang berdampingan di bawah mentari yang terik.

Sersan berjalan di sebelahnya, dengan langkah teratur yang menyamai langkah Can. "Kita mau kemana?" tanya Can.

Sersan menunjuk ke depan, ke jalan tak berujung.

"Ada apa di sana?"

Pria berkemeja putih itu mengedikkan bahu, kemudian tersenyum jahil menatap Can. Can terkesiap, tangan menutup mulutnya ketika menatap sersan. "Sersan, mata kamu.."

Sersan menelengkan kepala, dahi berkerut seolah mempertanyakan reaksi Can.

"Mata kamu kuning, kaya matahari."

Sersan tertawa tanpa suara, lalu mengetuk pangkal hidung Can. Can berkedip bingung, "mata saya juga?" Pria itu mengangguk sebagai jawaban.

Mereka kembali berjalan, namun kali ini mereka tidak sendiri di tengah taman bunga raksasa. Ada banyak pria dan wanita tengah berteduh di bawah bunga raksasa, melambai ramah ke arah mereka.

"Orang-orang di sini baik sekali, padahal mereka nggak kenal kita." Ucap Can sambil balik melambai ke arah mereka.

Tak lama, mereka melewati sungai dengan air terjun berwarna merah muda. Ada jembatan besar membentang menghubungkan tepian sungai. Saat melewati jembatan, Can melihat beberapa ekor unicorn tengah memakan rumput biru di pinggir sungai. Putri duyung dengan rambut sewarna emas dan mata seterang rembulan tengah mandi sambil tertawa ke arah mereka.

"Halo," Can menyapa gerombolan putri duyung itu. Mereka tertawa semakin keras mendengar Can, tanpa balik menyapa.

"Apa airnya dingin?" tanya Can, masih berusaha mengobrol dengan putri-putri itu. Namun jawaban mereka kembali tawa.

How to Win a LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang