Dari triliunan sel yang hidup dalam tubuhku, sepertinya ada satu yang kembali terpercik api yang diwariskan nenek moyang manusia. Api yang memberi perintah untuk terus bertahan hidup, sesulit apapun. Api itu mulai membara, menghasilkan panas yang menandakan manusia ini masih hidup. Satu sel ini memintaku untuk mencoba sekali lagi. Dia berjanji, "kali ini akan berbeda."
Sedari terbangun, aku terus menyelami kejadian semalam. Menyusun secara kronologis momen tiap momen, mengingat betul-betul percakapan yang terjadi, juga membayangkan tatapan mata dan intonasinya. Aku ingin bertemu dengan ibu itu lagi.
Matahari masih menguasai langit, jembatan dan danau jauh lebih jelas terlihat daripada semalam. Aku menelusuri trotoar dengan setengah berlari sambil mengedarkan pandangan ke seberang. Sudah hampir ujung jembatan dan aku tidak juga menemukan ibu itu.
Tepat sebelum keluar dari jembatan, aku melihat tumpukan bunga tersusun yang mulai layu dan kehilangan warna. Di tengah-tengah susunan bunga, terdapat nampan besar berisi buah-buahan dan makanan. Sementara di belakang nampan, berdiri kertas berlukiskan seorang wanita, mungkin Si Penjaga. Mengenakan baju panjang dan rambutnya diikat satu dengan elegan. Mataku kemudian berpindah ke lehernya, tergambar kalung dengan rantai keperakan dan batu giok bundar menggantung. Aku tersadar dan membeku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Ini Mengajak
Cerita PendekAku memutar badan dan melihat air yang menyerap warna malam hari. Air yang memantulkan kehidupan kota yang berhasil mengalahkan gelap. Pantulan kota itu terlihat tenang dan damai, seolah mengundangku menjadi penduduknya. Biasanya aku berusaha mati-m...