5384 detik telah berlalu. Entah sudah berapa kata yang di ucapkan orang orang itu. Yang pasti tak ada hal yang menarik untuk di dengar dari mereka. Aku hanya menatap langit biru melalui jendela, tanpa peduli celotehan tak berisi orang orang osis.
Beberapa murid baru di paksa menjadi hiburan kelas, dan menjadi bahan tawaan. Dengan hal hal konyol seperti saling melempar gombal, atau bernyanyi dengan satu huruf vokal. Membuat penjuru kelas di isi dengan tawa mengerikan dari mereka yang tak memiliki rasa empati. Bagiku kegiatan tak berbobot seperti itu hanya menyianyiakan waktu berhargaku di sekolah.
Kupikir karena ucapan Tomo tadi, takkan ada anggota osis yang berani mengusikku. Namun, justru Tomo sendiri lah yang berinisiatif untuk mempermalukan ku di depan kelas. Dimulai dengan menceritakan seluruh aib ku, kemudian mulai mengarah menuju kekurangan ku, dan pecah dengan hinaan dan perbandingan fisik antara aku dan Tomo. Seluruh kelas tertawa tanpa berpikir apakah aku tak apa di tertawakan seperti itu.
Tepat 805 detik setelahnya dering bell berbunyi, pertanda waktunya mengistirahatkan pikiran. Aku berniat untuk berdiam diri di kelas selama 15 menit waktu istirahat. Karena jujur saja setelah statement yang di ucapkan Tomo, tak ada yang berminat untuk mengajakku ke kantin bersama. Namun, rasa lapar dan dahaga berkata lain. Mereka memaksaku untuk menghancurkan ego dan berjalan seorang diri ke kantin. Sangat tidak nyaman rasanya di saat semua orang berjalan ke kantin secara berkelompok, dan hanya aku satu satunya orang yang berjalan secara individu. Sudah bertahun lamanya aku merasakan perasaan ini, perasaan terasingkan.
Setelah membeli roti aku sesegera mungkin kembali ke kelas. Karena ku tak tahan dengan aroma kemunafikan yang tercium kuat di kantin. Memandangi mereka yang berusaha terlihat baik dengan menjadi orang lain. Agar dapat bertahan di dalam kehidupan sosial yang penuh kepalsuan. Itulah mengapa aku membenci kehidupan sosial. Mereka berlomba mati matian menjadi yang terbaik hanya untuk orang lain. Untuk mebuat orang lain senang, untuk membuat orang lain iri, untuk membuat orang lain mengakuinya, untuk membuat orang lain sedih, untuk membuat orang lain menyesal, dan berbagai motif lainya namun dengan satu tujuan yaitu demi orang lain. Tidak kah mereka berpikir bahwa kebahagiaan diri mereka sendiri itu adalah yang utama.
Kali ini aku benar benar pasrah. Tak ada lagi alasan untuk mengeluh. cukup jalani saja apa yang ada. Hanya itu yang terpikir oleh ku saat ini. Sambil memakan roti yang ku beli dari kantin, aku lagi lagi menatap langit dari jendela kelas. Biru dan luas membuat ku merasa bebas, walaupun kenyataanya aku terkekang di dalam kelas.
Menarik nafas kemudian menghembuskanya, merupakan usaha paling efektif untuk menenangkan diri yang dapat ku lakukan saat ini. Tanpa ku sadari waktu pun terus bejalan, dan kemudian kelas diakhiri dengan kembalinya aku ke kehidupan mononton penuh sepi di balik bayangan seorang Tomo.
Ultraviolet yang menyerang dan membabi buta ke punjuru arah, berkolaborasi dengan aspal mewah. Menciptakan neraka kecil bagi sol sepatuku yang sepertinya sudah merengek kepanasan sedari tadi. Sepertinya tuan cuaca pun tak ingin bersahabat dengan ku hari ini.
Hal itu membuat ku memutar otak dan memutuskan untuk mengambil jalur lain dari jalan biasanya. memang jarak tempuh akan menjadi sedikit lebih jauh tapi setidaknya aku terbebas dari panas dan asap kendaraan bermotor yang mengganggu kesehatan, kenyaman, sekaligus ketampanan ku. Walau jika di pikir kembali wajahku tak begitu tampan.
Aku mengambil jalan yang sudah tak pernah di lewati lagi. Bahkan jalan yang dulunya berupa setapak kini sudah di tumbuhi rumput liar. Tapi tak apa lagi pula aku sangat hafal dengan jalan ini, karena disinilah tempat iwan kecil bermain. Jalan yang melewati taman milik keluarga Handoyo, keluarga paling kaya di desa. Tapi itu dulu, sebelum mereka pindah entah kemana. Di taman itu aku sering bermain, sungguh masa masa kejayaan ku di mana aku masih memiliki teman saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHADOW BROTHER
Mystery / ThrillerKetika kata di rajam frasa, kalimat pun tak mampu menggugat. Detik detik senyap seraya berjalan. Menjadi penentu perang dingin yang tak berujung. Iwan yang menjadi sasaran pelampiasan sang kakak menjadi terdiam. Meratapi kekalahan yang tak ada habis...