ANGEL#3

25 3 1
                                    

Setelah aku memastikan bahwa diri ku benar benar kembali waras, aku pun melanjutkan perjalanan. Mengingat matahari sudah mulai terlihat jingga dan lelah pun sudah tak terasa.

Tak ada yang menarik selama perjalanan. Hanya terlihat beberapa orang yang merasa iba melihat ku harus jalan sejauh itu. Namun mereka tak bisa berbuat apa apa karena diperdaya dengan pekerjaan yang tak ada habisnya.

"Kak! Pulangnya kok lama banget sih!" seperti hari hari sebelumnya lagi lagi aku disambut oleh celotehan Sindy.

Dan aku hanya membalasnya dengan menghembuskan nafas panjang. Pertanda bahwa aku sedang lelah dan tak ingin mendengar celotehanya kali ini.

"Eh ditanya malah diem aja. Kalo pulang telat kan bisa telpon, kakak kan punya hp. Kakak gak aneh aneh kan? Gak kumpul sama preman preman kan? Atau kakak di palak preman tadi? Kak! Ditanyain juga." Celotehanya laksana derasnya aliran nil yang tak berujung.

"Gak kok. Tadi cuman ketemu temen lama, dan pulsa kakak habis." Jawabku singkat yang tak ingin membuang terlalu banyak energi.

"Temen Kakak yang mana? Cewe apa cowo? Kakak sih, 2021 kok masih pake pulsa. Sekarang semua orang tuh pakenya watsapp, terus belinya kuota. Lah kakak hp nya aja Nokia 3310 yang rilisnya 21 tahun lalu. Beli hp baru aja kak, ntar biar Sindy yang bujuk ibu." Kali ini dia mengoceh seperti pemilik konter hp yang membujuk pelangganya.

"Gak usah, ibu belum ada uang." aku menjawab celotehanya sambil melepas dasi dan kemeja putih kemudian melemparnya ke sofa.

"Tapi kak Tomo aja hp nya ganti ganti terus, masa kakak Gak mau ganti hp. Oh atau kakak pake hp sindy aja kak."

"Gak usah Sindyyy, kakak pake ini aja udah cukup." Kali ini aku berjalan ke kamar dan sibuk mencari kaos hitam polos untuk ku pakai keluar Rumah.

"Pentesan kakak gak dapet dapet pacar, kakak jadul banget sih gak gaul." Dia mengkritikku dengan berteriak agar aku yang sedang berada di kamar mendengarnya.

"Kamu liat kaos hitam kakak gak sin?" Aku yang sudah menyerah mencari kemudian berjalan keluar kamar untuk bertanya pada Sindy.

"Di jemuran tuh, semalem kan kakak sendiri yang cuci."

"Oh iya, makasih ya."

"Kak! Pertanyaan ku belum di jawab temen kakak cewe apa cowo?" Lagi lagi dengan berteriak dia bertanya padaku yang berada di halaman belakang rumah.

"Cewe." Aku menjawabnya sambil berjalan masuk kedalam rumah.

"Yeay bakal ada kakak ipar nih. Kakak pake kaos hitam mau kemana kak? Mau ketemu gebetan yak? Lagian kenapa sih setiap keluar rumah kakak harus pake kaos hitam gitu? Gak gaul tahu kak."

"Mau beli pulsa." Aku langsung keluar rumah.

"Kok cuman satu yang di jawab kak! Celananya ganti juga dong kak! Ini seragam putihnya di beresin kak! Kakaaak!"

Tanpa mempedulikan Sindy aku langsung beranjak pergi dari rumah.

Konter dan rumah ku tak terlalu jauh jaraknya hanya terpisah oleh beberapa rumah saja. Namun dalam perjalanan yang sangat dekat dan singkat itu aku berpapasan dengan bidadari. Entah dari mana datangnya wanita cantik itu. Selama 15 tahun aku hidup di desa ini belum pernah aku melihatnya. Bahkan kecantikanya membuat beberapa pemuda desa kehilangan fokus, termasuk diriku. Hampir saja aku salah melangkah dan berakhir di selokan dibuatnya. Untung saja di desa ini masih memiliki norma asusila. Jika tidak entah sudah berapa perjaka yang akan menggodanya. Tapi pada akhirnya dia hanya laksana pelangi ataupun senja, yang begitu indah namun sesaat. Tak mungkin aku bisa bertegur sapa denganya bahkan walaupun dia hanya tinggal beberapa rumah dari tempat tinggal ku.

SHADOW BROTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang