Aku mendongak. Hamparan langit kosong yang hanya dikuasai bulan. Kota yang mengalahkan malam ternyata juga mengalahkan kilau ribuan bintang, membuat bulan kesepian. Namun bintang-bintang silau di permukaan tanah ini juga tidak mampu mengangkat rasa kesepianku.
Angin berhembus lebih kencang, membuat aroma yang ada menjadi lebih kuat. Aku menarik nafas sedalam mungkin. Bau air. Bau lembap yang biasa muncul saat hujan turun. Aku melirik ibu ini juga sedang memandang ke seberang sana dan aku memecahkan keheningan. "Kelihatan banget, ya?"
"Apanya?"
"Saya orang yang mau mati. Kelihatan?"
Ibu itu menjawab dengan santai, "gak, 'kok. Nutupinnya sudah bagus."
Aku menghela napas. "Pasti kelihatan banget, ya, makanya Ibu ngomong begitu."
Suara ibu itu berubah lebih tenang. "Berat, ya?" Kalimat itu tidak terdengar seperti pertanyaan, melainkan perintah untuk mengakui segalanya, perintah untuk berhenti menyangkal perasaan. Aku bergumam tidak jelas dan mengangguk. Semuanya naik ke permukaan, semua yang selama ini terpendam. Seluruh rasa, perasaan, dan sensasi datang pada setiap indraku. Ada begitu banyak, tapi semuanya bisa kurasakan dengan jelas. Bercampur menjadi kesatuan yang membuatku kewalahan.
Otakku memerintahkan air mata untuk keluar dan aku mengalah kali ini, bahkan tidak mencoba melawan. "Bakal ada yang berubah, gak, ya, Bu?" tanyaku.
"Kamu tunggu apa? Keajaiban? Yang kayak gitu gak ada." Tatapan ibu itu terlalu dalam, seolah menembus melewati bola mata sampai belakang tengkorakku. Namun aku tidak melepasnya, tatapan yang ternyata tidak berbohong, tatapan yang menyatakan bahwa aku memahamimu sepenuhnya. Kini aku dapatkan dari seorang asing di atas jembatan danau.
Benar, selama ini aku menunggu sesuatu terjadi. Menunggu hari dimana aku akan membuka mata dan segala perasaan ini hilang. Menunggu hari dimana aku tidak akan terbangun lagi. Memejamkan mata erat-erat kemudian membukanya lagi dengan harapan aku ternyata berada dalam dimensi lain. Menantikan sesuatu dalam hidupku berubah, apapun itu.
Kendaraan semakin jarang melewati jembatan ini, pertanda malam sudah sangat larut. Keadaan juga semakin sunyi, hanya terdapat suara angin menyibak-nyibak air. Giliran ibu ini yang memecah keheningan. "Pulang sana. Gak usah nemenin saya."
Aku jadi sadar kalau aku tidak tahu apa-apa tentang ibu ini, bahkan apakah benar dia tinggal di jembatan ini atau tidak. "Ibu sendiri tidak pulang?" Kali ini aku tidak berbasa-basi.
"Saya nanti lagi. Sudah sana duluan."
Aku terdiam sejenak kemudian bangkit berdiri, meregangkan badan yang sedari tadi terduduk kemudian memungut tasku dan menyampirkannya di bahu. "Terima kasih, Bu. Saya duluan. Hati-hati, ya, Bu." Ibu ini hanya membalas dengan anggukan dan gestur tangan yang mengusir. Aku melangkah ke arah jalan pulang. Menuju rumah, yang terkadang nyaman, terkadang menyiksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Ini Mengajak
Short StoryAku memutar badan dan melihat air yang menyerap warna malam hari. Air yang memantulkan kehidupan kota yang berhasil mengalahkan gelap. Pantulan kota itu terlihat tenang dan damai, seolah mengundangku menjadi penduduknya. Biasanya aku berusaha mati-m...