#1: Keinginan Terpendam

38 4 1
                                    

    Peak hour sudah berlalu, tidak banyak lagi orang-orang yang berkutat di jalanan. Biasanya aku pergi dan pulang kerja menggunakan kereta. Paling nyaman saat kereta sedang tidak sesak sehingga badanku bisa condong sedikit, memandang luar jendela. Perumahan dan perkantoran yang melebur menjadi garis-garis horizontal namun tersendat karena pemberhentian setiap stasiun. Terasa cepat, entah kereta ini atau waktu yang berlalu. Tetapi terasa seperti terkurung, entah dalam rutinitas yang menyesakkan atau dalam gerbong penuh manusia.

    Untuk pertama kalinya, aku tidak menumpangi kereta malam ini. Pemandangan yang paling kunikmati dari balik jendela kini terhampar di depan mata: danau. Kereta yang biasa kunaiki melintasi rel layang yang ada di sepanjang danau ini. Terdapat jembatan dengan jalan raya dan trotoar di kedua sisi yang membelah danau.

    Aku berjalan di lajur pejalan kaki. Kedua tangan terkepal, masuk dalam saku jaket. Aku melepas berat lengan dan tangan supaya bahuku terasa berat, bahkan sengaja lebih memberatkannya. Selama ini sesuatu yang tidak terlihat membebani seluruh badanku. Terkadang beban itu seperti menghalangiku mengangkat kepala. Terkadang seolah aku berjalan dengan kaki dirantai, menyeret-nyeretnya sepanjang perjalanan hingga kehabisan tenaga. Mengubah beban tak berwujud itu menjadi beban fisik membuatku sedikit lebih nyaman.

    Langkahku tidak cepat, malah tergolong lambat. Aku harap waktu berhenti sehingga hari esok tidak perlu datang. Aku merasa cemas dan gugup, nafasku berat dan tidak teratur, juga telapak tanganku terasa dingin. Tepat seperti saat aku diwawancarai untuk mendapatkan pekerjaan, atau seperti saat aku mempresentasikan sesuatu di depan timku. Yang berbeda adalah rasa cemas dan gugup ini tidak memiliki alasan, atau aku yang tidak paham dengan alasannya.

    Entah sudah berapa jauh aku berjalan, mungkin separuh? Aku berhenti dan bersandar pada sisi jembatan, menutup rapat mata, dan pelan-pelan membukanya lagi setelah sepuluh detik. Tidak ada yang akan berubah, sepertinya hanya sampai sini batasku.

    Aku memutar badan dan melihat air yang menyerap warna malam hari. Air yang memantulkan kehidupan kota yang berhasil mengalahkan gelap. Pantulan kota itu terlihat tenang dan damai, seolah mengundangku menjadi penduduknya. Kepala yang selalu ramai akhirnya senyap selama memandang bentangan air ini. "Lompat, yuk." Kalimat itu keluar dari bibir. Ah, sepertinya itu keinginan terpendamku, akhirnya dia muncul juga.

Air Ini MengajakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang