[ iii. ] Yasa dan Putri, 2O21

244 108 29
                                    


—❛ tiga tahun berlalu, sejak kala itu, sejak kata usai mengudara, sejak alam raya menahu bahwa dua pasang manusia miliknya, tak lagi berada pada jalan yang sama.


🌗













"Putri, ganjil sekali kamu tidak membeli ini." pemuda itu datang menghampiri seorang gadis yang sedang duduk termenung di kursi halte. Putri sedang melakukan ritual mingguannya. berdiri sembari menatap gerbong-gerbong kereta yang berjalan cepat.

Putri menoleh, mendapati Yasa yang masih memakai seragam kerjanya. Yasa menyodorkan sekaleng minuman dingin—cokelat. Putri tersenyum tipis menerimanya. "aku sedang berbunga-bunga, Yas. hehehehe."

"aku tau." Yasa membalas, sembari menatap angkasa. sebuah sore terik.

"eh? tau dari mana?"

"kamu menelpon 'pacarmu' tadi. supermarket itu bukan family mart sampai aku tidak bisa dengar, Put." Yasa terkekeh di ujung, ganti menatap Putri. "pacarmu? boleh aku tau?"

Putri kikuk bukan main. "eh?"

Yasa jadi gemas. sang pemuda tak lagi menatap Putri. permen sugus yang ia selipkan membawa pengaruh banyak untuk percakapan perdananya. setidaknya, Putri bisa berpura-pura mengunyah permen tersebut kala bingung mau meladeni bagaimana.

"sudah tiga tahun kau tatap gerbong-gerbong kereta ini. apa tidak bosan? aku yang memperhatikan dari balik meja kasir saja bosan." Yasa berujar.

"dan tiga tahun pula aku selalu bertemu kasir yang sama. seminggu sekali. sebulan empat kali. setahun empat puluh delapan kali." Putri menyahut, meletakkan novel roman terbitan pertama. dia turut serta dalam obrolan yang dibawa Yasa.

Yasa menoleh, tersenyum singkat. "itu berarti sudah empat puluh delapan dikali tiga. berapa ya?"

jeda sejenak, tampak Yasa sedang berpura-pura memainkan jarinya. "seratus empat puluh empat?"

Putri tertawa.

"sering juga kita bertemu, setelah kejadian tiga tahun yang lalu. sudah berapa buku roman yang kamu habiskan?" Yasa menunjuk buku yang bersampul plastik. "mungkin seribu? kamu cepat sekali membaca. seminggu saja sudah ganti bacaan."

"kamu selalu pemerhati yang baik, tidak pernah berubah rupanya." Putri mengangguk-ngangguk. "seharusnya kamu bisa kerja di intelejen negara. kenapa malah jadi kasir supermarket?"

giliran Yasa yang tertawa. "aku ini pedagang tau!"

"oh ya?"

"serius! setiap pagi harus bangun cepat-cepat."

"jangan bilang—"

"Pasar Raya Padang. bagaimana? mau aku ajak naik si jingga lagi kapan-kapan? kedengarannya seru tidak?"

Putri terkekeh sebentar, mengangguk. "boleh memangnya?"

"loh, kenapa tidak?"

Putri puas tertawa. kembali meneguk minumannya, menatap kereta (lagi). Yasa juga sama.

waktu tersisa. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang