Bintang Altalarik.
Laki-laki dengan sejuta luka, yang ia balut dengan tawa. Membuat hidupnya tampak penuh warna. Namun, nyatanya kehidupan Bintang tak semanis yang dipikirkan oleh orang-orang di luar sana. Tak nyata. Itulah yang selama ini Bintang r...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Semesta, sulit sekali bagimu untuk membiarkanku tersenyum bukan?"
***
"Mau sampai kapan?" ujar wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa sembari membolak-balik lembar kertas di sebuah buku bersampul biru dengan sebuah logo di tengahnya.
Sedangkan tepat di sebelahnya, seorang gadis berseragam putih abu-abu masih saja menunduk. Membiarkan helaian rambut panjang nan tebal menutup wajahnya.
"Bukannya sudah biasa? Terakhir kali saat menginjak usia delapan tahun." Gadis itu berucap pelan.
Suasana seperti ini bukan pertama kalinya tercipta di antara mereka berdua. Tidak ada sedikitpun kehangatan yang mengisi ruangan itu. Saling berbincang menggunakan bahasa formal, seolah tidak ada kedekatan--ralat, bukan seolah, tetapi memang benar adanya.
Bukan wanita itu yang Aleena inginkan untuk menemani setiap detiknya. Juga bukan Aleena yang wanita itu inginkan untuk menyaksikan setiap jerih payahnya dalam menempuh hidup. Mereka terikat karena sebuah keterpaksaan.
Aleena merindukan mamanya. Merindukan sebuah pelukan hangat serta uluran tangan ketika ia jatuh dalam keterpurukan. Aleena merindukan papanya. Merindukan sepasang bahu yang selalu siaga menjadi sandarannya ketika hidup terasa begitu menyiksa.
Mengapa dunia memperlakukannya dengan begitu buruk? Mengapa Aleena tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan?
Satu-satunya pria yang Aleena cintai di dunia ini bahkan menjadi orang pertama yang berhasil menorehkan luka terdalam di hatinya.
Papa, aku rindu Papa, tapi di saat yang bersamaan, lagi-lagi aku takut sama Papa.
***
[TERIMA KASIH SUDAH BERKENAN UNTUK SINGGAH DI CERITA INI]
. . .
Jangan lupa tinggalkan jejak. Sampai bertemu di chapter selanjutnya.