#2: Malam yang Berbeda

30 4 1
                                    

    "Dek, tolong, dong, Dek!"

    Suara itu menyeretku kembali ke kenyataan. Aku menarik nafas dalam dan menoleh, mencari asalnya. Mataku menangkap seseorang sedang duduk di lajur pejalan kaki, pencahayaan yang kurang merata membuat sosoknya tidak begitu jelas terlihat. Siapa yang dia panggil? Aku menoleh ke belakang dan seberang. Tidak ada orang lain selain diriku.

    "Itu tolong ambilin, dong, Dek," kata suara itu sambil menunjuk kakiku. Aku menunduk, di sekitar kakiku terdapat tiga buah jeruk. Kapan ada di sini? Kenapa tadi aku tidak lihat? Tanganku akhirnya keluar dari saku, memungut kedua jeruk dan satu lagi yang berada beberapa langkah di depanku.

    Aku berjalan menghampiri orang itu, barulah sosoknya terlihat jelas: seorang ibu paruh baya. Ibu itu membuka lebar satu kantong plastik, mengisyaratkan aku untuk menaruh jeruk yang tadi berhamburan. "Aduh, tadi sobek plastiknya jadi ngegelinding, deh," kata ibu itu seperti berusaha menjelaskan situasi.

    Setelah berbungkuk untuk menaruh jeruk-jeruk tadi, aku berdiri tegak dan bersandar kembali. Melihat ibu-ibu duduk di tengah jembatan membuatku agak heran dan memunculkan banyak pertanyaan, tetapi ada satu hal yang kuyakini: ini bukan urusanku. Ibu itu tidak berbicara lagi. Aku melirik dia sedang membereskan beberapa kantong plastik lain yang kurasa berisi makanan dan buah-buahan.

    Ibu ini mengenakan jaket dan celana panjang berwarna gelap, entah warna apa sebenarnya karena tidak tersorot cahaya langsung. Rambutnya dicepol rendah dan di lehernya tergantung kalung dengan batu giok bundar sebagai liontin. Di samping, terdapat dua tote bag yang terlihat penuh dengan bawaan, belum lagi kantong-kantong plastiknya. Aku merasa ibu ini bukan sekadar berhenti untuk membereskan barang bawaannya, melainkan seperti seseorang yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya sendiri. Rupanya ada orang yang menggunakan jembatan ini sebagai rumah.

    "Nih," kata ibu itu sambil mendongak dan menjulurkan satu jeruk.

    "Tidak usah, Bu. Tidak apa-apa."

    "Ini bukan yang jatuh tadi, kok," balasnya sambil menyodorkan jeruk itu lebih dekat.

    "Bukan itu maksudnya..." Aku bergumam dan akhirnya menerima. "Makasih, Bu." Sebentar, apakah yang dilakukannya merupakan cara agar dia tidak perlu mengucapkan terima kasih padaku? Justru aku yang jadi berterima kasih. Walaupun begitu, jeruk ini mengambil perhatianku dan aku mengusapnya. Jeruk mandarin. Jeruk yang sering kulihat di meja altar. Jeruk yang menempuh perjalanan impor dan perlu dilapisi lilin sehingga sekarang dia memantulkan cahaya dari lampu jalan.

    Aku meletakkan jeruk pemberiannya dalam tas, memasukkan tanganku ke saku untuk mengingat lagi beban yang ada di bahu. Bersiap melanjutkan jalan pulang dan memutuskan untuk mengabaikan hasrat yang muncul beberapa menit lalu. Ibu itu masih juga berurusan dengan barang-barangnya. Kupastikan suaraku cukup keras agar terdengar. "Duluan, Bu." Dia tidak menghiraukan, melihat wajahku pun tidak. Aku berjalan melewatinya dan mendengar suara itu lagi. 

    "Kamu orang baik, jangan mati."

Air Ini MengajakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang